KEBUTUHAN AKADEMIK PENDIDIKAN TINGGI
Di antara hal mendasar ketika seseorang merumuskan program hingga merumuskan action plan adalah menentukan apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan kita. Di dalam berbagai literature pengembangan atau pemberdayaan, maka yang diperlukan agar diketahui apa yang menjadi kebutuhan sasaran program adalah melalui analisis kebutuhan atau need assessment.
Perguruan tinggi tentu saja juga memiliki kebutuhan yang mendasar untuk dijadikan sebagai dasar pijak bagi perumusan program yang relevan. Marilah kita coba untuk mengamati apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan perguruan tinggi dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan tinggi dimaksud.
Dasar pijak untuk pengembangan program pendidikan tinggi adalah kebutuhan pengembangan akademik. Pendidikan tinggi memiliki fungsi untuk mengembangkan kualitas akademik seluruh komponen pendidikan tinggi tersebut, meliputi: pimpinan, dosen, mahasiswa dan juga karyawannya. Setiap lembaga pendidikan tinggi memanggul tugas penguatan akademis ini.
Di dalam kerangka pengembangan kualitas akademis ini, maka yang memanggul tugas utama adalah para dosen. Jika menggunakan pernyataan Prof. Muhammad Nuh, Mendiknas, maka yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan adalah para guru atau para dosen. Makanya, kualifikasi dosen yang memadai adalah kata kunci untuk pengembangan kualitas akademis para mahasiswanya.
Di tengah usaha untuk mengembangkan kualifikasi akademis tersebut, maka pemerintah telah mengupayakan agar pengangkatan gelar professor atau guru besar juga harus memiliki relevansi dengan pendidikan doktornya. Upaya ini janganlah semata-mata dibaca dari sisi kenginan pemerintah untuk membatasi jumlah guru besar atau professor. Jumlah professor kita masih sangat sedikit, jadi tidak mungkin pemerintah membatasi tentang pengangkatan jabatan guru besar tersebut.
Akan tetapi hendaknya dibaca sebagai upaya peningkatan kualifikasi akademik tersebut. Sebagai contoh, dosen yang mengampu mata kuliah tafsir, maka semestinya yang bersangkutan menulis disertasi tentang tafsir bukan menulis disertasi di bidang yang lain. Atau kalau seorang dosen memegang mata kuliah Ilmu Dakwah, maka seharusnya dia menulis disertasi tentang dakwah atau sekurang-kurang penyiaran agama Islam. Sehingga dosen tersebut bisa menyumbangkan teori yang relevan dengan bidang studi yang diampunya.
Dimensi linearitas ini dipandang penting sebab yang diinginkan adalah dosen yang memiliki kualifikasi unggul dalam bidang keilmuannya. Prof. M. Quraisy Syihab menjadi ahli dalam bidang tafsir karena beliau memang mengkaji karya akademik yang relevan dengan keahliannya. Hampir seluruh tulisan beliau terkait dengan dunia tafsir dan ragam dan variannnya. Yang lebih ekstrim, Dr. Zamakhsyari Dhofier juga sangat dikenal dengan antropologi pesantrennya karena hampir seluruh tulisannya bercerita tentang pesantren.
Kenyataan seperti itulah yang seharusnya menjadi contoh yang sangat baik bagi para dosen. Seorang dosen akan selalu gelisah dengan pengembangan bidang kajiannya. Dia selalu menjadi pencari ilmu melalui riset-riset yang sangat brilian. Jadi tidak hanya mengajar dengan diktat lama atau teori-teori lama yang sudah ketinggalan zaman. Semestinya dosen harus menjadi teladan di dalam proses pencarian akademis bagi para mahasiswanya.
Jika tidak seperti ini, maka saya khawatir bahwa apa yang diungkapkan oleh Mendiknas lalu tidak tepat. Dosen bukan menjadi kunci pengembangan akademik, akan tetapi sebaliknya hanya menjadi pekerja akademik yang pekerjaannya mengajar saja. Dan yang lebih berat jika yang bersangkutan juga tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan diri dan mahasiswanya.
Oleh karena itu, maka kebutuhan mendasar bagi lembaga pendidikan tinggi ke depan adalah memacu para dosennya agar yang bersangkutan memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya.
Saya yakin jika dosen memiliki ghirah pengembangan ilmu yang tinggi tentu akan mengimbas kepada mahasiswanya yang juga memiliki ghirah yang kuat untuk terus berkembang.
Wallahu a’lam bi al shawab.