Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROBLEMATIKA DAN SOLUSI SYIAH DI JAWA TIMUR

PENDAHULUAN

Kajian tentang kelompok atau sekte keagamaan dalam Islam tidak terbatas pada permasalahan teologis yang membedakan pandangan semua aliran, tetapi juga melibatkan persoalan lain seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya dari aliran pemikiran tersebut. Semua aspek tersebut saling terkait dengan pembahasan tentang teologi karena ikut menjadi faktor pemicu dari munculnya berbagai kelompok pemikiran dalam Islam.

Kelompok seperti Muktazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murjiah, Syiah, dan bahkan Ahlu al-Sunnah sendiri tidak muncul dan berkembang secara tiba-tiba, namun kesemuanya adalah merupakan bagian dari reaksi atas fakta yang yang sedang terjadi di sekelilingnya. Sebagai sebuah reaksi, maka kelompok keagamaan tersebut juga melakukan responsi terhadap permasalahan umat Islam yang sedang terjadi. Tentu kemudian reaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh doktrin aliran yang digunakan oleh berbagai sekte tersebut sehingga kesemuanya memiliki variasi yang berbeda.

Pada posisi inilah kemudian seringkali terjadi perselisihan tentang satu persoalan antar berbagai kelompok keagamaan. Ketika perselisihan pendapat ini ditempatkan sebagai bagian dari kajian keagamaan dengan tujuan saling memahami, menghormati tanpa harus meyakini pendapat yang berbeda, maka akan dapat membawa dampak positif pada khazanah pemikiran Islam dalam merespon problematika umat. Namun faktanya, perbedaan pendapat ini kerapkali menjadi pemicu kekerasan fisik dari satu kelompok kepada kelompok lainnya dengan alasan membela kepentingan agama atau Tuhan itu sendiri.

Indonesia sebagai salah satu tempat berkembangnya Islam di dunia, sangat terbuka dengan pergerakan aliran-aliran dari berbagai kawasan. Tentu fakta ini tidak hanya membawa dampak positif dengan perkembangan Islam yang maju dan heterogen, namun juga membawa potensi perselisihan antar berbagai kelompok yang sedang berkembang. Maka diperlukan sebuah upaya untuk mengantisipasi keadaan ini agar dapat memperindah kehidupan beragama di Indonesia.

PERMASALAHAN

Jawa Timur sebagai basis masyarakat muslim, memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri dibanding dengan daerah lain. Jawa Timur menjadi basis perkembangan kehidupan masyarakat muslim karena di daerah ini terdapat banyak pesantren yang secara mandiri telah melakukan tugasnya sebagai penggerak sekaligus pemandu kehidupan beragama masyarakat muslim di sekitarnya. Pesantren dengan kiai, masjid, pendidikan agama dan komunitas santri menjadi kiblat keislaman bagi masyarakat sekitarnya, sehingga nuansa keislaman di pesantren mampu berekspansi ke luar pesantren dan digunakan secara langsung oleh masyarakat umum. Inilah yang menyebabkan kehidupan di Jawa Timur menjadi  religius.

Disamping itu, Jawa Timur juga sangat terbuka dengan masuknya faham keagamaan yang datang silih berganti. Kemampuan adaptasi yang tinggi menjadikan Jawa Timur berpotensi menjadi tempat perkembangan faham keagamaan apapun, terutama Islam. Namun disisi lain hal ini juga diiringi dengan tingginya responsibilitas masyarakat Jawa Timur terhadap segala persoalan yang berbeda dengan adat dan kebiasaan yang telah berkembang, sehingga hal ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Sebagai salah satu faham keagamaan, Syiah telah masuk ke Jawa Timur dengan modus dan model operasi yang beragam. Setidaknya ada kantong Syiah di Jawa Timur seperti di Bangil Pasuruan, Jember dan Malang, disamping daerah-daerah lain yang juga ada aliran ini. Keberagamaan komunitas Syiah di Jawa Timur jelas memiliki perbedaan dengan berbagai komunitas lain yang banyak dipengaruhi pemikiran Sunni. Hal ini kerap kali menimbulkan perdebatan dan pertentangan pada masyarakat akar rumput tentang persoalan akidah, ibadah-muamalah, etika, dan bahkan sampai persoalan politik pemerintahan.

Upaya untuk menjaga toleransi intern umat beragama di Jawa Timur merupakan perjuangan panjang yang tidak mudah. Diperlukan pembacaan yang obyektif atas fakta yang sedang terjadi tentang persoalan ini di Jawa Timur, sehingga akan memberikan gambaran yang baik bagi semua pihak dalam menyikapi persoalan kerukunan tersebut.

HISTORISITAS SYIAH

Sosio-kultur Arab Era Permulaan Islam

Muhammad SAW diutus Allah bukan hanya pada bangsa Arab dan umat Islam semata-mata. Namun beliau diutus sebagai rahmat atas seluruh semesta untuk menyampaikan kabar gembira kepada seluruh orang atas datangnya tuntunan menuju keselamatan kehidupan dunia dan akhirat.[1] Hampir tidak ada yang menarik dari bangsa Arab sebelum Islam selain mereka adalah keturunan dari Ismail as dan Ibrahim as yang menjadi pemegang agama yang hanif. Selain itu, Makkah atau yang juga dikenal dengan sebutan Bakkah hampir tidak menjadi bagian penting dibanding dua peradaban besar waktu itu yaitu Byzantium dan Persia.

Hanya dua hal menarik yang menjadi aras pembicaraan ketika mengkaji Makkah sebelum revolusi Islam berjalan. Pertama, posisi Makkah sebagai daerah transito yang menjadi jalur perdagangan dua imperium tersebut. Semua kafilah dagang dari negara-negara kecil yang menginfiltrasikan dirinya kepada dua adidaya tersebut pasti melewati Makkah ketika melakukan perjalanan dagang. Transaksi dagang antar tiap golongan bangsa terjadi di Makkah, sehingga Makkah menjadi ramai dan menjelma sebagai kota dagang di zaman tersebut. Tiap kafilah tidak hanya membawa barang dagangan semata-mata, namun juga menampakkan perilaku budaya mereka di Makkah. Menjadilah Makkah sebagai kota multikultur yang sudah tidak malu lagi menyapa tiap perbedaan budaya yang ditampilkan di kawasan tersebut.

Pada aspek kesusasteraan, bangsa Arab sangat menghargai para sastrawan dan jagoan dengan keperwiraan mereka. Pada satu waktu yang telah ditetapkan, para ksatria dari berbagai marga akan unjuk kebolehan menunggang kuda, bergulat, bermain tombak, pedang dan panah. Sedangkan para penyair akan mengumandangkan sajak-sajak mereka pada kesempatan tersebut. Syair terbaik akan dipampang di dinding Ka’bah.

Kedua, keberadaan Ka’bah dan sumber air Zam Zam menjadi sangat strategis bagi Makkah. Di padang pasir yang kering dan panas membakar, tidak ada yang lebih berharga daripada air. Siapa yang menguasai air, maka dialah yang menguasai durum pasir. Di Makkah, pemegang kunci mata air Zam Zam adalah Banu Hasyim. Tugas utama pemegang kunci mata air Zam Zam adalah memberikan jaminan hidup dan pelayanan bai siapapun juga orang yang datang untuk melakukan peribadahan menurut versinya masing-masing di sekitar Ka’bah. Tugas ini dipegang oleh Quraisy (Fihr), diteruskan Abdul Muttalib sampai oleh Abu Thalib. Keluarga dimana Muhammad dilahirkan. Hal inilah yang membawa keluarga Banu Hasyim pada tingkatan yang disegani dan dihormati baik oleh warga Makkah maupun para pengunjung yang datang ke Makkah.

Namun meskipun begitu, sifat dasar bangsa Arab seperti halnya pasir yang sulit disatukan. Pasir merupakan benda yang meskipun diikat oleh genggaman apapun secara kuat, masih berpotensi luluh dan terbang kemanapun bersama desiran angin. Itulah wujud dasar bangsa Arab. Bagaimanapun terhormat dan berwibawanya, orang arab akan mudah tersulut oleh persoalan kecil yang dianggap sebagai kehormatan. Perebutan kawasan oase, dendam hutang darah antar keluarga, dan penganiayaan terhadap tamu, adalah beberapa isu sentral yang menjadi penyulut terjadinya perang antar keluarga di kalangan bangsa Arab. Celakanya, dendam kesumat antar suku ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun hanya karena persoalan perebutan secawan air.

Kondisi ini pula yang menyebabkan Byzantium dan Persia tidak tergerak untuk mengekspansi Makkah dalam kekuasaan mereka. Makkah tetap menjadi daerah otonom tanpa siapapun yang menguasai selain suku-suku asli Arab. Ketika Byzantium dan Persia menguasai Makkah, maka mereka akan kesulitan untuk menggelola potensi konflik yang sangat mungkin terjadi. Kekuatan militer dua bangsa itu akan dipaksa bekerja keras meninggalkan pusat kerajaan untuk mengawasi area Jazirah Arabiyah yang luas dan ganas. Maka baik Persia dan Greek tidak pernah tergerak untuk mengagresi Makkah. Makkah dibiarkan otonom dan mengelola dirinya sendiri. Asal Makkah tidak menggangu kepentingan ekonomi kedua bangsa besar tersebut, maka tidak perlu menyerang Makkah.

Angin perubahan muncul ketika di usia 40 tahun, Muhammad SAW mendapatkan tugas sebagai rasul. Gelar al-Amin (dapat dipercaya) yang disandangnya menjadikan Muhammad SAW memiliki bekal utama di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah yang terbelakang. Ketika Muhammad SAW berhasil membebaskan Makkah dari komunitas yang jahili, maka simpati muncul dari para penentangnya. Tersebutlah orang menjadi Abu Sofyan bin Harb, Amr bin Ash, dan Khalid bin Walid masuk Islam dan menjadi sahabat terkemuka Nabi. Namun ada kajian menarik yang memandang bahwa masuk Islam-nya para pembesar suku Quraisy ini disamping taufiq Allah, juga diiringi dengan motivasi untuk menjaga otoritas politik yang mereka miliki agar tidak tergerus oleh angin perubahan.

Politik Pasca Mangkatnya Rasulullah

Pada usia ke-63 tahun, Rasulullah mangkat dengan tidak meninggalkan satupun perhiasan atau harta yang berharga pada keluarga dan umatnya. Beliau juga tidak mewariskan sebuah otoritas politik dan kekuatan militer ang saat itu sudah mulai masuk ke wilayah kekuasaan Byzantium dan Persia. Rasulullah hanya mewariskan al Quran dan Sunnah sebagai pegangan umat Islam dalam menghadapi problem kehidupan mereka yang terus berkembang. Syahdan, sahabat Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan kokoh juga bisa meneteskan air mata dan sekana-akan “tidak dapat menerima” kemangkatan Rasulullah. Abu Bakar adalah orang yang berhasil “mengendalikan” Umar bin Khattab pada kondisi labil tersebut. Namun Abu Bakar yang arif sendiri seakan-akan telah mendapatkan visi masa depan bahwa Rasulullah akan segera meninggalkan mereka ketika sedang mengikuti Haji Wada’. Firman Allah yang berbunyi “al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu lakum al islaama diina”, di telinga Abu Bakar menjadi tanda bahwa tugas Rasulullah di dunia telah selesai. Fenomena “permintaan keadilan” Ukasyah pada diri Rasulullah, dan absennya Rasulullah saat shalat rawatib, adalah tanda dekatnya masa tersebut. Tidak ada yang terjadi setelah tercapainya tujuan selain kematian. Dan benarlah, tidak lama kemudian Rasulullah wafat.

Belum lagi jasad Rasulullah disemayamkan, telah ada pergunjingan di tengah-tengah umat Islam tentang “pengganti” kepemimpinan beliau. Tersebutlah Saad bin Ubadah dari Bani Tsaqifah[2] (salah satu suku terbesar Anshar) mengkoordinir beberapa sahabat dan diarahkan untuk membahas serta menentukan siapa pengganti kepemimpinan Rasulullah. Kelompok ini berpendapat bahwa merekalah yang pantas meneruskan posisi Rasul dengan jastifikasi bahwa mereka adalah para penolong Rasul dan Muhajirin dari sukunya sendiri. Tanpa kaum Anshar, mungkin Muhajirin tidak akan bertahan hidup dan mampu membebaskan Makkah. Muncullah jargon “minna amiiron waminkum amiiron” dan diterima oleh seluruh Anshar. Bagi kami (Anshar) seorang pemimpin dan bagi kalian (Muhajirin) seorang pemimpin. Sekali lagi isu-isu syu’ubiyyah kembali muncul.[3]

Melihat ini, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah bertandang ke Bani Tsaqifah untuk menenangkan suasana. Abu Bakar adalah orang yang termaksud dalam “tsaniyasnain fi al ghar” dan perwakilan Muhajirin melakukan tawar-menawar dengan golongan Anshar. Abu Bakar mengajukan klaim “al aimmah min quraisyin”. Tawaran yang tegas dengan segala konsekwensi yang juga dipahami oleh golongan Anshar. Jika mereka (Anshar) memusuhi Muhajirin pada saat itu, maka Anshar akan berhadapan dengan seluruh suku Quraisy dari berbagai kabilah dan itu berarti bunuh diri. Umar lalu mengajukan Abu Bakar sebagai khalifatullah wa khalifaturrasul dan disetujui oleh semua orang di forum tersebut serta mengangkat baiat kesetiaan kepada Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib sendiri baru angkat baiat terhadap Abu Bakar setelah kemangkatan Fatimah, enam bulan setelah Rasulullah wafat.

Masa Abu Bakar diwarnai dengan upaya pengembangan kekuasaan dan pemerangan terhadap gerakan riddah yang mulai muncul. Peperangan dengan kelompok riddah yang dipimpin oleh Musailamah al-Kadzdzab tidak hanya didasari oleh ajaran baru yang dibawanya, namun juga karena Musailamah menolak bayar zakat kepada Abu Bakar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Muawwiyah, Khalid bin Walid dan Amr bin Ash untuk menunjukkan loyalitas pada Islam. Merekalah yang getol memerangi kelompok riddah ini. Akhirnya kelompok Musailamah dapat ditumpas, walaupun ada sedikit kesalahpahaman antara Umar bin Khattab yang berposisi sebagai “Waliyyul ‘Ahd” (penanggung jawab kebijakan) yang berposisi langsung di bawah khalifah. Oleh Umar, Khalid din Walid dianggap salah karena “memperkosa” janda Musailamah, sedang Khalid bin Walid menganggapnya bukan perkosaan karena istri musailamah adalah budak yang didapatkan dari perang.

