• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETIKA PARA LAWYER MENGHAKIMI AHMADIYAH

Sesungguhnya persoalan Ahmadiyah sudah dalam keadaan aman. Artinya gangguan keamanan terhadap Ahmadiyah sudah nyaris reda. Hal ini tentu saja didasari oleh adanya Peraturan Gubernur atau Surat Keputusan Gubernur tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah di masing-masing wilayahnya. Memang, Peraturan Gubernur atau SK Gubernur tersebut lahir pasca kejadian Cikeusik yang melibatkan penganut Ahmadiyah dan para penyerangnya.  Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Cikeusik ini telah menjadi  noda di dalam relasi antar umat beragama, sebab sampai terjadi pengorbanan jiwa.

Akan tetapi, Peraturan Gubernur  atau SK Gubernur ini kemudian memantik reaksi beberapa kalangan, terutama yang mempermasalahkannya dari aspek HAM. Dianggapnya bahwa peraturan tersebut memasung aktivitas peribadahan bagi kaum Ahmadiyah yang seharusnya memiliki hak sebagai penganut agama. Dianggapnya bahwa peraturan tersebut memasung hak minoritas.

Makanya, kemudian acara yang digelar oleh Jakarta Lawyer Club (JLC) bekerjasama dengan TVone memanggil para gubernur yang membuat peraturan terkait dengan pelarangan Ahmadiyah tersebut. Diundangnya Gubernur Jawa Timur, Pak De Karwo, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriyawan dan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Acara yang disiarkan secara live ini juga dihadiri oleh sejumlah lawyer dari Jakarta, Humas Ahmadiyah, pengacara Ahmadiyah, Politisi,  dan juga para akademisi. (29/03/2011).

Saya menghadiri acara ini di dalam kapasitas sebagai orang yang dilibatkan oleh Gubernur Jawa Timur semenjak awal. Dan sebagaimana diketahui bahwa untuk merumuskan Surat Keputusan ini, Gubernur Jawa Timur memang melibatkan berbagai elemen yang dirasakan sebagai bagian yang harus terlibat di dalam persoalan aturan untuk kepentingan  public yang menempati ruang krusial tersebut.

Mula-mula yang diminta oleh Karni Ilyas, Presiden Jakarta Lawyer Club, selaku presenter acara ini adalah mengenai latar belakang mengapa gubernur mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah. Bukankah sudah ada aturan-aturan yang mengatur tentang hal ini, misalnya SKB tiga Menteri dan sebagainya. Mengapa gubernur membuat aturan sendiri-sendiri tentang hal ini, apa tidak cukup aturan yang sudah ada, atau aturan yang sudah ada tidak menjamin terjadinya keamanan dan ketertiban.

Di dalam penjelasannya, Pak De Karwo menyatakan bahwa diterbitkannya SK Gubernur ini adalah terkait dengan menjaga wilayah Jawa Timur agar tidak terjadi kerusuhan sebagaimana daerah lain. Di dalam SK itu dijelaskan bahwa yang dilarang adalah aktivitas Ahmadiyah yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Jadi sama sekali tidak melarang aktivitas ibadah yang dilaksanakan oleh jamaah Ahmadiyah. Mengenai larangan ibadah adalah wilayah pemerintah pusat dan bukan wilayah pemerintah provinsi. Yang dilarang adalah kegiatan Ahmadiyah yang bisa menjadi penyebab terjadinya kerusuhan social. Jadi kalau mereka mau beribadah,  sama sekali bukan menjadi concern di dalam SK gubernur tersebut.

SK ini juga dirumuskan dengan cara yang sangat demokratis-partisipatoris.  Artinya, di dalam prosesnya, maka beberapa elemen masyarakat dilibatkan. Ada NU, Muhammadiyah, Rektor IAIN, ahli hukum dari Unair, DPRD Jawa Timur, MUI, dan elemen-eleman lain dilibatkan di dalamnya. Bahkan, aktivis Ahmadiyah juga dilibatkan di dalamnya. Mereka didatangi oleh tim perumus SK Gubernur. Asisten I dan Kabakesbang mendatangi mereka untuk diajak bicara tentang rencana perumusan SK Gubernur tersebut. Jadi sangat demokratis partisipatoris. Dan selain itu juga tidak ada satupun hal yang membuat SK gubernur ini menyalahi tentang HAM. Tidak ada yang melanggar kebebasan beragama, sebab yang diatur adalah tentang aktivitas yang dapat mengancam ganggauan keamanan dan ketertiban. Tentang mereka mau beribadah bukan menjadi wewenang gubernur untuk mengaturnya.

Ada yang menarik bagi saya, sebagai orang yang diminta oleh Pak gubernur untuk membantunya di dalam perumusan SK gubernur ini, terutama di dalam acara live TVone tentang Peraturan Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah, yaitu tentang sikap yang tegas dari para lawyer tentang Ahmadiyah. Bahkan menurut saya, acara ini menjadi lahan bagi penegasan sikap Ahmadiyah, apakah masih akan menjadi umat Islam dengan pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi dan mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

Pertanyaan yang sangat tegas diambil oleh Egy Sudjana. Mantan ketua HMI MPO, ini bahkan meminta kepada Humas Ahmadiyah, agar bersyahadat, apakah syahadatnya sama dengan umat Islam lainnya atau berbeda. Jangan sampai di sini mengucapkan syahadat yang sama,  akan tetapi di tempat lain bersyahadat yang berbeda dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.

Kemudian juga pernyataan Pak Hasrul, dari PPP, yang secara tegas juga menyatakan bahwa kalau Ahmadiyah masih mau menjadi umat Islam, maka tinggalkan ajaran Ahmadiyah yang menyesatkan. Persoalan Ahmadiyah bukan masalah pelanggaran HAM,  akan tetapi persoalan penodaan agama. Agama Islam itu dinodai dengan adanya keyakinan bahwa ada nabi lain setelah Nabi Muhammad saw. Jadi jangan dibelokkan kepada masalah HAM atau lainnya.

Dan juga tidak kalah tegas, Pak Assegaf juga menyatakan mendukung secara mutlak terhadap peraturan gubernur, dan jika digugat maka dia siap untuk menjadi pembelanya.  Anwar Fuadi, pemain sinetron, dan aktivis JLC, juga menyatakan bahwa di Pakistan, asal mula Ahmadiyah, maka pemerintahnya menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah kaum minoritas non muslim.  Kenapa Indonesia tidak berani menyatakan seperti itu? Seharusnya pemerintah secara tegas berani menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam. Bisa menjadi Agama Ahmadiyah.

Namun yang menarik adalah pernyataan Pak Said Abdullah, PDIP, bahwa yang diperlukan adalah peraturan yang bisa menjadi payung bagi semua, sehingga tidak masing-masing gubernur membuat aturan sendiri-sendiri. Bahkan ada yang tidak mau membuat peraturan pelarangan Ahmadiyah. Seharusnya, ada aturan yang lebih atas yang kemudian menjadi payung regulasi tentang Ahmadiyah ini, sehingga tidak terkesan masing-masing membuat peraturan yang bisa berbeda antara satu dengan lainnya.

Memang, bisa saja muncul kesan bahwa ketika masing-masing gubernur atau kepala daerah membuat aturan sendiri-sendiri, maka terdapat partikularitas aturan yang sebenarnya bisa dibuat lebih general dan mencakup semuanya. Namun demikian, disebabkan oleh krusialnya persoalan yang menyangkut keyakinan, maka memang dibutuhkan kearifan semuanya.

Wallahu a’lam bi alshawab.

Categories: Opini