RUU PENDIDIKAN TINGGI
Kemarin, 31/03/2011, saya diundang untuk acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diselenggarakan oleh Komisi X DPR RI untuk membahas tentang Rencana Undang-Undang Pendidikan Tinggi di Gedung Nusantara I, DPRRI. Yang diundang di dalam acara ini adalah para pimpinan perguruan tinggi Islam dan juga Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Bertepatan yang hadir dari Direktorat Pendis adalah Prof. Dr. Mohammad Ali, Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Prof. Dr. Machasin dan beberapa lainnya.
Acara ini dipandu langsung oleh Ketua Komisi X, Heri Akhmadi, yang memang berkepentingan untuk mendengarkan dan merekam terhadap masukan-masukan yang disampaikan oleh peserta RDP tentang UU Pendidikan Tinggi. Sebagaimana tugas DPR adalah sebagai badan legislator, maka di dalam kerangka untuk merumuskan UU Pendidikan Tinggi, maka Komisi X haruslah memperoleh sebanyak-banyaknya input dari stakeholder pendidikan tinggi.
RUU Pendidikan Tinggi memang memiliki jangkauan strategis terkait dengan dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui maka PT BHMN, seperti UI, UGM, ITB, IPB, Unair, USU, dan lainnya, tidak memiliki landasan hokum penyelenggaraan pendidikan. Dengan dibatalkannya UU BHP oleh MK, maka status PTBHMN lalu menjadi PTN kembali, sebagaimana sebelumnya.
Tentu ada sejumlah masalah bagi PTBHMN untuk kembali kepada PTN sebagaimana semula, sebab ada di antara PTBHMN tersebut yang asetnya sudah dipisahkan dari asset pemerintah. Bahkan juga pengelolaan keuangannya juga sudah menggunakan system mandiri, artinya tidak masuk dalam system pertanggungjawaban keuangan instansi pemerintah. Oleh karena itu, maka tampak ada kekosongan hokum penyelenggaraan PTBHMN pasca dianulirnya UUBHP.
Disebabkan oleh kenyataan tersebut, maka DPR lalu berinisiatif untuk merumuskan UU Pendidikan Tinggi di dalam kerangka memayungi pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dan melaljui diundangkannya UU PT tersebut, maka akan didapatkan posisi dan mekanisme penyelenggaraan pendidikan tinggi yang lebih akuntabel.
Di dalam hearing dengan Komisi X ini, maka saya menyampaikan empat hal penting terkait dengan RUU BHP dimaksud. Yaitu, pertama, mengenai akan dirumuskannya kewenangan kementerian untuk menjadi penyelenggara pendidikan secara bersama. Di dalam hal ini, maka otoritas penyelenggara pendidikan adalah Kementerian Pendidikan Nasional, akan tetapi Kemdiknas dapat memberikan sebagian wewenangnya kepada kementerian lain untuk menyelenggarakan pendidikan. Hal ini merupakan kemajuan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian menjadi jelas adanya kewenangan kementerian lain sebagai penyelenggara pendidikan.
Kedua, perguruan tinggi berbadan hukum. UU BHP memang sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian di dalam RUU Pendidikan Tinggi tampaknya akan dihidupkan kembali. Keinginan untuk mengadaptasi kembali Pendidikan tinggi berbadan hokum tentu didasari oleh kenyataan adanya PTN yang telah mengembangkan BHMN. Tampaknya, keinginan mangadaptasi kembali BHP adalah untuk menampung keinginan PTBHMN di masa lalu tersebut. Namun demikian yang perlu menjadi bahan perhatian adalah jangan sampai mengadaptasi BHP di dalam RUU Pendidikan Tinggi ini kemudian menjadi ajang kembalinya komersialisasi pendidikan atau kapitalisme pendidikan. Di masa lalu, anak miskin tetapi pintar bisa masuk ke fakultas kedokteran, akan tetapi sekarang anak-anak miskin tetapi pintar tidak bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Besaran sumbangan dan keterkaitannya dengan persiapan untuk lulus test melalui kursus di lembaga bimbingan test tentu menjadi kendala penting bagi anak miskin tetapi pintar untuk masuk ke Fakultas kedokteran. Oleh karena itu, kehadiran PT berbadan hukum jangan sampai mencederai terhadap pendidikan berbasis kerakyatan.
Ketiga, perguruan tinggi mandiri BLU. Ketika PTN memasuki Pola Pengelolaan keuangan Badan layanan Umum (PK BLU), maka yang diharapkan adalah agar PTN tersebut dapat secara fleksibel mengakses pendanaan tidak hanya dari sumbangan masyarakat melalui SPP atau sumbangan Orang tua Mahasiswa. PTN bisa menyewakan asetnya untuk meningkatkan anggarannya. Namun demikian kenyataannya bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar tentang PNBP BLU tersebut. Direktorat jenderal Kekayaan Negara berpandangan bahwa semua hasil penyewaan asset Negara adalah PNBP umum, sehingga harus disetor ke kas Negara, sementara itu Direktorat BLU menyatakan bahwa semua pendapatan PK BLU adalah milik Satker BLU. Makanya, diperlukan rumusan yang jelas di dalam UU Pendidikan Tinggi ini agar tidak terjadi kepastian hukum tentang pendapatan PK BLU dimaksud.
Keempat, koreksi tentang definisi misalnya pendikdikan tinggi itu apa, mahasiswa itu siapa dan sebagainya. Perlu ada ketegasan tentang definisi tersebut sehingga tidak ada kesalahan di dalam menetapkan apa dan siapa yang terlibat di dalam pendidikan tinggi tersebut.
Melalui penetapan UU pendidikan Tinggi ini tentu diharapkan bahwa akan terdapat kejelasan tentang pengelolaan pendidikan tinggi dan kemudian akan berakibat terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.