EDUCATION FOR ALL
Pendidikan merupakan program mutlak yang harus diselenggarakan oleh negara atau pemerintah, sebab hal ini telah tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat yang cerdas hanya dapat dipenuhi melalui program pendidikan saja. Tanpa pendidikan tidak akan mungkin tercipta masyarakat yang cerdas.
Oleh karena itu, maka pemerintah sudah menggenjot anggaran pendidikan sebagai wujud kepedulian dan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi tuntutan UUD tersebut. Melalui diimplementasikannya UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 20 tahun 2003, maka pemerintah kemudian menganggarkan pendidikan sebesar 20 persen. Makanya, dewasa ini anggaran pendidikan Indonesia sudah mulai berimbang dibandingkan dengan anggaran pendidikan di beberapa negara Asia Tenggara.
Program wajib belajar atau wajar merupakan program yang sudah sangat lama diancangkan pemerintah. Di era Orde Baru, maka dikenal program Instruksi Presiden (inpres) yang terkait dengan penyediaan sarana pendidikan. Kita sangat familiar dengan sebutan Sekolah Dasar Inpres atau SD Inpres. Hampir semua desa yang di era sebelumnya tidak memiliki sarana pendidikan, maka didirikanlah SD Inpres tersebut. Maka seluruh desa di Indonesia kemudian memiliki lembaga pendidikan dasar.
Kebijakan ini tentu dikaitkan dengan wajib belajar 6 tahun. Tidak mungkin program wajar 6 tahun sukses jika sarana pendidikannya tidak dipenuhi. Maka program wajar 6 tahun berkorelasi dengan pengadaan sarana pendidikannya. Hanya sayangnya bahwa program pengadaan sarana ini tidak dianalisis secara mendalam, misalnya dikaitkan dengan keberhasilan keluarga berencana (KB) dan perubahan respon masyarakat terhadap anak. Akibat di tahun-tahun berikutnya adalah minimnya in put siswa untuk SD Inpres tersebut.
Lemahnya pemetaan kebutuhan tersebut juga tampak misalnya ketika di sebuah wilayah ternyata sudah memiliki lembaga pendidikan, misalnya yang didirikan oleh Muhammadiyah atau NU atau lainnya. Ketika di wilayah tersebut sudah terdapat lembaga pendidikan, maka yang terjadi adalah kompetisi untuk memperebutkan siswa, sehingga ada yang kalah dan menang. Di daerah yang santrinya kuat, maka lembaga pendidikan agama jauh lebih kuat dibandingkan dengan sekolah dasar. Oleh karena itu, maka banyak SD Inpres yang tutup karena minimnya in put siswanya.
Kita tentu perlu menyokong program pendidikan wajib belajar 12 tahun. Provinsi Jawa Timur telah menjadi provinsi eksperimen untuk program wajar 12 tahun. Propinsi ini dianggap sukses menyelenggarakan wajar 9 tahun. Melalui angka partisipasi kasar (APK) 9,5, maka kemudian dijadikanlah provinsi Jawa Timur untuk program percontohan wajar 12 tahun. Seluruh kabupaten di Jawa Timur kemudian menjadikan program wajar 12 tahun sebagai program yang harus dilaksanakan.
Pemerintah kota Surabaya, bahkan melakukan jauh lebih besar untuk program ini. Kota Surabaya telah menggratiskan pendidikan di tiga jenjang, yaitu SD, SMP dan SMA atau yang sederajat. Secara meyakinkan bahwa pemkot Surabaya tetap mengedepankan program wajar 12 tahun sebagai program yang urgen. Makanya, pemkot Surabaya berani untuk mengancangkan bahwa tahun 2014, semua anak harus lulus SMA (JP, 24/02/2011).
Program tersebut diharapkan akan dapat menyelesaikan problem kependidikan di Surabaya. Untuk mengejarnya, maka pemkot telah mengancangkan: pendidikan gratis dari SD hingga SMA, memberi dana investasi ke sekolah, memberi kuota 5 persen bagi siswa miskin di dalam penerimaan siswa baru jalur khusus tanpa tes supaya diterima di sekolah negeri, mencari dan mendata siswa miskin untuk disekolahkan, meminta kepada sekolah tidak melakukan pungutan untuk menyukseskan program sekolah gratis dan memberikan insfrastruktur ke sekolah-sekolah.
Melalui pengarusutamaan program pendidikan seperti ini, maka implementasi education for all akan dapat dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Walahu a’lam bi al shawab.