• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

WAHID HASYIM DAN KESATUAN BANGSA

Siapapun tidak bisa menyangkal tentang peranan KH. Wahid Hasyim di dalam proses kemerdekaan Indonesia dan bagaimana perannya di dalam proses kemerdekaan tersebut. Sejarah Indonesia mengenalnya sebagai sosok pemimpin Islam yang memiliki komitmen tinggi di dalam mengimplementasikan Islam yang rahmatan lil alamin.

Beliau adalah salah satu tokoh penting pada masa awal kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa dan negara adalah KH. Abdul Wahid Hasyim (Wahid Hasyim). Beliau  adalah tokoh penting di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) yang identik sebagai organisasi sosial keagamaan penjaga tradisi keislaman khas Nusantara, namun ia juga dikenal sebagai organisatoris, politikus, serta negarawan di kalangan koleganya.

meskipun singkat, KH. Wahid Hasyim adalah figur pemimpin muda NU di masanya yang mampu membawa perubahan baik secara internal dalam NU dan pesantren, sekaligus juga memberikan warna terhadap Indonesia sebagai negara. Isu tentang relasi antara agama dan negara dalam sejarah awal kemerdekaan menjadi dekat dengan figur Wahid Hasyim yang mampu mendialogkan isu tersebut pada kelompok nasionalis maupun tokoh-tokoh Islam waktu itu.

KH. Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas yang dilahirkan pada hari Jum’at Legi, tanggal 5 Rabi’ul Awal 1333 H yang bertepatan dengan tanggal 1 Juni 1914 M. Oleh Kiai Hasyim Asy’ari, ia semula diberi nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid yang diambil dari nama datuknya, yang kemudian terkenal dengan sebutan Wahid Hasyim. Wahid Hasyim sendiri merupakan anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

Sebagai pemimpin organisasi besar, NU, maka watak Islamnya memang sangat kental dengan Islam moderat. Yaitu Islam yang mengembangkan konsep hidup yang bisa berdampingan dengan umat lain yang berbeda agama sekalipun.  Tidak terbersit di dalam pikiran beliau untuk melakukan penihilan terhadap yang lain.

Makanya, ketika Piagam Jakarta yang lebih cenderung untuk menekankan kepada implementasi Islam secara formal di dalam Negara, maka beliau sangat menyepakatinya untuk dihilangkan dan diganti dengan yang  cenderung kepada nasionalisme yang berbasis keagamaan. Jadi bukan pada formalisme Islam,  akan tetapi pada substansialisme Islam.

Piagam Jakarta yang  berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dan hal tersebut menyebabkan keberatan bagi pemeluk agama lain di wilayah Indonesia Timur serta akan berakibat terhadap disintegrasi bangsa, maka sangat disetujuinya untuk dihapuskan tujuh kata yang menjadi keberatan tersebut. Makanya kemudian tinggallah kata “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Pemikiran mendahulukan kepada kepentingan umat, menghindari kejelekan atau kefasidan dan mengedepankan kemaslahatan adalah cara berpikir Ulama NU yang selama ini menjadi bagian penting di dalam kaidah ushuliyah. Dalil tersebut adalah “dar’ul mafasid muqaddamun ala al jalb al mashalih”, yang artinya “menolak yang buruk didahulukan ketimbang meraih kemaslahatan”.

Andaikan waktu itu tidak terdapat kearifan tokoh Islam, termasuk KH. Wahid Hasyim, maka perpecahan tentu sudah melanda Indonesia yang baru merdeka. Akan tetapi melalui kebijakan beliau itulah maka Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke kemudian dapat disaksikan hingga sekarang.

Oleh karena itu jika sekarang ada keinginan untuk berbuat lain selain menegakkan NKRI sebagai hasil kerja keras para founding fathers negeri ini, maka keinginan tersebut adalah mengingkari sejarah perjuangan bangsa yang sudah terpateri semenjak dahulu kala.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini