MENGANALISIS KOMUNITAS RENTAN KEKERASAN
Jika dipahami secara lebin mendalam, maka ada dua kelompok yang akhir-akhir ini rentan terhadap kekerasan agama, yaitu: kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang murni yang seringkali disebut sebagai penyimpangan agama atau penodaan agama dan kemudian kelompok yang menggeber tentang liberalisme agama dan kebebasan agama. Dua pengelompokan ini sesungguhnya ada di mana-mana. Baik di Islam, Kristen, Katolik hingga Hindu dan Budha. Jadi memang bukan khas agama tertentu.
Kita masih ingat banyaknya kasus penyimpangan agama, misalnya yang dilakukan oleh agama-agama lokal, seperti Kelompok Lia Eden, Shalat Bahasa Indonesia, YNKA, dan sebagainya. Mereka ini dianggap menodai agama Islam sebab menggunakan terma-terma Islam, akan tetapi dengan cara menafsirkan ajaran agama yang tidak cocok dengan tafsir umum yang disepakati oleh para ulama.
Dan yang baru saja memantik kekerasan adalah kelompok Ahmadiyah yang memang dianggap telah melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa ada nabi penutup lain selain Nabi Muhammad saw. Pendiri gerakan Ahmadiyah dianggap oleh para pengikutnya sebagai Nabi yang memperoleh wahyu meskipun beliau tidak membawa ajaran agama baru. Akan tetapi klaim sebagai nabi penutup itulah yang dianggap menyimpang dan bahkan penodaan terhadap agama Islam.
Sedangkan yang juga sering memantik kekerasan agama adalah kelompok yang menyatakan dirinya sebagai kelompok Islam liberal. Di kalangan NU dikenal ada Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun banyak anggotanya bukan sebagai pengikut NU, dan kemudian ada Jaringan Intelektual Muhammadiyah (JIM) yang dianggap sebagai bagian dari organisasi Muhammadiyah.
NU dan Muhammadiyah memang tidak mengakui keduanya sebagai bagian dari organisasinya, baik secara struktural maupun kultural, akan tetapi memang anggotanya kebanyakan dari dua organisasi tersebut. Hingga sekarang, NU dan Muhammadiyah juga merasa tidak enjoy dengan kehadiran dua organisasi tersebut.
Sebagaimana dipahami bahwa kehadiran dua organisasi tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk menghalangi lajunya gerakan Islam garis keras, akan tetapi karena yang dijadikan sebagai subyek kajiannya adalah teks-teks yang sudah baku berdasarkan tafsir para ulama-ulama terdahulu, maka kemudian mereka justru dianggap sebagai kelompok sempalan oleh organisasi besarnya.
Memang harus diakui bahwa cara dan metodologi memahami teks kitab suci terkadang memang sangat jauh dari makna teks yang diakui kebenarannya oleh para ulama. Ulil Abshar dan kawan-kawan terkadang sangat jauh menafsirkan tentang teks suci yang disesuaikan dengan konteks yang kurang relevan. Akibatnya, banyak cara penafsiran yang dianggap melenceng dari nashnya.
Disebabkan oleh kenyataan ini, maka yang sesungguhnya sangat rentan terhadap kekerasan adalah mereka ini. Tentu masih bisa diingat dengan kekerasan agama yang diterima oleh Jemaat Ahmadiyah, kekerasan agama di Lapangan Monas, dan juga berbagai kekerasan agama yang menimpa terhadap mereka yang dianggap melakukan penodaan agama.
Kekerasan demi kekerasan tersebut kemudian juga terjadi pada individu yang mengusungnya. Kasus pengiriman bom kepada Ulil adalah salah satu contoh bahwa kekerasan agama bisa terjadi kapan dan di manapun terhadap kelompok-kelompok di atas.
kata kunci untuk mengerem terhadap kekerasan agama adalah dengan memahami bahwa kekerasan apapun tidak akan menyelesaikan masalah. Mungkin akan menjadi sangat baik jika dikembangkan lagi nuansa dialog yang berkesetaraan untuk mencari dalih dan hujjah yang kuat di dalam memahami agama. Islam juga mengajarkan bahwa nesehat agama dan dialog adalah kata kunci keberhasilan pengembangan Islam.
Semuanya tentu yakin bahwa Islam di era sekarang ini harus dikembangkan dengan cara-cara yang damai. Semakin keras orang mendakwahkan agama, maka akan menimbulkan sikap dan tindakan resistensi yang sangat kuat. Jadi, mengembangkan Islam damai adalah kunci keberhasilan membangun kerukunan dan kedamaian.
Kita tentu berharap bahwa Indonesia yang kita cintai ini merupakan negara yang tetap berada di dalam kerangka Islam moderat dengan segala eksistensinya. Maka ketika ada kelompok yang akan mengembangkan Islam dengan pemahaman lain, maka seyogyanya kembali mengingat bahwa negeri ini memang sedari semula dipersiapkan agar menjadi negara yang plural dan multikultural.
Wallahu a’lam bi al shawab.