Lambat laun, Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar yang wafat dengan gelar amirul mukminin dan al Faruq. Watak tegas dan tidak dapat berkompromi dengan siapapun yang bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah membawa kekhawatiran sendiri bagi Bani Umayyah yang hidup bergelimang kemewahan sedang Umar bin Khattab sendiri bergaya hidup sederhana. Utsman bin Affan yang memiliki kedekatan secara geneologis dengan Bani Umayyah menjadi penasehat Umat. Penataan sistem keuangan dipusatkan di Baitul Mal, muncul perbaikan administrasi dan penulisan mushaf al-Quran disamping gerakan ekspansi juga terus dilakukan. Pada masa inilah Palestina dikuasai umat Islam.

Kemangkatan Umar bin Khattab didahului oleh penunjukan 6 orang tim formatur yang bertugas memilih khalifah sepeninggalnya nanti. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Zubair. Zubair bin Awwam tidak dapat maju karena ia dan Ali bin Abi Thalib sama-sama dari Banu Hasyim. Saad bin Abi Waqqash dari Bani Zahrah memiliki kemungkinan kecil untuk maju karena kecilnya dukungan kabilah yang dimiliki. Thalhah bin Zubair sama dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adiy, jadi tidak etis bila wakil bani tersebut maju kembali. Yang tersisa hanyalah Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan yang sama-sama dari Bani Umayyah serta Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim. Maka pilihan ada di tangan Abdurrahman bin Auf. Akhirnya Abdurrahman memilih Usman dengan pertimbangan Usman lebih tua dan dari marga yang sama dengannya.

Pada masa Usman inilah Hakam bin Umayyah, tokoh Makkah yang pernah diusir Rasulullah dari Madinah walaupun telah mengaku muslim diperbolehkan Usman kembali ke Madinah, padahal Abu Bakar dan Umar juga menolak kedatangan Hakam. Oleh Usman, Hakam tidak hanya diperolehkan masuk Madinah, namun juga diberi tugas sebagai sekretaris khalifah yang menangani segala bentuk administrasi kekhalifahan. Disisi lain, kader-kader Bani Umayyah disebar Usman di berbagai kawasan sebagai Amir. Inilah yang menimbulkan pendapat mayoritas umat Islam waktu itu bahwa khalifah sudah menjadi kerajaan keluarga.

Sementara itu, figur Ali bin ABi Thalib semakin dikagumi oleh tokoh seperti Ammar bin Yasir, Khudzaifah bin Yaman, Salman al Farisi, Ubadah bin Shamit, Abu Dzar al Ghifari serta berbagai sahabat yang tersisa. Muncullah simpati yang berujung dukungan kepada Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai “ahadul mubasysyirin fil jannah” dan “babu madinatul ilmurrasul” seiring dengan menyusutnya masyarakat muslim akan figur Usman bin Affan. Kasak-kusuk tentang kudeta santer terdengar di Madinah. Ali bin Abi Thalib sendiri memerintahkan puteranya Hasan dan Husain secara bergantian untuk menjaga kediaman Usman bin Affan dari kemungkinan yang tidak diinginkan.

Gejolak tersebut tidak dapat diredam ketika ada 40 orang penduduk Mesir, Basrah dan Kufah yang berangkat ke Madinah dalam rangka menuntut Usman mengakhiri masa kepemimpinan amir yang ditunjuk Usman di wilayah tersebut. Oleh Usman rombongan ini diterima dengan baik dan dijanjikan untuk dipenuhi tuntutannya. Kembalilah rombongan tersebut ke daerahnya masing-masing. Sekonyong-konyong, rombongan orang-orang Mesir mendapati seseorang dalam perjalanan pulang. Diketahui bersama orang tersebut terdapat surat resmi berstempel khalifah Usman bin Affan yang meerintahkan amir (penguasa) Mesir, Abdullah bin Abi Syarrah untuk membunuh rombongan orang yang menghadap Usman bin Affan. Melihat itu, rombongan orang Mesir putar halauan dan kembali ke Madinah untuk menuntut keadilan pada Usman bin Affan. Ternyata rombongan dari Basrah dan Kufah juga mendapai hal yang sama. Ketiga kelompok inipun membunuh khalifah Usman bin Affan yang sedang mengaji setelah melumpuhkan Hasan-Husein.

Muawwiyah yang memerintah di Damaskus menuduh Ali bin Abi Thalib di belakang tragedi ini. Dengan bantuan Amr bin Ash, Muawwiyah tidak angkat baiat terhadap kekhalifahan Ali tapi mengumandangkan perang atas dasar “tuntut balas darah Usman”. Pecahlah perang Shiffin yang diakhiri dengan Tahkim dan melegitimasi kepemimpinan Muawwiyah daripada Ali bin Abi Thalib secara diplomatis.

Firqah (sekte) Dalam Islam

Munculnya al fitnah al kubra tidak hanya ditandai dengan peperangan antara golongan umat Islam, namun juga diiringi dengan munculnya perbedaan pandangan dalam mentafsirkan al Quran dan Sunnah ketika membawanya pada aspek sosial yang lebih kontekstual dengan lahirnya beberapa firqah (sekte)[4] dengan klaim kebenarannya masing-masing. Kelompok pemikiran ini tidak murni lahir karena alasan teologis semata, namun juga dipengaruhi oleh kondisi politik saat itu. Syiah muncul dengan pengkultusannya kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait, Khawarij muncul ketika memandang Ali bin Abi Thalib tidak tegas dengan menerima tawaran Tahkim, dan Muktazilah yang menjadi penyokong Muawwiyah kemudian “didepak” sebagai “ideologi negara” oleh Muawwiyah dan memilih Jabariyah pada masa awal kekuasaannya.

Klasifikasi Firqoh Klasik Islam

NAMA TOKOH & DAERAH PERKEMBANGAN DOKTRIN
TEOLOGIS SOSIO-POLITIK
SYIAH Ada dua periode perkembangan Syiah. Periode pertama (sebelum al Ghazali) Syiah didirikan oleh Ibnu Babawaih al Qumy yang lebih bercorak “Sunni-Imamah”. Beliau memiliki murid bernama Syaikhul Mufid yang dititipkan pada Wazir al Shahib Ibnu Ibad dari Bani Dailam. Syaikhul Mufid inilah yang “memberontak” dari Sunni-Imamah” dan merumuskan Mabadi al Khamsah yang meniru faham Muktazilah, yaitu tauhid, al nubuwwah, al ‘adalah, al ma’ad dan al Imamah. Syaikhul Mufid inilah yang menjadi mewarnai Syiah periode kedua (pasca al Ghazali). –  Ali bin Abi Thalib berstatus ma’shum, sama dengan Rasulullah (‘ishmah);

–  Mempercayai kemunculan Imam Mahdi dari sekte mereka;

–  Membolehkan perbuatan taqiyah;

–  Imam Mahdi sedang bersembunyi dan wajib diharapkan kedatangannya (konsep raj’ah).

Gerakan ini mengklaim bahwa yang paling berhak atas jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan harus diwariskan secara turun temurun.
MUKTAZILAH Didirikan oleh Washil bin Atho’ yang menjadi murid dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dari ibu bernama Fatimah binti Hanafiyah. Pemikiran ini muncul dari pengajian Muhammad bin Ali di Madinah dan berkembang di Mesir, Basrah dan Kufah. Abu Hudzail alAllaf dan Ibrahim al Nadham mengembangkan kelompok ini sampai liberal dan tidak menerima kebenaran teks al Quran ketika dianggap tidak rasional –  Doktrin ushulul khomsah yaitu:

–  Kebebasan akal manusia atas segalanya;

–  Sifat Allah manunggal dalam zat-Nya;

–  Al manzilatu baina al manzilataini;

–  Al wa’du wal wa’id;

–  Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar;

–  Kekuatan manusia yang terdiri atas kekuatan qobla al fi’il, ma’a al fi’il, dan ba’da al fi’il yang mandiri dari Tuhan.

Gerakan ini lahir untuk mendobrak klaim Muawwiyah yang menyatakan “adalah kehendak Tuhan atas dirinya yang menjadi penguasa dan mengalahkan Ali. Jika Allah tidak meridloi Muawwiyah, maka tentu ia akan kalah dari Ali saat Tahkim”.
JABARIYAH Dibawa oleh Jaham bin Sofwan yang berkembang di Damaskus, Khurazan dan Persia –  Tuhan memiliki otoritas penuh atas diri manusia, baik atau buruk itu adalah kekuasaan Tuhan (manusia majbur);

–  Akal tidak berfungsi sebagai interpreter atas wahyu Tuhan, tapi pelaku pasif.

Faham ini diterima Muawwiyah dan digunakan untuk propaganda kemenangannya saat Tahkim atas Ali bin Abi Thalib. Faham ini juga digunakan Muawwiyah untuk menangkal kezaliman dan kemewahan hidup yang dipraktekkannya. Ia berpendapat bahwa kezaliman dan kemewahan itu adalah kehendak Tuhan.
QODARIYAH Muncul tahun 70 H/689 M dibawa oleh Ma’bad al Juhaimi dan Ghailam al Dimasyqi –  Manusia memiliki kekebasan mutlak atas diri dan alam sebagaimana yang diberikan Tuhan;

–  Berbeda dengan Muktazilah yang melihat kebebasan manusia dari akal, Qodariyah melihat kebebasan manusia bersumber dari otoritas yang diberikan Tuhan.

Kelompok ini muncul sebagai antitesa atas faham Jabariyah yang disokong oleh Abdul Malik bin Marwan, salah satu petinggi Dinasti Umayyah di Irak.
MURJIAH Dikenalkan oleh Abi Bakrah, Abdullah bin Umar dan Imran bin Husain di Damaskus –  Syahadat adalah tanda tertinggi orang memeluk Islam;

–  Perbuatan dosa besar tidak menafikan syahadat karena hanya Tuhan yang menilainya.

Kelompok ini lebih suka menarik diri dari kancah perpolitikan dan mengambil uzlah dari keramaian karena memandang uzlah adalah kunci untuk dapat keluar dari permasalahan hidup.
KHAWARIJ Muncul dari kelompok Ali yang membangkang pasca perang Shiffin. Sekte ini dikembangkan Abdullah bin Wahab al Rasyid –  Takfir pada tiap muslim yang berdosa besar. Ali, Muawwiyah dan Amr bin Ash dalam kategori ini;

–  Fasiq pada muslim yang melakukan dosa kecil.

Sekte  ini mengkafirkan tiap orang yang terlibat pada perang Shiffin dan Jamal. Pemimpin tidak harus dari suku Quraisy. Sekte ini melawan doktrin Syiah Imamiyah.

Syiah secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu Zaidiyah, Ismailiyah, dan Itsna Asyariyah, disamping juga banyak kelompok sempalan lain didalam ketiganya.[5] Syiah sendiri muncul karena ada anggapan atau penafsiran beberapa sahabat pasca wafatnya Rasulullah SAW tentang persoalan politik dan kepemimpinan (imamah). Imamah adalah kepemimpinan religius-politik yang disandang oleh seseorang dengan konsekwensi ia akan memiliki otoritas penentuan kebijakan politik dan keagamaan secara bersamaan. Pada perkembangannya, Syiah Itsna Asyariyah juga dikenal sebagai Syiah Imamiyah karena kelompok Syiah inilah yang getol mengusung cita-cita berdirinya daulah (negara) yang dipandu langsung oleh para Imam golongan Syiah.

Syiah Imamiyah memiliki doktrin yang membedakannya dengan kelompok Syiah lain. Dianara doktrinnya adalah ishmah (semua Imam Syiah terpelihara dari dosa sebagaimana Nabi Muhammad SAW dipelihara Allah dari perbuatan maksiat), ilmu (semua imam memiliki ilmu yang sama dengan ilmu rasul dan nabi), mukjizat (semua imam memiliki kelebihan mukjizat sebagaimana Allah menganugerahkan mukjizat kepada semua nabi dan rasul), al-ghaibah (kegaiban 12 Imam Syiah untuk menyiapan kepemimpinan), raj’ah (menganjurkan agar semua penganut Syiah mengharapkan kedatangan Imam yang sedang dinanti untuk membawa kemaslahatan). Pada beberapa keterangan, doktrin identik dengan Mahdiisme[6]; dan taqiyah (menyembunyikan ketakwaan).[7]

BASIS, TIPOLOGI DAN KONTEKS SOSIAL SYIAH DI JAWA TIMUR

YAPI di Bangil, Pasuruan

Di Jawa Timur, setidaknya terdapat tiga kantong penyebaran Syiah dengan kekhususan cirinya masing-masing. Tiga tempat itu adalah YAPI (Yayasan Pesantren Islam) yang bertempat di Bangil, Al-Hujjah yang bertempat di Jember, dan Al-Kautsar yang bertempat di Malang.

YAPI didirikan oleh Ustadz Husein bin Abu Bakar al-Habsyi[8] pada tanggal 21 Juni 1976 di Bangil Kabupaten Pasuruan. YAPI yang didirikan di Bangil ini pada mulanya merupakan bagian dari gerakan Syiah yang sudah ada di Bondowoso tahun 1971. YAPI Bangil didirikan oleh Ustadz Husein bin Abu Bakar al-Habsyi seorang, sedangkan YAPI di Bondowoso didirikan oleh tokoh seperti Habib Alwi al-Haddar, Hedra al-Haddar dan Habib Muhammad Saleh al-Muhdar serta beberapa nama lain. Dalam perkembangannya, YAPI Bangil berdiri sendiri dan “terpisah” dengan YAPI yang ada di Bondowoso.

Sebagai lembaga pendidikan, YAPI Bangil aktif mengadakan pengajian, penerbitan majalah dan kegiatan sosial keagamaan seperti peringatan hari besar Islam yang berkaitan dengan kelahiran (wiladah) sampai kematian (syahadah) para Imam Syiah. Hal ini dapat dilihat melalui penerbitan kalender akademik bagi kalangan YAPI sendiri yang memiliki kemiripan dengan kalender yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Iran di Jakarta (ICC).[9] Dalam kalender tersebut tercantum hari peringatan Asyura[10] dan minim (tidak ada) peringatan hari besar lain seperti Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Quran.

Selain itu, YAPI juga menerbitkan beberapa buku[11] dan VCD yang berisi ceramah atau keterangan tentang ahlu al-bait atau tentang Syiah. sebagai pegangan bagi kader atau santri mereka untuk menghadapi buku Sunni lain yang banyak beredar di tengah masyarakat. Buku-buku berfaham Syiah ini disandarkan pada rujukan utama berjudul al-Kafi. Hal ini juga terbawa pada aspek kurikulum dimana struktur kurikulum yang diajarkan tidak hanya merujuk pada kitab Syiah tapi juga menggunakan kitab-kitab yang biasa digunakan oleh kelompok Sunni. Namun penggunaan kitab-kitab Sunni ini tidak sebagai bahan utama, namun lebih sebagai perbandingan, atau lebih tepat dijadikan bahan kajian untuk mencari kelemahan pendapat ulama Sunni.

Doktrin utama kitab al-Kafi yang menjadi pegangan di YAPI, khususnya di bab Hujjah, memuat dua kategori penting yang kerap kali menimbulkan kemarahan di kalangan Sunni, yaitu tentang tahrif (perubahan mushaf al-Quran yang sudah umum digunakan mayoritas ulama) dan takfir (pengkafiran para pemuka sahabat Nabi SAW selain Ali bin Abi Thalib.

Selain itu, ungkapan shalawat dan salam Syiah kepada Muhammad SAW berbeda dengan umumnya kelompok Sunni menyampaikan shalawat dan salam. Jika kelompok Sunni menggunakan ungkapan SAW (shallallahu ‘alaihi wasallam)[12], maka bagi kelompok Syiah ungkapan ini berbeda menjadi SAAW (shallahu ‘alaihi wa ‘alaihi wasallam) atau SWW (shallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam). Untuk pada Imam dan juga Fatimah binti Muhammad SAW, kalangan Syiah tidak menggunakan ungkapan radliyallahu anhu (ra), namun menggunakan alaihissalam (as).[13]

Jenjang pendidikan di YAPI menampilkan wajah pengkaderan Syiah mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai tingkat khusus (takhassus). Bagi santri yang sudah menempuh tingkat takhassus, mereka akan mendapatkan materi seperti akidah, fiqih, sejarah, mantiq (logika), dan filsafat Islam.

Kurikulum Takhassus YAPI

No Materi Kitab Sunni Kitab Syiah Pengarang
1 Akidah Al-Aqo’id al-Islamiyah, 1-3 Ayatollah Taqi Mizbah Yazdi
2 Fiqh Komparatif Al-Fiqh ‘ala al’Madhahib al-Khamsah Syaikh Jawad Mughniyah
3 Usul Al-Halaqat 1-3 M. Baqir Shadr
4 Fiqh Argumentatif Fiqh Istidlali Syaikh Baqir Irwani
5 Mantiq (Logika) Al-Mantiq Ayatollah Mudhaffar
6 Filsafat Islam Bidayah al-Hikmah Sayyid Husain Tabataba’i
7 Nahwu Sharh Alfiyah Ibnu Malik
8 Balaghah Al-Balaghah al-Wadlifah

Kurikulum yang diberikan kepada santri ini disebarkan melalui brosur penerimaan santri baru yang diedarkan oleh YAPI. Maka kerap kali brosur tersebut jatuh ke tangan masyarakat di Bangil dan membaca informasi tentang kurikulum yang diajarkan di YAPI. Dari momentum inilah muncul beberapa tuduhan yang mengarah ke YAPI bahwa lembaga pendidikan tersebut berfahamkan Syiah.

Citra bahwa YAPI melakukan “syi’ahisasi”[14] di Pasuruan, memicu respon walisantri yang berfaham ahlu al-sunnah dengan memindahkan anak-anak mereka yang telah terlanjur masuk pesantren tersebut di beberapa pesantren sekitarnya yang juga dikelola oleh kalangan haba’ib (keturunan Rasulullah SAW) seperti pesantren Dar al-Lughah wa al-Dakwah (DALWA), Dar al-Nashihin Lawang, Dar al-Hadits li Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah Malang, Ponpes Sunniyah Salafiyah Kraton, dan sebagainya.

Maka pendeknya, YAPI di Bangil disamping memiliki lembaga pendidikan dari TK sampai SMU, juga memiliki forum pengajian bagi kalangan terbatas dan kalangan umum serta memiliki media cetak yang bernama Islamuna. YAPI melakukan ideologisasi Syiah dengan pendidikan yang diterapkannya, serta mewartakan ajaran Syiah melalui majalah yang diterbitkannya.

Dengan model gerakan seperti ini, YAPI membentuk kader yang ideologis, militan dan mampu mengorganisir diri serta komunitasnya. Kader-kader Syiah yang dihasilkan oleh YAPI diarahkan untuk memperdalam kualitas keilmuan dan ideologi Syiah mereka dengan melanjutkan studi terutama di Qum University Iran, Suriah, atau Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia. Dengan begitu, kader-kader ini akan memiliki kekuatan ideologi Syiah dalam dirinya sekaligus memiliki kekuatan jaringan untuk kemudian digunakan kembali dalam rangka melakukan ideologisasi Syiah. Namun, kemampuan YAPI untuk beradaptasi[15] dengan lingkungan sekitarnya beberapa tahun terakhir mulai berkurang semenjak ditinggal wafat oleh Ustadz Husein Abu Bakar al-Habsyi dan diteruskan oleh putranya, Ali Ridha bin Husein al-Habsyi.

Berkurangnya kekuatan adaptasi YAPI dengan lingkungan sekitarnya ini menyebabkan kerap kali terjadi perselisihan antara YAPI dengan beberapa ulama di Pasuruan, sehingga terkesan seperti pertikaian antara Sunni versus Syiah. Perselisihan ini terjadi bukan hanya di forum-forum pengajian, pendidikan, dan majlis taklim lain, namun juga terjadi melalui penyebaran selebaran-selebaran tanpa identitas yang saling menyerang dan membela dua kelompok ini. Pertikaian Sunni-Syiah di Bangil sebenarnya lebih terlokalisir dan direpresentasikan dengan istilah “perang Arab” karena yang getol mewakili Sunni juga ada orang keturunan Arab sedangkan dari pihak Syiah juga dimotori oleh orang keturunan Arab. Maka konflik Sunni-Syiah di Bangil sebenarnya dapat dikatakan sebagai “konflik Arab”. Dari kejadian ini, dalam satu keluarga Arab terkadang ada anggota yang condong ke Sunni dan ada yang condong ke Syiah. Salah satu polemik dari dua kubu ini yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat yaitu persoalan boleh-tidaknya nikah mut’ah. Ustadz Husein Abu Bakar al-Habsyi yang menjadi pengasuh YAPI, membolehkan mut’ah dan ini merupakan salah satu ciri utama dari Syiah, sedangkan ulama Sunni Pasuruan tidak membolehkan mut’ah.

