KEKERASAN PUN TERUS BERLANGSUNG
Berita di stasiun televisi, 15/03/2011, yang menayangkan tentang ledakan bom di Utan Kayu, tentu menyesakkan dada sebagian orang yang berpendirian untuk mengembangkan Islam moderat. Sungguh tidak terbayangkan bahwa teror yang ditujukan kepada anak bangsa ini akan terus terjadi. Dan bagaimanapun juga tindakan teror dengan bom tersebut merupakan kriminalitas yang luar biasa atau extra ordinary crime. Kita sesungguhnya bertanya, ada apa dengan bangsa ini.
Semua tentu terkejut bahwa terjadi ledakan bom yang ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla, salah seorang pentolan Jaringan Islam Liberal, dan petinggi Partai Demokrat. Bom tersebut dimasukkan dalam paket buku yang sengaja dikirim kepada Ulil Abshar Abdalla di Kantor Berita Radio 68 H, Jalan Utan Kayu Jakarta Timur. Sayangnya bahwa bom low explosive tersebut meledak sebelum tim Gegana yang biasanya menjinakkan bom datang ke lokasi. Akibatnya tiga orang terluka.
Kita sungguh merasakan betapa kekerasan demi kekerasan tersebut seakan memang sudah didesain sedemikian rupa. Benar rasanya pandangan yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan kekerasan dengan teror bom tentu tujuannya adalah untuk meneror orang yang dijadikan target, sekaligus juga lainnya yang memiliki pandangan sama.
Sebagaimana diketahui bahwa Ulil memang termasuk salah seorang mantan pimpinan JIL yang memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya dengan lantang. Akibatnya tentu juga ada orang yang merasa gerah dengan pendapatnya tersebut. Makanya, dia termasuk orang yang tidak disukai oleh kelompok lain yang memiliki pandangan keberagamaan dan arus pemikiran yang berbeda.
Yang sungguh disayangkan adalah ketika mereka mengirimkan paket bom kepada seseorang yang tidak disukai atau dibenci tersebut dengan menggunakan dalil keagamaan. Perlakuan seperti ini, tentu saja akan menimbulkan prasangka di kalangan orang yang phobia Islam dan kemudian beranggapan bahwa Islam memang mengajarkan kekerasan. Efek domino seperti ini yang sebenarnya sering dirasakan oleh masyarakat Islam yang mengedepankan dimensi moderasi Islam.
Memang ada perubahan strategi dari kaum teroris di dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Jika di masa lalu yang dijadikan target adalah orang asing atau sekelompok orang asing, kepentingan Amerika Serikat dan barat pada umumnya, maka sekarang targetnya berubah. Yang dijadikan sasaran adalah seseorang yang dianggap sebagai lawannya. Ulil Abshar tentu adalah lawan yang memang harus dienyahkan. Kita tentu masih ingat dengan fatwa “hukuman mati” bagi Ulil beberapa saat yang lalu.
Oleh karena itu, jika kita berbicara motif tentang pengiriman bom melalui paket buku kepada Ulil, maka pikiran kita pastilah bukan motif politik yang disebabkan oleh keterlibatan Ulil di Partai Demokrat yang pernyataannya sering keras terhadap lawan politiknya. Akan tetapi lebih dari itu adalah “kebencian” terhadap Ulil yang dianggap sebagai pengembang Islam liberal di Indonesia.
Motif fatwa hukuman mati terhadapnya adalah sebagai dasar pembenaran untuk membunuh Ulil dan hal tersebut dianggapnya sebagai bagian dari jihad di jalan Allah. Jadi tentu ada keterkaitan antara peristiwa historis tentang Ulil dengan pengiriman bom kepadanya. Sebagai pengusung gerakan liberalisme di Indonesia, maka pikiran Ulil dianggap membahayakan bagi sekelompok orang yang mengusung pikiran keagamaan Islam yang berbeda.
Di dalam bidang politik, tentu Ulil masih anak bawang. Artinya, pengaruh dan otoritas yang dimilikinya tentu masih berada di pinggiran, sehingga mengaitkan rencana pembunuhan terhadapnya dengan isu politik tentu masih sangat dangkal. Itulah sebabnya yang kira-kira relevan untuk mencari motifnya adalah pikiran-pikiran tentang kebebasan penafsiran agama sebagaimana dilansir oleh kaum liberal.
Kita terkadang tidak bisa memahami, mengapa orang harus membunuh dan melukai orang lain. Jika kita bayangkan terhadap para polisi yang terluka, tangannya hancur terkena bom, apakah kemudian hati nuraninya tidak tersentuh. Apalagi yang terkena bom itu sama sekali tidak tahu menahu persoalan yang mendera permusuhan di antara mereka ini. Apakah membunuh dan melukai orang lain memang menjadi pilihan di dalam kehidupan ini.
Memang manusia diberi dua kekuatan besar di dalam dirinya, yaitu kekuatan kasih sayang dan kekuatan kebencian. Sayangnya bagi yang selalu berkeinginan untuk melakukan pembunuhan tersebut tentu lebih banyak dimensi kehidupannya yang dipenuhi dengan kebencian. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya mereka telah diperbudak oleh nafsu keberagamaannya dan bukan nurani keberagamaannya.
Padahal sesungguhnya beragama itu bukanlah urusan nafsu akan tetapi urusan hati nurani. Jika kita mengggunakan instrumen hati nurani untuk beragama, maka saya yakin bahwa orang akan memilih beragama dengan kedamaian dan bukan kekerasan.
Wallahu a’lam bi al shawab.