• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA INDONESIA DARI KEKERASAN SOSIAL

Pertanyaan yang sering mengedepan terkait dengan terorisme adalah apakah terorisme sama dan sebangun dengan gerakan fundamentalisme agama? Jika ada pertanyaan seperti ini, maka jawabannya adalah sebagian ada dan sebagian tidak. Maksudnya bahwa gerakan terorisme memang bermula dari paham keagamaan yang mengembangkan radikalisme tafsir keagamaan, terutama sebagian dari kaum salafi Jihadi. Pemaknaan tentang ajaran agama yang mengedepankan tafsir jihad dalam pengertian kekerasan adalah salah satu kuncinya.

Suatu kenyataan bahwa Indonesia memang telah menjadi targeted operation tentang terorisme. Diakui ataupun tidak bahwa Indonesia sedang menjadi target operasi gerakan terorisme yang selama ini melekat dengan Negara Afghanistan, Filipina, Iraq dan sebagainya. Seakan-akan Indonesia adalah menjadi negara kelanjutan program terorisme pasca kasus Afghanistan. Ketika Afghanistan sudah tidak lagi menjadi ladang teror dan yang di Filipina juga sudah terdesak, maka Indonesialah yang kemudian menjadi sasaran gerakan terorisme.

Kita sungguh-sungguh dibuat tercengang dengan dijadikannya Indonesia sebagai home base bagi sebagian kelompok teror ini. Imam Samodra, Amrozi, Azahari, Noordin M Top,  dan lainnya, yang semuanya menggambarkan bahwa Indonesia merupakan negara yang dianggap aman bagi mereka. Noodin dan Azahari yang sesungguhnya orang Malaysia justru tidak berhome base di Malaysia di dalam pelariannya untuk menjadi teroris. Tentu saja ada alasan keamanan yang lebih menjanjikan di Indonesia dibanding dengan Malaysia.

Ada wilayah geografis dan strategis mengapa mereka menjadikan Indonesia sebagai home base tersebut. Malaysia tidak mudah dijadikan home base sebab gerakan radikalisme ekstrim tidak mendapatkan simpati dari masyarakat di sana. Selain itu juga tindakan tegas pemerintah untuk melakukan pembatasan ruang gerak gerakan radikalisme  ekstrim tersebut. Sehingga mereka lebih baik berada di tempat lain  yang memang memberikan jaminan keamanan lebih memadai.

Indonesia dikenal sebagai bangsa  yang masyarakatnya sangat permisif di dalam memandang semua paham keagamaan, sehingga paham agama apapun dipastikan akan mendapat simpati dan kepengikutan. Ketika ada seseorang mengaku nabi dan kemudian menjual surga,  ternyata juga ada yang membelinya. Demikian pula yang lain.  Hal ini tentu saja memberikan gambaran betapa mudahnya masyarakat Indonesia ini menerima sesuatu dari yang lain.

Menjamurnya paham keagamaan  yang transplanted, dan di negara asalnya dilarang, ternyata menjadi arus baru paham keagamaan yang digandrungi oleh sebagian warga masyarakat kita. Bahkan juga dianggap sebagai solusi yang dengan instan bisa menyelesaikan seluruh persoalan bangsa. Makanya, berbagai aliran atau paham keagamaan tersebut begitu mudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.

Dan ketika paham-paham keagamaan tersebut kemudian menjadi kekuatan yang baru dan bahkan bisa menggoyahkan terhadap pilar-pilar kebangsaan, maka kita baru tersadar bahwa sebenarnya terdapat potensi laten yang sekarang sudah menjadi manifest bahwa pilar kebangsaan tersebut harus ditanamkan kembali kepada semua elemen bangsa.

Tentu bukan sebagai suatu tindakan yang terlambat. Namun demikian, tantangan tersebut sudah menjadi lebih kuat, sehingga energy yang harus dikerahkan untuk menangkalnya pun juga menjadi lebih besar.  Gerakan terorisme yang terus tumbuh dan berkembang adalah sebuah contoh betapa kita dahulu “membiarkan” atau memberi “kesempatan” terhadap keberadaannya. Saya berkeyakinan bahwa aparat negara tentu mengetahui dengan jelas tentang gerakan-gerakan ini. Melalui state apparatus yang sangat andal saya yakin bahwa mereka tahu tentang gerakan-gerakan ini dan ke arah mana mereka akan menuju.

Hanya saja bahwa aparat pemerintah ini memang memerlukan dukungan semua pihak yang berkeyakinan bahwa pilar kebangsaan merupakan sesuatu yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Kita tentu tidak boleh membiarkan aparat keamanan tersebut bekerja sendiri di tengah himpitan HAM, keterbukaan dan demokratisasi.

Masyarakat Indonesia tentu harus menyadari bahwa kesatuan dan persatuan bangsa jauh lebih penting dibandingkan dengan apapun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makanya saya selalu menyatakan marilah ketika “Kita” menjadi Islam,  maka “Kita” menjadi Indonesia. Ketika  “Kita”  menjadi Protestan, maka “Kita” menjadi Indonesia. Ketika  “Kita” menjadi Katolik, maka “Kita” menjadi Indonesia dan seterusnya.

Dengan kesadaran seperti itu, maka tindakan kekerasan atas nama agama atau apapun akan menjadi tereduksi oleh paham kita bahwa kita adalah orang Indonesia yang memang harus hidup secara berdampingan dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini