• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN RELASI SIMBIOSIS AGAMA DAN NEGARA

Kemarin,  22/02/2011, ada sebuah seminar yang sangat menarik yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Bertepatan bahwa saya didapuk untuk menjadi moderator pada sessi pertama dalam seminar nasional ini. Acara ini diselenggarakan terkait dengan Harlah NU ke 88, yang semestinya jatuh pada tanggal 31 Januari. Namun karena satu dan lain hal, maka upacara dan aktivitas untuk memperingati harlah tersebut diletakkan kemarin.

Acara ini tentu sangat menarik sebab dihadiri seluruh eksponen NU baik dari pengurus wilayah maupun pengurus Cabang NU dan juga kyai-kyai dari berbagai wilayah. Tampak hadir misalnya KH. Zainuddin Jazuli, KH. Anwar Iskandar, KH. Agus Ali Masyhuri, KH. Mukhid Muzadi, dan sejumlah bupati atau wakil bupati yang memiliki latar belakang NU. Bahkan juga dihadiri oleh Habib Rizieq, Ketua FPI, Ja’far Umar Thalib, dan juga sejumlah eksponen organisasi Islam yang dilabel fundamentalis.

Acara ini dibuka oleh  KH. Muhammad Hasan Mutawakkil, selaku ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, dan sejumlah tokoh partai politik. Dikarenakan yang hadir adalah tokoh-tokoh politik yang telah malang melintang di dalam percaturan politik di Indonesia, maka pesertanya sangat antusias. Ketua Umum Partai Golkar, Abu Rizal Bakri, Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, Dewan Pertimbangan PPP, KH. Nur Muhammad Iskandar, PKS dan juga sejumlah eksponen pimpinan parpol di Jawa Timur tampak hadir di acara ini.

Seminar dengan tema “NKRI, Aswaja dan Perkembangan politik Islam di Indonesia” ini sungguh sangat menarik. Makanya sangat pantas,  jika yang hadir di dalam acara ini juga sangat banyak.  Seminar yang diselenggarakan oleh NU ini memang sangat tepat, sebab sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini memang sedang terjadi pertarungan ideologi keagamaan yang harus dicermati dan kemudian dilakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk mengawalnya.

KH. Hasyim Muzadi, yang memberikan uraiannya sebagai key note speech, memberikan ilustrasi yang sangat baik. Melalui kemampuan retorikanya yang sangat memadai, maka beliau paparkan tentang relasi antara agama dan politik. Menurutnya, bahwa Indonesia memang bukan negara sekular,  tetapi juga negara agama. Jika di Arab Saudi dikenal sebagai negara agama dan kemudian Negara Eropa adalah negara sekuler, maka Indonesia mengambil posisi yang berbeda.

Di Eropa karena sekular, maka hukum-hukum agama sama sekali tidak boleh masuk ke dalam wilayah hukum negara. Agama dan Negara dipisahkan. Akibatnya, negara berada di luar kontrol agama. Makanya tidak heran jika di barat kemudian hukum perkawinannya sangat liberal. Lelaki kawin dengan lelaki, perempuan kawin dengan perempuan. Makanya, agama sama sekali tidak memiliki peran di dalam peraturan perundang-undangan. Sebaliknya di Timur Tengah berbeda. Hukum agama adalah hukum negara.

Di Indonesia mengambil pola yang berbeda, yaitu agama dijadikan sebagai ruh atau substansi Undang-undang. Makanya, didapati hukum perkawinan yang menjadi hukum positif dan kemudian juga ada Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan sebagai rujukan di dalam penetapan hukum yang berkaitan dengan masyarakat Islam. Demikian pula UU pornografi. Jadi agama tidak diformalkan menjadi hukum positif, akan tetapi agama dijadikan sebagai ruh dan etika yang mendasari hukum positif.

Disebabkan oleh hal ini, maka Indonesia adalah contoh tentang bagaimana membangun relasi antara agama dan politik yang sangat baik. Negara menjadikan agama sebagai etika dan moralitas di dalam penyelenggaraan negara dan sebaliknya agama memperoleh tempat yang sangat memadai untuk berkembang dan terus hidup.

Di dalam sejarahnya, NU selalu berhasil menempatkan agama di dalam koridor penyelenggaraan negara. Ketika orang ribut mengenai bagaimana status kepala negara di dalam fiqh Islam, maka NU menempatkan presiden sebagai waliyyul amri dharuri bisy syaukah. Ketika orang ribut tentang bagaimana menempatkan trikhotomi: nasionalisme, agama dan komunis, maka NU menerima Nasakom tersebut sebagai bagian keputusan penting untuk menyangga negara agar tidak menjadi ekstrim nasionalisme dan ekstrim komunis.

Demikian pula ketika orang ramai tentang Pancasila sebagai asas tunggal, maka NU justru menerimanya. Dan penerimaan tersebut tidak hanya didasarkan atas kepentingan politik semata, akan tetapi keputusan yang berbasis pada maslahah ammah yang saat itu memang dibutuhkan. Melalui pemberian makna agama pada Pancasila, maka NU menganggap bahwa menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi tidak bertentangan dengan Islam.

Ketika terjadi perlawanan terhadap tentara Belanda yang menginginkan kembalinya penjajahan, maka NU tampil dengan resolusi jihad yang sangat terkenal itu. Mereka yang berada di garis 90 Km, maka wajib mengangkat senjata dan bagi yang diluar garis tersebut,  maka hendaknya memberikan sumbangan financial dan konsumsi. Semangat jihad ini merupakan teladan NU di dalam kecintaannya kepada negara sebagaimana konsep hubbul wathon minal iman atau konsep ukhuwah wathoniyah.

Berdasarkan atas kenyataan empiris ini, maka NU telah menentukan suatu keputusan yang final, bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah keputusan yang final. Sehingga NU secara organisatoris tidak akan bersepakat dengan keinginan beberapa eksponen organisasi Islam yang menginginkan berdirinya Negara Islam.

Bagi NU,  corak Negara Indonesia yang seperti ini justru merupakan keunikan yang bermula dari  kehebatan para founding fathers ini negeri ini yang memiliki wawasan sangat baik dalam kerangka melihat Indonesia yang multikultural dan plural.

Jadi, pilihan politik dalam corak hubungan negara dan agama yang simbiosis mutualisme adalah pilihan politik dan agama sekaligus.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini