BENANG KUSUT KEMISKINAN
Membaca harian Kompas, 10/03/2011, tentang Kemiskinan di Indonesia, saya merasakan bahwa problem kemiskinan di Indonesia memang sangat sulit untuk diselesaikan, bahkan hingga hari ini. Di dalam analisis Kompas berdasarkan diskusi yang diselenggarakannya, bahwa mengentas problem kemiskinan ternyata memang tidak mudah.
Di dalam seminar yang bertajuk “Korupsi Yang Memiskinkan” tersebut, banyak peserta yang geleng kepala mengapa kemiskinan sangat sulit diberantas. Padahal, kekayaan alam kita melimpah ruah. Sumber daya alam kita juga sangat variatif. Bayangkan kekayaan laut kita dengan pantai terpanjang di dunia. Hampir tidak ada negara yang melebihi kekayaan alam Indonesia.
Kegemasan terhadap pemberantasan kemiskinan tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa betapa sulitnya mengentas kemiskinan di Indonesia ini. Sudah 65 tahun merdeka, akan tetapi untuk mengentas kemiskinan ternyata membutuhkan pergantian presiden berulang-ulang dan ternyata juga tidak selesai juga.
Jika digunakan data tentang perkembangan APBN, maka sebelum krisis volume APBN sebesar di bawah 100 trilyun, dan PDB sebesar 877 triliun. Pada waktu itu angka kemiskinan sebesar 22 juta orang. Akan tetapi sekarang ketika volume APBN sebesar 1200 triliun dan PDB sebesar 7000 trilyun, akan tetapi kemiskinan justru meingkat menjadi 31 juta orang. Berdasarkan statistik BPS tahun 2010 terdapat kemiskinan berjumlah 31,2 juta orang atau 13,33 persen.
Bahkan jika menggunakan angka garis kemiskinan yang dikembangkan oleh dunia internasional, yaitu penghasilan sehari ekivalen dengan 2 dolar AS., maka angka kemiskinan di Indonesia akan sangat tinggi sekali, yaitu sebesar 42 persen atau sama dengan 100 juta orang lebih. Itu artinya sama dengan penduduk Malaysia dan Vietnam ketika digabung.
Kemiskinan memang masih mendera bangsa ini. Meskipun usaha pengentasan kemiskinan sudah dilakukan pemerintah semenjak dahulu, namun kenyataannya hingga sekarang masih belum ada hasilnya yang memadai. Bahkan juga dikesankan bahwa pengentasan kemiskinan tersebut belumlah menggunakan kebijakan yang pro poor.
Memang secara nasional sudah banyak program pengentasan kemiskinan yang dilakukan misalnya melalui bantuan sosial, seperti BLT, beasiswa miskin, bantuan gakin dan sebagainya. Namun demikian, kesan yang muncul dari program tersebut belumlah merupakan program yang tersistemakan secara memadai. Masih ada kesan yang penting ada program pengentasan kemiskinan.
Yang dijumpai di dalam program pengentasan kemiskinan adalah bagaimana memberikan bantuan secara langsung kepada masyarakat miskin tanpa disertai dengan alasan yang memadai tentang pengentasannya. Kebijakan inilah yang oleh Kompas dinyatakan budgeting for poor dan bukan pro-poor budgeting. Jika menggunakan budgetting for poor, maka yang penting ada program pengentasan kemiskinan. Program ini dijadikan sebagai kado bagi orang miskin secara langsung.
Padahal yang sesungguhnya diharapkan adalah pro-poor budgeting, artinya memang berangkat dari anggaran berbasis program. Jadi bukan anggarannya dahulu yang dirumuskan, akan tetapi sustainable program apa yang harus didanai di dalam kerangka mengentas kemiskinan tersebut. Selama ini muncul kesan bahwa anggarannya dahulu yang dialokasikan dan baru kemudian dirumuskan program yang relevan dengan besaran anggaran tersebut.
Kita mungkin perlu mencontoh terhadap cara pengentasan kemiskinan di negara Jiran, Malaysia. Di sana untuk mengentas kemiskinan diperlukan satu menteri khusus, yaitu Kementerian Luar Bandar. Kementerian ini mengurusi seluruh program yang terkait dengan pengentasan wilayah tertinggal atau wilayah miskin mulai dari hulu sampai hilir. Anggaran itu tidaklah disebarkan secara parsial ke kementerian-kementerian lainnya.
Di Indonesia, sesungguhnya program pengentasan kemiskinan sangat banyak. Hanya saja anggaran pengentasan kemiskinan tersebut diecer-ecer di berbagai kementerian, akibatnya maka anggaran itu menjadi kurang bermakna. Setiap kementerian menganggarkan tetapi dengan volume yang sangat tidak memadai. Kementerian yang secara khusus mengentas kemiskinan, yaitu Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) juga tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengentas kemiskinan di daerah tertinggal. Hal inilah yang membedakan dengan Kementerian Luar Bandar di Malaysia yang cukup powerfull untuk mengentas kemiskinan tersebut.
Mungkin juga ada baiknya mempelajari cara Provinsi Jawa Timur di dalam mengentas kemiskinan. Program tersebut disebut sebagai program pengentasan kemiskinan melalui skema by name and by address. Melalui program ini, maka ketepatan sasaran tidak akan diragukan, sebab siapa orang miskin tersebut dapat diketahui secara pasti.
Melalui tiga skema pengentasan kemiskinan, maka diperoleh gambaran yang mendekati miskin (near poor), yang miskin (poor) dan sangat miskin (very poor). Dengan pemetaan ini, maka akan diketahui secara pasti orang miskin tersebut, sehingga skema pemberdayaannya juga akan mengenai sasaran.
Wallahu a’lam bi al shawab.