MENGENTAS PENGEMIS
Kian banyak saja daerah yang mendukung Fatwa MUI Sumenep tentang hukum haram mengemis. Selain MUI Jawa Timur juga terdapat beberapa MUI yang merespon, yaitu MUI Kabupaten Bojonegoro, MUI Kabupaten Garut, dan MUI Kabupaten Kudus (Suara Karya, 28/08/09).
Tentu ada alasan yang sangat jelas, baik naqli maupun aqli yang dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan fatwa haram mengemis tersebut. Alasan naqli tentu saja berangkat dari teks yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pekerja keras. Misalnya beliau bersabda “dan bekerjalah kamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhirat seakan-akan kamu akan mati besuk”. Bahkan al-Qur’an juga menjelaskan bahwa Allah tidak suka jika manusia meninggalkan keturunan yang lemah.
Sedangkan dalil aqlinya adalah bahwa kebanyakan pengemis bukanlah orang yang secara fisik memang darurat untuk mengemis akan tetapi mereka adalah orang sehat dan melakukan pembohongan publik dengan membuat proposal fiktif, yayasan fiktif dan mengemis terorganisasi yang sudah dijadikan sebagai profesi. Jadi mengemis bukan karena terpaksa karena faktor fisik lemah atau tidak mampu bekerja akan tetapi karena malas bekerja.
Dengan demikian, mengemis sudah menjadi penyakit sosial bukan lagi sebagai keterpaksaan stuktural karena tidak mampu mengakses pekerjaan. Jika demikian, maka fatwa mengemis haram tentu memiliki rujukan yang jelas. Di bulan puasa jumlah pengemis juga semakin membludak. Mereka secara cerdas mampu menangkap peluang memanfaatkan bulan puasa yang disebut sebagai bulan zakat, infaq dan sadakah. Memang di bulan ramadlan banyak orang Islam yang mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah. Di bulan inilah banyak pengemis yang memanfaatkannya untuk mengais rejeki.
Namun demikian, menyelesaikan mengemis dengan fatwa haram saja tentu tidak cukup. Tentu harus ada aktivisme untuk melakukan pengentasan pengemis dengan cara yang manusiawi. Di antaranya adalah dengan melakukan pendataan yang rinci tentang siapa orang yang memang menjadi pengemis. Jika sudah didapatkan datanya yang akurat, maka yang perlu dicari adalah menjelaskan faktor menyebab melakukan tindakan mengemis. Memang harus diakui bahwa untuk melakukan survey pengemis tentu bukan hal yang mudah sebab mereka kebanyakan adalah orang yang tidak memiliki tempat tinggal menetap. Bisa saja mereka berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Namun demikian melalui kerja keras yang diamanahkan kepada tim yang memiliki tanggungjawab dan sense yang kuat, kita akan tetap yakin bahwa pendataan akan dapat dilaksanakan.
Angka kemiskinan yang dilansiroleh BPS atau lainnya tidak menjelaskan tentang karakteristik kemiskinan dalam relasinya dengan mengemis. Oleh karena itu tugas tim ini adalah untuk menjelaskan relasi dimaksud dan kemudian mencari akar masalah yang menyebabkan mereka melakukan tindakan mengemis. Sekurang-kurangnya ada dua penyebab orang melakukan tindakan mengemis. Pertama, penyebab mental yaitu anggapan bahwa mengemis adalah suatu kewajaran dan bukan suatu kesalahan. Kedua adalah penyebab struktural yaitu ketidakmampuan individu untuk mengakses pekerjaan yang layak bagi dirinya. Nah tentu saja akan ada perbedaan dalam menangani tindakan mengemis dari penyebab yang berbeda ini.
Nah tugas dan fungsi Departemen Sosial dan departemen terkait lainnya adalah menyediakan anggaran untuk mengentas tindakan mengemis ini melalui sentuhan APBN dan APBD. Bukankah anggaran pemerintah untuk mengentas kemiskinan luar biasa besarnya. Jadi sesungguhnya negara sudah melakukan sesuatu untuk para orang miskin hanya saja kesannya masih merupakan tindakan formal. Padahal yang ditunggu adalah tindakan substansial yang menyentuh terhadap komunitas orang miskin. Negara memiliki kewajiban untuk mengentas kemiskinan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Wallahu a’lam bi al shawab.