Al-Hujjah di Jember

Al-Hujjah adalah sebuah yayasan yang didirikan dan dibina oleh Ustadz Husein al-Habsyi di Jember tahun 1987. Yayasan yang berdiri diatas ½ hectare tanah ini mengelola lembaga pendidikan al-Quran yang dipusatkan di sebuah masjid dan juga memiliki rumah anak yatim. Lembaga ini dikelola oleh murid Ustadz Husein al-Habsyi yang bernama Jamaluddin Asymawi yang berasal dari Madura. Ia pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren Sunni, memiliki ketertarikan dengan faham Wahabi, namun akhirnya ia mengkonversi keyakinannya sebagaimana faham Syiah. Hal itu dibuktikan Asymawi dengan pembelajaran yang dilakukannya pada Ustadz Husein al-Habsyi di Bangil dan meneruskan pendalaman ajaran Syiah di Iran pada tahun 1982. Setelah pulang pada tahun 1987, ia diajak Ustadz Husein al-Habsyi mendirikan al-Hujjah. Asymawi meninggal tahun 2002 dan kepemimpinannya diteruskan oleh Lamidi.

Organisasi ini memiliki sebuah majalah yang terbit tahun 1992 sebagai corong penyebar doktrin ajarannya kepada masyarakat yang memuat beberapa rubrik berkaitan dengan kajian keislaman. Majalah ini memuat tulisan yang terkesan “berimbang” dan menjadi jembatan dari Sunni dan Syiah (Su-si) di Jember. Dari sisi Sunni, majalah al-Hujjah terkesan menjadi media dialog antara pemikiran Sunnah dan Syiah secara obyektif ketika meneropong problematika umat yang sedang terjadi. Dari sisi Syiah, majalah ini berguna sebagai media untuk mengimplementasikan konsep taqiyah yang dipraktekkan oleh faham Syiah.

Kolaborasi yang dikembangkan oleh komunitas Syiah dengan doktrin Sunni melalui yayasan al-Hujjah ini menjadi fenomena tersendiri bagi Syiah di Indonesia. Namun, kolaborasi ini juga membawa dampak negatif dimana tidak ada kejelasan sikap yang diterapkan oleh al-Hujjah tentang satu persoalan keagamaan. Standar Sunni diakui, standar Syiah juga diakui, singkatnya al-Hujjah menggunakan double standart dalam menetapkan penjelasan atas persoalan tertentu. Inilah yang kemudian membingungkan warga sekitarnya. Jargon “menghidupkan ukhuwah” menjadi semboyan utama al-Hujjah untuk mampu survival di Jember sebagai basis utama nahdliyyin, namun semboyan ini juga yang kemudian membawa ketidakjelasan identitas ideologi al-Hujjah di mata masyarakat sekitarnya sehingga menyandang predikat organisasi “Su-Si” (Sunni sekaligus Syiah).

Al-Kautsar di Malang

Organisasi ini merupakan bentukan dari Ustadz Husein al-Habsyi yang lebih khusus diperuntukkan bagi kalangan mahasiswa yang tertarik dengan ajaran Syiah di Jawa Timur. Yayasan ini berdomisili secara berpindah-pindah meskipun kini memiliki TK dan SD I daerah Blimbing Malang. Pada awalnya al-Kautsar mengadakan pengajian bagi komunitas Syiah yang ideologis maupun yang blasteran dari Sunni-Syiah, namun al-Kautsar lebih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang menangani penerbitan buku-buku pemikiran Ustadz Husein al-Habsyi seperti buku berjudul “Nabi SAWW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam”; Agar Tidak Terjadi Fitnah”; dan “Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah Islamiyah”.

Selain bergerak dalam hal penerbitan, al-Kautsar juga bergerak dalam hal kegiatan bedah buku dan seminar yang dikhususkan untuk membedah karya-karya ilmiah yang diterbitkannya. Al-Kautsar juga mengadakan haul tahunan untuk memperingati wafatnya Ayatullah Khomaini dengan menyewa tempat di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Malang. Hal ini ditujukan agar mendapatkan simpati dari kalangan mahasiswa yang haus akan pengetahuan.

Gerakan al-Kautsar lebih banyak diorientasikan dalam bentuk penerbitan dan pengkajian pemikiran Syiah. Dampaknya, terbentuklah kelompok simpatisan terhadap ajaran Syiah, bukan massa ideologis dan militan. Simpatisan yang terbentuk dari gerakan al-Hujjah adalah mereka yang memperhatikan dan meluangkan waktu untuk mencermati doktrin yang ditawarkan oleh buku-buku al-Hujjah yang berkaitan tentang Syiah. Pembacaan terhadap ide-ide dari buku tersebut cukup mewarnai pemikiran pembaca, tanpa harus menghilangkan keyakinan dasarnya terhadap ajaran Islam –Sunni. Simpatisan Syiah seperti ini juga tidak memposisikan kebenaran argumentasi Syiah sebagaimana yang ditawarkan al-Hujjah di atas kebenaran argumentasi kelompok Sunni, namun memposisikan keduanya pada derajat yang sama. Dalam prakteknya, komunitas ini tetap akan banyak dipengaruhi ubudiyah Sunni karena telah memiliki akar yang mapan di tengah masyarakat.

Aktifitas Utama Syiah di Jawa Timur

No Kota/daerah Lembaga/media Aktifitas utama Sasaran
1 Bangil, Pasuruan Pesantren YAPI

Majalah Islamuna

Pengajian Khusus

Kaderisasi

Penerbitan Majalah

Indoktrinasi

Santri

Santri/warga lingkungan YAPI

Habaib dan muhibbin santri

2 Jember Majlis Taklim yayasan al-Hujjah

Bulletin al-Hujjah

TK

Pengajian

Penerbitan

pendidikan

Umum

Mahasiswa

Orang tua/walimurid TK

3 Malang TK dan SD al-Kautsar

Penerbit buku al-Kautsar

Perumahan

Pengajian

Pendidikan

Penerbitan

Real estate

Indoktrinasi

Umum

Mahasiswa/umum

Umum

Khusus

Dari tempat penyebaran Syiah di Jawa Timur tersebut (Bangil, Jember dan Malang), terdapat tiga pola perkembangan Syiah. Pertama, Syiah ideologis yang dikembangkan oleh YAPI di Bangil melalui pendidikan Syiah yang lebih terstruktur dengan rapi; kedua, “Su-Si” (Sunni-Syiah) yang muncul akibat kolaborasi dan pemahaman setengah-setengah antara Sunni dan Syiah dari gerakan al-Hujjah di Jember; ketiga, Syiah Simpatisan yang muncul disebabkan ketertarikan gairah akademis dengan buku-buku yang diterbitkan oleh al-Kautsar di Malang.

PENUTUP DAN SOLUSI

Melihat perkembangan kehidupan beragama di Jawa Timur, khususnya berkaitan dengan kelompok Syiah yang disinyalir telah ada dan berkembang secara pesat, diperlukan beberapa langkah untuk merespon hal ini. Beberapa tawaran solusi yang layak dilakukan dalam konteks tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Membangun inklusifisme antar elit kelompok keagamaan, khususnya antara kelompok yang berada dalam kategori Sunni dan Syiah. Upaya ini diarahkan untuk mendorong elit Sunni dan Syiah agar dapat saling berdialog dengan santun, etis dan diiringi persaudaraan antar sesama umat Islam, tidak membatasi kebenaran klaim keagamaan merupakan kebenaran pribadi dan menafikan kebenaran pendapat kelompok lain.

2.    Menggalakkan forum silaturrahmi antara Sunni dan Syiah. Forum silaturrahmi ini dapat dilakukan secara berkala atau tertentu di kalangan elit kelompok agar meminimalisir ketegangan yang disebabkan dari pergerakan Syiah di Jawa Timur.

3.    Masing-masing kelompok membangun pemikiran dan aplikasi keberagamaan yang moderat. Doktrin keagamaan yang digunakan untuk melihat atau mencermati problematika umat yang sedang berlangsung diarahkan untuk mampu memproduk pemikiran keagamaan yang mengandung solusi atas persoalan sosial yang sedang terjadi. Selain itu, pemikiran keagamaan yang difatwakan, selayaknya bukan merupakan pemikiran keagamaan yang ekstrim dan sektarian dengan klaim pada penyandang kebenaran tertentu dan menghilangkan kebenaran dari pihak lain.

4.    Pemerintah memfasilitasi dan memediasi dialog antar kelompok agama, khususnya Sunni dan Syiah. Dialog keagamaan ini lebih tepat bukan diarahkan untuk saling menelanjangi doktrin keduanya, namun lebih digerakkan untuk menggali pemikiran keagamaan dua kelompok ini tentang persoalan umat yang lebih besar seperti permasalahan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.

5.    Menghindarkan segala bentuk kekerasan atas nama agama melalui pemahaman tentang pluralitas dan multikulturalitas. Diperlukan pemahaman keagamaan yang didasari atas keyakinan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang menjadi bagian dari sunnatullah, sehingga yang diperlukan adalah bagaimana memahami kelompok lain tanpa harus menjelma menjadi kelompok tersebut. Maka pengakuan atas pemikiran, ubudiyah dan doktrin satu faham tertentu tanpa harus menjadi pengikutnya, adalah sikap yang mencerminkan pemahaman sikap yang pluralis dan multikulturalis.


[1] Informasi bahwa Muhamad SAW menjadi pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan ini ditegaskan Allah dalam QS. Saba ayat 28. Penegasan tugas Muhammad SAW ini juga pernah diinformasikan Isa as kepada kaumnya sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Shaf ayat 6. Bahkan di ayat tersebut (QS. Shaf: 6) Allah juga menginformasikan bahwa nanti akan ada penolakan dan tuduhan dari sebagian umat Muhammad SAW bahwa yang disampaikannya bukanlah wahyu dari Tuhan akan tetapi sihir yang nyata. Selain sebagai “basyir” dan “nadhir”, Muhammad SAW juga menjadi bukti rahmat Allah atas seluruh alam sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Anbiya: 107.

[2] Beberapa penulis berfaham Syiah mengulas pertemuan Banu Tsaqifah sebagai kudeta atas hak Ali bin Abi Thalib yang lebih tepat menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Segenap orang yang terlibat di Banu Tsaqifah dituding kelompok Syiah sebagai perampas kebenaran karena mengambil hak Ali. Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah, (Jakarta: Al-Huda, 2006) h. 2-15

[3] Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Interpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000) h. 6-7

[4] Hadits ini menerangkan adanya golongan yang akan muncul sepeninggal Rasulullah SAW sebanyak 73 macam dengan pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Hadits ini menginformasikan munculnya golongan dalam Islamsebagaimana yang terjadi pada Bani Israil dan Nasrani. Dalam hadits inilah klaim kebenaran Sunni ditampilkan dengan klausul yang menyatakan “ma ana alaihi wa ashabiy”. Lihat Imam al-Tirmidzi, Jami’u al-Tirmidzi Bab Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadza al-Ummah, (Riyadl: Dar al-Islam: 1999) h. 600. Namun bagi kalangan Syiah, hadits ini ditolak karena dianggap tidak abash atau otentik. Sebabnya, rawi dan sanad hadits bukanlah dari golongan ahlu bait (keluarga genealogis) dari Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak layakjadi rujukan. Maka keabsahan “ma ana alaihi wa ashabiy” tertolak oleh Syiah dengan sendirinya. Pada gilirannya Syiah menyatakan dirinya sebagai “ahlu al-halli wa al-aqdli”.

[5] Syiah Zaidiyah tidak memutlakkan secara absolut tentang konsep imamah (kepemimpinan pasca Rasulullah) harus ditangan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syiah Ismailiyyah dan Syiah Itsna Asyariyah memutlakkan hak Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris imamah pasca wafatnya Rasulullah yang kemudian diteruskan sampai anak cucu Ali. Namun, Syiah Ismailiyyah dan Itsna Asyariyah sendiri memiliki perbedaan tentang jumlah Imam yang mereka kultuskan. Syiah Zaidiyah menetapkan adanya 7 (tujuh) imam suci keturunan Ali, sedangkan Syiah Itsna Asyariyah menetapkan ada 12 (duabelas) imam penerus Imam Ali bin Abi Thalib dalam hal imamiyah. Selain tiga kelompok besar ini, ada juga berbagai sempalan Syiah seperti Bayaniyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khaththabiyah, Ma’mariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Syari’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, dan Razamiyah. Periksa Abu al-Hasan Ismail al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Terj) Maqalat al-Islamiyyin wa al-Ikhtilaf al-Mushollin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h. 62-78

[6] Muslih Fatoni, Paham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, (Semarang: Walisongo Press, 2002) h. 11-48

[7] Najiyullah (Penerjemah), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya, (Jakarta: WAMY, 2002) h. 218-226

[8] Seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yang biasa menyandang gelar Habib, Sayyid atau Syarif yang lahir di Surabaya 21 April 1921. Beliau sejak kecil dididik di lingkungan ahlu al-sunnah wa al-jamaah yang dibuktikan dengan pendidikan yang diterimanya dari guru-guru Sunni seperti Ustadz Muhammad Ba’bud, Ustadz Umar Baraja, Ustadz Abul Qadir Bilfaqih, dan Habib Alwi bin Thahir al-Haddad.

[9] http://www.icc-jakarta.com

[10] Upacara ini diperingati tiap tanggal 10 Muharram. Bagi umat Islam lain, hari Asyura adalah hari yang mencerminkan kemenangan utusan Allah atas rintangan yang mereka hadapi dalam menyampaikan risalah Ilahiyah. Hal itu dicerminkan dalam berbagai kisah kemenangan nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dalam menghadapi rintangan atau halangan dari kaum mereka sendiri. Dikisahkan bahwa Nabi Adam as dan Hawa diterima taubatnya oleh Allah pada hari Asyura sebagaimana diterangkan dalam QS. al-Baqarah: 37. Nabi Idris as diangkat Allah ke surga untuk kedua kalinya juga pada hari Asyura (QS. Maryam: 56-57), begitu juga dengan kisah Nabi Nuh as juga diselamatkan dari kenistaan kaumnya dan banjir pada hari Asyura (QS. Hud: 25-49). Ibrahim as juga diselamatkan Allah dari kekejaman Namrudz dan panasnya api pada hari ini (QS. al-Anbiya: 54-69). Selengkapnya periksa Fuad Said, Hari Besar Islam, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985) h. 34-125. Namun bagi Syiah, hari Asyura merupakan hari berkabung dimana Sayyid Husein bin Ali dibantai bersama 70 pengikutnya di padang Karbala oleh pasukan Dinasti Umayyah. Untuk mengenang pembantaian ini, Syiah mengadakan ritual dengan membaca manakib (biografi) Imam Husein bin Ali dan terkadang diiringi dengan ratapan, tangisan serta beberapa aktifitas yang menyiksa diri sendiri. Bagi Syiah, Asyura juga berarti ta’ziyeh (diadopsi dari kata ta’ziyah dalam bahasa Arab yang berarti berkabung) dengan melukai diri sampai berdarah untuk mengenang wafatnya Imam Husein bin Ali. Di YAPI Bangil, peringatan Asyura terkadang tidak hanya dihadiri oleh santri yang belajar di pesantren, namun juga dihadiri oleh walisantri dan masyarakat sekitar Bangil yang diundang oleh pihak pesantren.

[11] Buku-buku ini seperti yang berjudul Polemik sunnah Syiah: Sebuah Rekayasa yang diterbitkan tahun 1994 oleh YAPI dan dikarang oleh Dr. Izzuddin Ibrahim dan diterjemahkan oleh Shohibul Aziz; buku berjudul Akal dalam hadits-Hadits al-Kafi yang diterbitkan tahun 1994 oleh YAPI dan ditulis oleh Ustadz Husein al-Habsyi, serta beberapa buku terbitan YAPI lain.

[12] Ungkapan ini didasarkan pada dalil dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 56.

[13] Dasar kelompoks Sunni dengan menyebutkan “alaihissalam” pada para nabi sebagaimana tertuang pada QS. Shaffat: 79, 109, 120, 130, dan 181. Adapun argumentasi Syiah menyebut “alaihissalam” pada para Imam, mereka menggunakan dasar QS. al-Taubah: 100; al-Maidah: 22, 58, dan 119; serta al-Bayyinah: 8. Salam dan doa untuk kaum beriman adalah untuk “marhum” (semoga mendapat rahmat dan kasih sayang Allah) sebagaimana dituangkan dalam QS. al-Taubah: 71 dan al-Jatsiyah: 30.

[14] “Syi’ahisasi” yang dimaksud adalah sebagaimana ungkapan sebagai berikut: 1] ada seorang santriwati YAPI mengatakan pada ibunya jika masuk NU atau Muhammadiyah itu sama saja karena nanti akan masuk neraka, yang benar itu masuk Syiah; 2] santri YAPI lain mengatakan pada ibunya agar buku-buku agama di rumahnya dibakar saja sebab tidak ada gunanya, lebih baik diganti dengan kitab-kitab Syiah yang dipelajari di YAPI; 3] ada santri YAPI yang menaruh al-Quran sembarangan ketika pulang di rumahnya. Ketika ditegur, santri ini menerangkan bahwa gurunya di YAPI yang mengajarinya. Inilah yang memicu gerakan Sunni di Pasuruan untuk mengecam “syi’ahisasi” di YAPI. Lihat Muhammad Baharun, Tipologi Pemahaman Doktrin Syiah di Jawa Timur (Disertasi), Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2006. h. 185

[15] Sesuai dengan prinsip “taqiyah” (menyembunyikan keimanan atau keadaan aktifitas hati di hadapan orang lain yang tidak sefaham atau se-aliran untuk kemudian menyusun kekuatan setelah itu).

Categories: Opini
dhiah saptorini at 06:22 on 7 March 2018

Assalamu’alaikum. Salam kenal Prof. Nama saya Dhiah Saptorini. Sudah beberapa kali situs ini melintas dibawah tajuk SD AlKautsar, yang mana saya adalah kepala sekolah SD Plus Al-Kautsar sejak berdirinya pada tahun 2004 sampai sekarang (bila itu yang dimaksud dalam tulisan yang bersifat opini ini). Saya mengapresiasi beberapa bagian, terutama kedalaman pembahasan terkait sejarah munculnya berbagai sekte dalam Islam. Ketika Prof Nur mengulas tentang YAPI, tampak rinci seakan sudah ada penelitian mendalam sebelumnya. Tetapi ketika mencantumkan nama TK dan SD Alkautsar pada kolom lembaga sebagai aktivitas utama Syiah di Jawa Timur, saya tidak menemukan penjelasan apapun terkait aktivitas pendidikan dengan sasaran umum yang dimaksud.Saya adalah kepala sekolah sejak awal berdirinya SD yang barangkali dimaksud dalam tulisan ini. Dengan model pengelolaan otonomi yang diterapkan oleh Yayasan Pelita Hidayah sebagai penyelenggara sekolah ini (bukan Yayasan Alkautsar bentukan Husein bin Abu Bakar AlHabsyi), maka saya adalah orang yang paling bertanggung jawab dan paling tahu tentang aktivitas terkait pendidikan di sekolah ini. Dan selama 14 tahun berdiri, tidak ada aktivitas “ke-syiah-an” dengan sasaran umum seperti yang bapak sampaikan. Apabila ini hanya opini, sungguh sangat menyesatkan para pembaca, dan nyata-nyata sudah merugikan sekolah secara moril dan materiil, karena memang kami harus selalu berhadapan dengan tuduhan melakukan praktek-praktek kesyiahan dengan tujuan “menyeberangkan” awam kepada aqidah syiah. Dan hampir semua situs yang membahas tentang kesyiahan SD Plus Al-Kautsar (itu nomenklatur lengkapnya), merujuk pada tulisan ini. Sebagai seorang akademisi, tentunya bapak memiliki metode ilmiah sebelum memaparkan sebuah opini. Saya menunggu bapak melakukan penelitian yang sesungguhnya di sekolah ini, karena sekolah ini sangat terbuka terhadap semua aktivitas akademik dan ilmiah. Harapannya ada temuan yang dapat mendukung opini yang tertulis ini. Namun bila tidak ada temuan (sebagaimana yang terjadi pada peneliti lain), maka bapak harus berbesar hati mengoreksi tulisan ini dengan cara-cara arif yang tidak merusak reputasi bapak sebagai akademisi.
Demikian, mohon maaf, dan semoga ada tindak lanjut yang signifikan. Wassalam.

Nur Syam at 13:17 on 26 October 2018

terima kasih atas commentnya. bisa menjadi bahan kajian lebih lanjut.

Nur Syam at 04:54 on 14 December 2018

ibu Yth. saya menulis ttg Syiah berdasar atas hasil penelitian dan saya memang pernah membimbing penelitian ttg Syiah di Jawa Timur, cuma untuk al Kautasr saya sama sekali tidak melakukan penelitian terhadapnya. maaf saya tidak bisa memberikan penjelasan. syukron.