AHMADIYAH DI PANGGUNG MEDIA
Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi narasumber di dalam acara Debat di TVone semalam. (30/03/2011). Acara ini memang secara sengaja mengangkat isu tentang Ahmadiyah terkait dengan pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat dan Banten beberapa saat yang lalu.
Sebagaimana acara dialog, maka acara ini diformat dengan komposisi masing-masing dua orang nara sumber yang akan saling berdebat dan dibantu oleh seorang pemicu perdebatan, baik yang pro maupun kontra diterbitkannya Surat keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur tersebut. Demikian pula di dalam sessi kedua, maka juga terdapat dua orang yang berdebat yang sama komposisinya dengan sessi pertama.
Saya mendapatkan kesempatan pada sessi pertama untuk berdebat dengan salah seorang anggota Tim Pembela Ahmadiyah. Bertepatan bahwa saya pernah berjumpa dengannya di dalam kegiatan Peninjauan materi UU PNPS No. 1 Tahun 1965, dalam posisi saya sebagai tim ahli Kementerian Agama yang mempertahankan UU tersebut, sedangkan beliau adalah tim Pembela kaum penggugat UU PNPS. Makanya, ketika saya bertemu maka ucapan pertama yang muncul adalah “wah kita ketemu lagi Pak”.
Kemudian di sessi kedua, dengan narasumber Said Abdullah dari Fraksi PDIP dan Hasrul Azwar, anggota Fraksi PPP di DPR. Said Abdullah adalah yang dianggap sebagai kontra Surat Keputusan Gubernur sedangkan Hasrul adalah yang pro terhadap Surat Keputusan Gubernur. Mereka memang merupakan anggota DPR RI yang selama ini dikenal vocal di dalam menghadapi persoalan kebangsaan.
Bagi saya, bisa tampil di TVone adalah sebuah keuntungan imaj, bukan semata-mata bagi saya, akan tetapi bagi saya adalah untuk membawa imaje tentang IAIN Sunan Ampel, sebagai lembaga yang memang sangat perlu didongkrak imajenya. Saya sering menyatakan bahwa semua elemen SDM di lembaga pendidikan adalah humasnya lembaga tersebut. Makanya, tawaran untuk menjadi narasumber adalah bagian dari cara saya untuk membuat imaje tentang IAIN Sunan Ampel agar menjadi lebih positif.
Saya ingat betul bahwa pertanyaan pertama yang dimunculkan oleh pendamping yang anti Surat Keputusan Gubernur adalah mengapa masih dibutuhkan Surat Keputusan Gubernur padahal kita sudah memiliki SKB tiga menteri yang memiliki kekuatan lebih baik ketimbang Surat keputusan Gubernur. Tidak kalah serius juga bahasan dari tim pembela Ahmadiyah yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Gubernur tersebut bertentang dangan jiwa pasal 28 UUD 1945, terutama pasal J.
Saya nyatakan bahwa pilihan yang diambil oleh Gubernur Jawa Timur dengan mengeluarkan SK tersebut adalah sebagai cara untuk meredam kekerasan social. Itulah sebabnya di dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa “melarang aktivitas Ahmadiyah yang bisa memicu terhadap gangguan keamanan dan ketertiban. Jadi, yang dilarang adalah aktivitas yang menyebabkan terjadinya gangguan keamanan, bukan seluruh aktivitas, apalagi aktivitas beribadah. Jika mereka melakukan ibadah dengan coraknya yang privat, maka pemerintah tidak melarangnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Gubernur memiliki wewenang untuk menjaga ketertiban dan keamanan daerahnya, sehingga ketika terjadi gangguan keamanan yang dilakukan oleh sekelompok orang, maka pemerintah harus mencegahnya. Dan cara mencegahnya adakah dengan mengeluarkan larangan beraktivitas tersebut.
Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan HAM atau pelanggaran terhadap HAM. Gubernur Jawa Timur setelah melalkukan serangkaian diskusi dengan berbegai elemen, misalnya NU, MUhammadiyah, MUI, pimpinan IAIN Sunan Ampel dan instansi terkait dalam waktu berulang kali, maka diputuskanlah terbitnya SK dimaksud. SK itu terbit melalui demokrasi partisipatoris. Bahkan orang Ahmadiyah juga dilibatkan dalam kapasitas ndimintai pendapat.
Kasus kekerasan social ini memang dipicu oleh penodaan agama. Jadi memang tidak ada hubungannya dengan HAM atau lainnya. Yang dijadikan sebagai ukuran adalah UU PNPS No 1 Tahun 1965. Keyakinan Ahmadiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang dating sesudah Nabi Muhammad saw itulah yang menjadi penyebab adanya gangguan keamanan dan ketertiban. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan penyebabnya tersebut. Selama orang Ahmadiyah masih meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad, maka selama itu pula akan terus terjadi kekerasan agama.
Di dalam kerangka inilah maka kehadiran SK Gubernur Jawa Timur memperoleh momentumnya. Menghindari atau menolak keburukan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan. Di dalam teks yang masih diyakini kebenarannya dinyatakan: “dar’ul mafasid muqaddamun ala al jalbi al mashalih”.
Dengan demikian, kiranya tidak ada pertentangan antara SK gubernur tersebut dengan SKB Tiga Menteri atau peraturan perundangan-undangan lain sebelumnya. Bahkan melalui SK gubernur ini, maka ada manfaat yang diambil, yaitu di dalam otonomi daerah, maka gubernur juga memiliki kewenangan untuk memanfaatkan kewenangannya secara maksimal termasuk mengatur hubungan antar umat beragama.
Wallahu a’lam bi al shawab.