MEMBANGUN KERUKUNAN AGAMA
Di dalam suatu ujian disertasi di IAIN Sunan Ampel, maka seorang promovendus (Akhwan Fanani), menyatakan bahwa kerukunan beragama akan terjadi manakala kebutuhan dasar manusia selaku individu atau masyarakat terpenuhi. Dengan menggunakan analisis kebutuhan, maka disimpulkan bahwa kebutuhan untuk memenuhi kepentingan menjadi factor penentu terhadap kerukunan umat beragama.
Saya tentu sangat tidak setuju dengan kesimpulan seperti ini, sebab dengan hanya menggunakan analisis kebutuhan sebagai penentu kerukunan beragama, maka akan terkesan mengesampingkan adanya factor-faktor lain yang sesungguhnya juga dominan.
Biarkanlah bahwa pemenuhan kepentingan memang mengedepan di dalam penyelesaian persoalan kerukunan beragama. Akan tetapi harus dipertimbangkan beberapa hal yang dianggap juga berkontribusi terhadap kedamaian dan kerukunan tersebut.
Oleh karena itu, maka yang perlu diperhatikan juga adalah factor yang oleh Adamo disebut sebagai religion’s way of knowing. Bahwa agama memiliki dua wajah yang sangat kontradiktif, yaitu dimensi keyakinan dan ritual yang berbeda di satu sisi dan menjadi penyebab utama berbagai konflik dan pertentangan, tetapi di sisi lain adalah juga ajaran kerukunan di dalam teks-teks yang sangat kentara.
Namun di dalam kenyataannya, maka yang lebih mengedepan adalah persoalan perbedaan itu. Keyakinan, sebagaimana setiap ajaran agama adalah inti di dalam agama itu. Islam yang mengusung ketauhidan monoteistik bisa jadi sangat bertentangan dengan agama-agama yang mengusung teologi multiteistik. Bahkan juga sangat bertentangan di dalam ritual dan ekpressi keberagamaannya.
Ritual agama antara yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Dan hal itu bisa menjadi penyebab adanya konflik yang berkepanjangan. Setiap ajaran agama mengajarkan ritual yang berbeda-beda. Antara yang satu dengan yang lain juga mengklaim dirinya yang paling benar. Dan inilah yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar agama sepanjang sejarah kemanusiaan.
Kemudian yang tidak kalah penting juga adalah factor relasi kuasa di dalam agama. Sebagaimana diketahui bahwa di manapun akan terdapat agama mayoritas dan dominan dan agama minoritas yang tidak dominan. Di Indonesia, misalnya agama yang dominan adalah Islam, sedangkan di India adalah Hindu, sementara di Cina adalah Konfusius. Sementara di Negara-negara barat adalah agama Kristen atau Katolik. Jika masing-masing agama besar tersebut tidak memiliki “semangat kerukunan”, maka dapat dipastikan akan terjadi konflik antar agama.
Di dalam kasus Indonesia, maka dapat dilihat bagaimana agama mayoritas yang disimbolkan oleh sekelompok penganut Islam garis keras, harus memaksakan keyakinannya untuk penganut Ahmadiyah agar mereka kaum Ahmadiyah tersebut menanggalkan keyakinannya tentang Kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
Dalil penodaan agama kemudian menjadi pintu masuk kepada kaum Ahmadiyah agar menanggalkan keyakinannya tersebut. Dan melalui pintu tersebut, maka dukungan untuk “memaksa” Ahmadiyah agar menanggalkan keyakinannya lalu memperoleh tempat yang sangat signifikan.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa agar terjadi kerukunan beragama, maka factor yang perlu diperhatikan adalah tiga factor yang saling bertali temali, yaitu factor pemenuhan kebutuhan, factor toleransi terkait dengan religion’s way of knowing dan toleransi terhadap relasi kuasa di dalam agama-agama.
Dengan demikian, agar terbina kerukunan, maka yang diperlukan adalah toleransi yang bisa dikembangkan oleh masing-masing agama tersebut berbasis pada tiga factor tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.