• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

EFEK NEGATIF KEKERASAN KOMUNAL

Beberapa bulan yang lalu saya menulis tentang hilangnya hati nurani bangsa ini untuk membangun kerukunan karena semakin banyaknya pertentangan atau perbedaan yang kemudian mengeras menjadi konflik missal. Saya kira tulisan tersebut bisa memperoleh pembenaran empiris, sebab hingga hari ini masih terus terjadi kekerasan komunal yang berujung pada penihilan atas “yang lain”.

Baru beberapa hari yang lalu, 15/04/2011, terjadi bom bunuh diri di Masjid Adz Dzikro di Komplek Mapolresta Cirebon, maka kemudian terjadi kekerasan komunal antara TNI Angkatan Darat dan Petani di desa Setrojenar, Kebumen, Jawa Tengah. Alas an kekerasan adalah tentang tanah yang masih dalam proses sengketa dan kemudian dua diantaranya merasa yang paling memiliki otoritas atas tanah tersebut.

Kekerasan tersebut terjadi pada Sabtu lalu,  dan mengakibatkan beberapa orang terluka di dalam insiden antara petani dengan TNI Angkatan darat. Menurut tempo, 21/04/2011, bahwa penyebab kekerasan tersebut adalah ketika para petani merusak bangunan TNI. Alasan merusak adalah untuk membuka blokade jalan oleh tentara. Blockade tersebut dibuat untuk menutup akses militer  menggelar uji coba meriam Howitzer 105 buatan Korea Selatan di lahan seluas 500 meter persegi sepanjang 22,5 Kilometer yang menjadi sengketa. Disebabkan oleh tanah yang masih sengketa tersebut, maka masyarakat melakukan tindakan nekad dengan merusak bangunan TNI AD.

Jika ditelisik lebih mendalam, sesungguhnya ada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa warga berani melakukan tindakan nekad melawan TNI AD? Atau adakah orang dibalik warga yang memberikan support agar warga melawan TNI AD? Dan mungkin juga sederet pertanyaan lainnya.

Di dalam pandangan saya, bahwa para petani itu adalah orang yang lugu, yang selama dikenal sebagai warga masyarakat yang mengedepankan kerukunan dan keselamatan. Di dalam tradisi masyarakat Jawa bahwa kerukunan dan keselamatan adalah pilar utama kehidupan. Sehingga mengutamakan kerukunan dan keselamatan adalah kata kunci untuk menjadi “orang” Jawa.

Akan tetapi di dalam persoalan tanah, maka juga berkembang konsep “sadumuk batuk senyari bumi”, artinya bahwa untuk urusan tanah, maka msayarakat akan mempertahankannya sejauh yang bisa dilakukan.  Konsep ini tentu ada kaitannya tentang bagaimana warga masyarakat mempertahankan tanahnya dari penjajahan Belanda dan Jepang. Konsep ini yang diperkuat di masa penjajahan dahulu untuk menjadi penyemangat mempertahankan Negara di tengah peperangan.

Itulah sebabnya jika kemudian di dalam kasus bentrokan antara petani dan TNI AD juga menjadi memanas yang disebabkan oleh pandangan betapa pentingnya mempertahankan tanah tersebut untuk kepentingan mereka. Sedangkan di sisi lain, TNI AD juga beranggapan bahwa tanah tersebut bisa digunakan untuk kepentingan umum yang lebih luas. Disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai otoritas ini, maka bentrokan pun tidak bisa dihindarkan.

Persoalan tanah memang bukan persoalan sederhana. Ia menyangkut hidup atau mati. Dalam banyak kasus yang terjadi, orang akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun. Makanya, jika kemudian warga mempertahankan tanahnya agar tetap dimilikinya, maka hal ini tentu saja terkait dengan falsafah kehidupan yang tanah memang harus dipertahankan.

Jika pakaian, kendaraan dan sebagainya terus diproduksi dan bisa dibeli di tempat lain, maka tanah tentu tidak bisa diproduksi lagi. Tanah itu menyangkut discontinuity product. Sudah tidak ada lagi yang memproduksi tanah, sehingga ketika satu-satunya tanah miliknya lepas, maka akan hilanglah tanah tersebut.

Kasus di Pasuruan yang melibatkan bentrok antara TNI AD dengan warga masyarakat juga dipicu oleh masalah tanah. Di beberapa tempat lain juga difasilitasi oleh masalah tanah. Makanya, memang harus ad kearifan tentang tanah ini, agar tidak lagi terjadi kerusuhan yang difasilitasi oleh masalah tanah.

Sudah saatnya semua merenungkan tentang relasi kita dengan yang lain termasuk juga hubungan social yang didasari oleh semangat untuk saling membicarakan persoalan bersama. Tentang tanah yang masih sengketa tentu juga masing-masing pihak tidak boleh memaksakan kehendak untuk menggunakannya. Sebab ketika ada di antara satu dan lainnya akan memanfaatkannya, maka dipastikan akan terjadi kerusuhan.

Sudah saatnya kita bersama membangun imaj kebersamaan dan bukan imaj kekerasan social. Dan hal itu harus dimulai dari diri kita. Ibda’ binafsiy”, mari dimulai dari diri kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini