• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGURAI PROBLEM BLU PENDIDIKAN

Ada keluhan yang sangat mendasar mengenai implementasi Badan layanan  Umum (BLU) pendidikan yang dirasakan oleh institusi pendidikan yang berstatus sebagai satuan kerja (satker) BLU. Di antara keluhan tersebut adalah adanya regulasi yang menyatakan bahwa semua pendapatan dari persewaan barang milik negara (BMN) menjadi pendapatan negara atau masuk kas negara atau menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) umum yang sulit ditarik kembali untuk menjadi bagian dari pendapatan institusi pendidikan.

Dahulu, ketika semua Perguruan tinggi negeri (PTN) masih berstatus sebagai satker biasa atau satker PNBP, maka regulasi ini menjadi relevan sebab memang otonomi pendidikan di dalam pengelolaan keuangan masih diatur sesuai dengan UU PNBP, yang memang mengamarkan mengenai hal tersebut. Sehingga pendapatan dari penyewaan BMN menjadi PNBP umum.

Melalui tawaran fleksibilitas BLU, maka banyak lembaga pendidikan tinggi  yang berduyun-duyun memasuki kawasan status satker BLU dengan harapan akan memperoleh kemudahan di dalam pengelolaan keuangan tetapi tetap transparan dan akuntabel. Melalui system BLU maka satker akan dapat berusaha secara maksimal  untuk memperoleh anggaran di dalam kerangka meningkatkan pendapatannya.

Dengan demikian ada harapan yang menyembul bahwa melalui satker BLU,  maka lembaga pendidikan tinggi akan bisa untuk mengakses pendanaan yang variatif tergantung kepada kemampuan satker tersebut. Tujuannya adalah  untuk meningkatkan perolehan pendapatannya melalui variasi usaha baik pendidikan maupun non kependidikan.  

Ternyata bahwa terdapat kendala yang sangat besar untuk mendekati keinginan tersebut. Hal ini  disebabkan oleh regulasi dan tafsiran regulasi terkait dengan usaha non kependidikan yang bisa atau tidak bisa dijadikan sebagai sumber in come bagi institusi pendidikan. Ternyata bahwa institusi pendidikan tinggi tidak leluasa bahkan tidak memiliki otoritas untuk mengembangkan banyak hal di dalam kerangka pengembangan sumber dana non kependidikan tersebut.

Seharusnya, institusi pendidikan tinggi diberi kewenangan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat  terkait dengan pelayanan jasa non kependidikan. Jadi lembaga ini tidak hanya “menjual” jasa pendidikan saja,  seperti:  jasa kurikuler, penelitian, pengabdian masyarakat, administrasi pendidikan dan co-kurikuler, akan tetapi juga semestinya bisa “menjual” jasa layanan masyarakat yang memiliki relevansi dengan kepentingan pengembangan pendidikan. Jadi yang diukur adalah produk dan pendayagunaannya yang dihasilkan melalui usaha-usaha tersebut, meskipun usaha itu bercorak non kependidikan.

Jika lembaga pendidikan tersebut memiliki rumah sakit, hotel, paten, dan sebagainya dan hasil dari usaha tersebut didayagunakan untuk pengembangan akademik, riset dan pengabdian masyarakat atau untuk tri darma pendidikan tinggi, maka hakikatnya usaha tersebut adalah untuk kepentingan kependidikan.  Oleh karena itu, jangan dilihat semata-mata dari sumber usahanya akan tetapi mestilah dilihat dari produk dan pendayagunaan yang dihasilkannya.

Akhir-akhir ini ada keresahan yang luar biasa di kalangan lembaga pendidikan tinggi yang sudah berstatus BLU yang disebabkan oleh adanya regulasi yang tidak mendukung terhadap pengembangan pendidikan tinggi. Beberapa unit usaha “pelayanan” non kependidikan yang dilakukan oleh PTN kemudian dipangkas tidak bisa didayagunakan disebabkan oleh regulasi yang sangat mengikat.

Jika kita mengambil contoh UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta yang telah memiliki unit-unit usaha non kependidikan, seperti rumah sakit, Hotel dan usaha jasa lainnya dan kemudian tidak bisa didayagunakan untuk kepentingan pengembangan pendidikan, maka artinya bahwa menjadi satker BLU juga sama saja. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pendidikan ini tentu bisa menjadikan hasil usaha tersebut untuk kepentingan pengembangan akademik, riset dan pengabdian masyarakat. Banyak program  yang selama ini tidak terkover oleh APBN.

Kenyataan ini tentu akan membuat pimpinan lembaga pendidikan tinggi tidak akan bergairah di dalam pengembangan tri darma pendidikan tinggi yang disebabkan oleh kenyataan rendahnya APBN di satu sisi dan rumitnya pengembangan anggaran  melalui BLU sekalipun. Jadi, sesungguhnya regulasi tentang BMN dan fungsinya bagi pengembangan pendidikan tinggi nyaris tidak ada.  

Menurut saya, jika situasi ini tidak dicari jalan keluarnya, maka akan menjadi situasi yang tidak menguntungkan bagi pengembangan lembaga pendidikan tinggi. Oleh karena itu, seyogyanya harus ada tafsiran baru dari hasil konstruksi bersama para pemangku kepentingan, sehingga setiap regulasi tidak hanya membatasi, akan tetapi juga memberi peluang untuk berkembang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini