• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AKSEPTABILITAS KEPEMIMPINAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh ahli ilmu social, misalnya Max Weber, bahwa ada tiga tipologi kepemimpinan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Tiga hal itu yang kemudian disebut sebagai teori otoritas kepemimpinan, yaitu otoritas kepemimpinan kharismatis, tradisional dan legal formal. Dan menurut Weber bahwa ketiganya ini mengalami proses evolusi secara linear, yaitu dari otoritas kharismatis ke tradisional dan ke legal formal.

Kepemimpinan disebut sebagai kharismatis jika pengabsahan kepemimpinan tersebut berasal dari kekuatan adi kodrati, atau kekuatan gaib yang diyakini oleh para penganutnya. Yang bersangkutan memperoleh pengakuan kepemimpinan bukan hanya dari masyarakat penganutnya akan tetapi lebih dari itu adalah berasal dari kekuatan Tuhan.

Kemudian,  kepemimpinan  yang berotoritas tradisional terjadi manakala kepemimpinan tersebut memperoleh pengakuan dari para leluhurnya. Yang bersangkutan diakui sebagai pemimpin oleh masyarakatnya dan  juga dari para leluhurnya. Para leluhurnya yang memimpin itulah yang kemudian mewariskan kepemimpinan kepadanya. Anak raja menjadi raja atau anak kyai menjadi kyai.

Lalu, kepemimpinan yang berotoritas legal formal yang pengabsahannya berasal dari  pengakuan di depan hukum.  Yang bersangkutan dipilih oleh mereka yang  memiliki hak untuk memilih melalui koridor aturan yang sudah dibakukan. Misalnya pemilihan seseorang untuk menjadi pejabat di instansi pemerintahan atau lainnya.

Di era sekarang, tentu banyak jabatan yang dipilih dengan menggunakan wewenang atau otoritas legal formal. Di era demokratisasi seperti sekarang, maka jabatan-jabatan penting ditentukan berdasarkan otoritas yang bertipe ini. Artinya, bahwa seseorang bisa menjadi pejabat karena ditentukan oleh aspek hukum yang menaunginya.

Jabatan gubernur, bupati, rektor, dekan dan sebagainya adalah jabatan yang ditentukan kewenangannya karena aspek legal formal. Makanya, wewenangnya juga ditentukan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku. Di sini ada tugas pokok dan fungsi yang relevan dengan kewenangan yang dimilikinya. Dia tidak memiliki kewenangan yang melampaui tupoksinya.

Akhir-akhir ini kita sedang diramaikan oleh berbagai demonstrasi tentang kepemimpinan Nurdin Khalid di PSSI. Ada kubu yang menghendaki agar Nurdin Khalid tidak lagi mencalonkan diri sebagai pucuk pimpinan PSSI. Baginya, Nurdin dianggap gagal membawa PSSI ke puncak kejayaan. PSSI terus terpuruk di era kepemimpinannya. Makanya, tidak ada kata lain selain Nurdin turun panggung.

Ada banyak persoalan yang tidak bisa diselesaikan yang disebabkan oleh konflik kepemimpinan tersebut. Munculnya ketidakpercayaan itu secara organisasional adalah dengan berdirinya Liga Primer Indonesia (LPI) yang berada di luar mekanisme keorganisasian PSSI. Sementara itu, di PSSI dibawah komando Nurdin Khalid juga terdapat Indonesian Super League (ISL)  yang berdiri secara terpisah dengan LPI.

Puncak ketidakpercayaan adalah ketika nama kandidat lain yang akan mencalonkan diri menjadi ketua Umum PSSI ternyata dianulir oleh tim seleksi, sehingga akhirnya hanya memunculkan dua nama, dan salah satunya adalah  Nurdin Khalid sebagai kandidat ketua umum PSSI. Dianggapnya bahwa ada rekayasa di dalam penentuan nama yang lolos di dalam prosesi demokrasi di tubuh PSSI.

Gelombang pasang demontrasi ini terus berlangsung di berbagai kota di Indonesia, yang intinya adalah menolak pencalonan kembali Nurdin Khalid. Gelombang demonstrasi ini tampaknya terus menggelinding seirama dengan tuntutan demokratisasi di Indonesia.

Jika hal ini dikomparasikan dengan konsepsi otoritas kepemimpinan sebagaimana  telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa ketua umum PSSI tentu memiliki otoritas legal formal. Siapapun yang menjadi ketua umum PSSI, maka dia dikenai aturan yang terkait dengan kewenangan jenis ini.

Kepemimpinan bukan sekedar keterpilihan seseorang untuk jabatan itu, akan tetapi adalah akseptabilitas yang bersangkutan di mata masyarakat. Makanya,  jika seseorang terpilih menjadi pemimpin, maka dia tentu tidak hanya diterima secara hukum,  akan tetapi juga diterima oleh masyarakat.

Makanya, menurut saya kita harus menggunakan dua ukuran tersebut untuk menentukan seseorang akan maju di dalam perhelatan kepemimpinan ataukah tidak. Jika kita memiliki kekurangan dalam salah satunya, maka sebaiknya kita juga berhitung untuk maju atau tidak.

Di dalam hal ini, maka kata kuncinya adalah “kata hati”. Mari  kita tanyakan kepada hati nurani  kita tentang diri kita itu di dalam relasinya dengan kepemimpinan publik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini