MENGUKUR KUALITAS DOSEN PTAI
Peningkatan kualitas dosen tidak saja menjadi tugas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan tetapi juga menjadi tanggung jawab Departemen Agama (Depag). Hal tersebut dikarenakan Depag juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikenal dengan sebutan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), baik yang negeri maupun yang swasta, PTAIN dan PTAIS.
Lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Depag, memang terkesan masih kalah kualitasnya dibanding lembaga pendidikan di bawah naungan Depdiknas. Misalnya jika dilihat dari rangking kualitas atau peringkat di dunia internasional yang disebut sebagai World Class University (WCU), maka belum ada satu pun PTAI yang masuk di dalamnya, sementara itu lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Depdiknas sudah beberapa di antaranya yang masuk rangking dunia. Maka tantangan pimpinan PTAI adalah bagaimana peningkatan kualitas lembaganya dalam kerangka kompetisi antar institusi pendidikan dewasa ini.
Tepatnya 30 Juli 2009, Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjenpendis) membuat Surat Ke pimpinan Perguruan Tinggi mengenai Tatacara Pengajuan Usul Penetapan Jabatan Guru Besar/Profesor di PTAI. Surat itu oleh pimpinan PTAI dianggap akan menjadi kendala dalam pengajuan jabatan guru besar di kalangan institusi pendidikan Islam. Hal itu disebabkan oleh “beratnya” persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon guru besar. Selain persyaratan administrasi juga terdapat persyaratan akademis yang dalam anggapan pimpinan PTAI sebagai penghambat, yaitu persyaratan karya monumental dengan beberapa kualifikasi dan persyaratan jurnal nasional terakreditasi dan jurnal intenasional.
Persyaratan karya akademik monumental tersebut, misalnya menulis buku teks yang dijadikan sebagai referensi di tiga PT selain di tempatnya bekerja atau karya akademik yang dijadikan sebagai referensi sekurang-kurangnya tiga penulis luar negeri atau karya ilmiah yang memperoleh penghargaan dari lembaga akademik yang kredibel atau karya yang diterbitkan oleh penerbit luar negeri yang usia penerbitannya sudah 10 tahun.
Selain persyaratan buku berkualitas, maka persyaratan lain yang penting adalah karya akademis di jurnal terakreditasi baik nasional dan tulisan di jurnal internasional. Misalnya untuk yang berpangkat Lektor Kepala IV/a, maka harus menulis di jurnal terakreditasi sekurang-kurangnya empat artikel hasil penelitian yang dimuat di jurnal nasional terakreditasi dan dua artikel yang dimuat di jurnal internasional. Sedangkan untuk yang menduduki jabatan Lektor Kepala IV/b, maka persyaratannya harus menulis satu artikel di jurnal internasional dan menulis dua artikel hasil penelitian di jurnal terakreditasi nasional atau menulis tiga artikel hasil penelitian di jurnal nasional terakreditasi. Dan semakin rendah kualifikasi jabatan dosen maka semakin banyak persyaratan akademis yang harus dipenuhi.
Untuk menjadi guru besar tentu harus memiliki kualifikasi akademis yang sangat memadai. Penafsiran yang dilakukan oleh Dirjenpendis terkait dengan tatacara pengusulan jabatan guru besar tentu dimaksudkan dalam kerangka untuk peningkatan kualitas institusi pendidikan. Puncak dunia akademis dosen adalah ketika yang bersangkutan menapaki jabatan sebagai guru besar. Persoalan kualifikasi akademis inilah yang sering memicu perdebatan, yaitu bagaimanakah tolok ukur kualifikasi itu.
Di kalangan pimpinan PTAI kelihatannya menggunakan jalur pemikiran prosedural, yaitu sesuai prosedur yang berlaku. Seluruh karya yang dijadikan sebagai bukti kualifikasi akademis itu diakui oleh tim penilai karya akademis yang dibentuk oleh Departemen Agama atau Depdiknas dan secara prosedural kemudian memperoleh SK pengangkatan guru besar oleh Menteri Pendidikan Nasional. Di sisi lain, Dirjen Pendis menggunakan ukuran contentual atau pengakuan yang lebih luas. Yaitu tidak hanya sekedar pengakuan yang dinyatakan oleh tim penilai akademis Depag atau Diknas akan tetapi pengakuan dunia akademis PT. Perbedaan tolok ukur inilah yang kelihatannya memicu kontroversi untuk pengangkatan jabatan guru besar di lingkungan Departemen Agama.
Terlepas dari kontroversi itu, tetapi yang jelas bahwa jabatan guru besar merupakan jabatan yang sangat bergengsi dan memiliki kewibawaan yang luar biasa. Oleh karena itu, siapapun yang memangku jabatan akademis guru besar, maka yang bersangkutan memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugasnya sebagai guru besar.
Saya jadi teringat ketika saya memperoleh SK Guru Besar dan sebagai tahaduts bin ni’mah, maka ketika saya pulang ke rumah lalu saya bercerita kepada anak-anak saya, kemudian anak saya yang kuliah di Fakultas Kedokteran UHT nyeletuk: “wah saya pikir profesor itu pasti menemukan sesuatu yang spektakuler. Nah ayah itu menemukan apa yang spektakuler kok bisa jadi profesor. Akhirnya saya jawab sekenanya: “ya ayah ini kan sudah menghasilkan kamu”.
Ungkapan anak saya itu selalu terngiang di dalam pikiran saya. Seorang profesor itu menemukan apa? Konteks menemukan sesuatu di dalam dunia akademis adalah menemukan konsep atau teori baru. Nah untuk itu, maka seseorang yang bergelar profesor juga mesti harus menemukan sesuatu itu. Maka agar temuan itu tidak menjadi milik sendiri, maka harus dipublikasikan di dunia akademis, baik pada level nasional dan jika bisa pada level internasional.
Wallahu a’lam bi al shawab.