GERAKAN REFORMASI BIROKRASI
Kemarin, saya terlibat di dalam acara yang sangat menyenangkan yaitu penyerahan SK Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi tentang eselonisasi Kepala Biro di PTAIN untuk disetarakan dengan eselon yang ada di PTN atau PTAIN lain, yaitu dari eselon dua b ke dua a. Proses eselonering ini telah lama diusulkan dan akhirnya baru ditandatangani oleh Mentri PAN & RB akhir-akhir ini. Penyerahan tersebut dilakukan oleh Deputi Menteri bidang Kelembagaan, Drs. Ismadi Ananda, Msi, yang hari itu berkenan hadir untuk menyerahkannya.
Acara ini juga dibersamakan waktunya dengan acara Workshop Reformasi Birokrasi dan Pengembangan Kelembagaan di PTAIN di lingkungan Kementerian Agama. Acara ini dihadiri oleh seluruh kepala Biro IAIN se Indonesia, pimpinan IAIN Sunan Ampel, Pimpinan fakultas, kepala bagian dan pejabat-pejabat terkait. Sebagaimana biasanya, maka saya diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan selamat datang dan membuka secara resmi acara ini.
Reformasi birokrasi dicanangkan pemerintah terutama pasca reformasi. Meskipun sebelumnya sudah digemborkan tentang reformasi birokrasi, akan tetapi gaungnya tidak sekeras pasca reformasi. Rupanya, era reformasi dijadikan sebagai ujung tombak bagi pelaksanaan reformasi birokrasi yang sesungguhnya memang diinginkan oleh semua pihak.
Melalui reformasi birokrasi sekurang-kurang ingin diperoleh sebuah implementasi birokrasi yang di dalamnya menggambarkan proses demokratisasi, efektivitas dan efisiensi birokrasi, transparansi dan akuntabilitas, serta tanggungjawab dalam kerangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Hasil akhir reformasi birokrasi adalah tumbuhkembangnya pelayanan prima.
Di dalam birokrasi, maka akan tercermin proses demokrasi yang semakin baik, artinya bahwa merit sistem memang menjadi kelaziman di dalam proses birokrasi akan tetapi tetap harus menggambarkan adanya proses pemberian penghargaan kepada yang memiliki dedikasi, keahlian dan prestasi yang memang layak diberikan. Merit sistem memang menjadi ciri khas birokrasi, akan tetapi sistem ini tentu saja tidak boleh mematikan kreativitas yang memang layak untuk dihargai.
Birokrasi di Indonesia pernah dijuluki sebagai birokrasi yang boros. Di zaman Orde Baru, maka memberikan kesempatan untuk menjadi PNS adalah salah satu cara pemerintah untuk mengatasi pengangguran terutama pada sarjana. Sehingga, di sana-sini dilakukan rekruitmen yang sebenarnya tidak didasarkan atas analisis kebutuhan yang sangat memadai. Oleh karenanya, banyak instansi yang kelebihan tenaga kerja PNS dengan relevansi keahlian dan pendidikan yang tidak relevan.
KKN yang dijadikan sebagai instrumen rekruitmen PNS di banyak tempat tentu juga memperparah profile PNS tersebut. Banyak peluang yang seharusnya diisi oleh mereka yang secara kualitas dan performance sangat baik ternyata dikalahkan oleh sistem KKN yang tidak menguntungkan. Seandainya dilakukan penelitian tentang performance PNS di berbagai instansi, maka akan didapatkan kenyataan sistem familialisme yang kental di sisi yang satu dan performance kinerja yang belum memadai karena sistem rekruitmen yang kurang memadai di sisi yang lain.
Problem kualitas SDM PNS tentu menyebabkan gerobak birokrasi tidak bisa dipacu dengan kuat karena memang tidak ada potensi untuk dikembangkan secara maksimal. Kenyataannya bahwa birokrasi Indonesia menjadi gemuk dengan beban SDM yang unqualified, sehingga langkah untuk mempercepat reformasi birokrasi tentu juga akan terhambat. Makanya, wacana birokrasi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun akan tetapi hasilnya masih dibawah standart yang diinginkan.
Jika dilakukan kajian lebih mendasar tentang apakah keahlian PNS memiliki relevansi dengan jenis pekerjaan dan layanan pekerjaan yang dilakukan, maka saya khawatir bahwa akan terjadi mismatch yang sangat kentara, karena profile PNS yang memang tidak direkrut sesuai dengan cara yang memadai. Akibatnya, maka banyak PNS yang kemudian tidak bekerja sesuai dengan keahliannya dan tentu saja juga menjadi kurang maksimal.
Reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan. Tanpa reformasi birokrasi, maka akan sangat sulit birokrasi di Indonesia akan dapat memberikan layanan prima sebagaimana yang diinginkan. Jika birokrasi Indonesia tidak melakukan reformasi tersebut, maka akan jauh tertinggal dengan birokasi di negara lain.
Makanya, kita mengharapkan agar reformasi jangan hanya menjadi halaqah akan tetapi menjadi harakah, jangan hanya dibicarakan akan tetapi harus menjadi gerakan. Dengan menjadi gerakan, maka upaya untuk melayani masyarakat dengan layanan prima akan bisa digapai dalam waktu yang relatif singkat.
Wallahu a’lam bi al shawab.