• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA KERUKUNAN INTERN UMAT BERAGAMA

Bangsa Indonesia sesungguhnya dikenal semenjak dahulu sebagai bangsa yang mengedepankan kerukunan, sebab falsafah dasarnya memang yaitu  kerukunan tersebut. Jika kemudian di akhir-akhir ini ternyata secara khusus terjadi ketidakrukunan, tentu bisa dipastikan ada yang salah dengan bangsa ini.

Tentu saja kita tidak ingin bahwa kerukunan tersebut sebagai sesuatu yang bercorak butik, atau bisa dinyatakan sebagai kerukunan butik. Yaitu kerukunan yang sesungguhnya berada di aras luar, akan tetapi senyatanya memendam bara api yang membara. Ia seperti gunung berapi yang di luarnya tampak asri menakjubkan, akan tetapi ketika terjadi gunung tersebut meletus ternyata diketahui bahwa bara api yang dibawa letusannya ternyata bisa membakar apa saja yang ada dihadapannya.

Kerukunan butik ini tentu tidak kita kehendaki. Kita menginginkan bahwa kerukunan yang kita lakukan adalah kerukunan yang berbasis pada pengetahuan komprehensif tentang kita semua. Melalui pengetahuan komprehensif tersebut, maka kita akan menjadi tahu sebenarnya apa dan siapa mereka dan kita juga memahami apa dan siapa mereka. Begitu pula sebaliknya. Antara yang satu dengan yang lain harus memiliki saling pemahaman, terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak, sehingga tidak akan terjadi kesalahan di dalam bertindak.

Kebencian meskipun itu didasarkan atas ajaran agama, menurut saya bukanlah sesuatu yang baik. Sebab agama pastilah mengajarkan kasihsayang. Tidak ada agama yang mengajarkan agar kita saling membunuh, merusak dan menghancurkan. Di dalam sejarah memang selalu ada peperangan yang dinyatakan sebagai perang agama, akan tetapi pastilah setiap perang bukanlah perang suci, perang pastilah unholy war.

Agama di dalam kenyataan historis peperangan selalu menjadi variable penguat dan bukan variable utama. Ada banyak hal yang menjadi variable utamanya, misalnya adalah politik, penguasaan wilayah, otoritas dan lainnya. Hampir  seluruh kekerasan social yang terjadi di dunia ini disebabkan oleh persoalan politik dan ekonomi. Hanya memang harus dipahami juga bahwa dari factor ekonomi dan politik tersebut kemudian agama menjadi terlibat atau dilibatkan.

Kita semua tentu mengharapkan bahwa kekerasan di Pondok pesantren YAPI bukanlah kekerasan agama. Artinya bahwa mereka yang terkibat dan menjadi actor di dalam kekerasan tersebut bukanlah mereka yang kemudian dilabel sebagai orang yang menginginkan hilangnya kehidupan ajaran agama di situ. Atau dengan bahasa lain ada keinginan menihilkanknya.

Saya tetap berkeyakinan bahwa ada persoalan social jealousy terkait dengan konflik horizontal antar atau interen umat beragama. Prasangka social tersebut bisa saja difasilitasi oleh berbagai hal, misalnya adalah tentang paham keagamaan. Misalnya di Bangil, maka ada kelompok keagamaan yang mengusung Islam radikal dan ada Islam moderat serta aliran Syiah. Maka juga dapat dipastikan bahwa akan terjadi sejumlah benturan di antara mereka.

Sebagaimana diketahui bahwa memang ada rivalitas di antara kelompok Islam yang menyebut dirinya sebagai Ahli sunnah wal jamaah –bukan diasosiakan dengan NU—dan Syiah. Banyak terjadi saling mengejek dan bahkan pelemparan batu atau benda keras lainnya.  Sehingga potensi terjadinya konflik sangat terbuka.

Oleh karena itu jika kemudian terjadi konflik, maka sebenarnya adalah persoalan laten yang dihadapi oleh keduanya. Akan tetapi sebagaimana saya jelaskan kepada wartawan bahwa konflik ini terjadi sangat local dan tidak memiliki korelasi structural dengan kekerasan social di Pandeglang ataupun Temanggung.

Kita tentu berterima kasih kepada aparat keamanan dan juga pemerintah daerah –provinsi maupun kabupaten—yang cepat tanggap untuk menyelesaikan masalah ini. Sehari setelah kejadian tersebut, maka tokoh interen umat beragama kemudian dikumpulkan oleh pemerintah kabupaten untuk menyatakan ishlah di antara kelompok tersebut.

Dan sebagaimana yang dinyatakan oleh KH. Said Aqil Siraj bahwa antara Sunni dan Syi’i sebenarnya adalah perbedaan manhaj di dalam berislam yang kemudian mempengaruhi terhadap tampilan keberagamaannya. Menurutnya bahwa ada perbedaan antara Ahmadiyah dengan Syiah. Jika Ahmadiyah memang menyimpang dari doktrin teologis Islam, akan tetapi Syiah tidaklah seperti itu. Perbedaan manhaj adalah sesuatu yang biasa terjadi di dalam penafsiran ajaran agama.

Oleh karena itu, tentu yang terpenting adalah bagaimana membangun kerukunan beragama di dalam bingkai Negara Indonesia yang memang memiliki pluralitas dan multikulturalitas yang sangat kentara.

Jadi kita memang harus menenggang rasa terhadap perbedaan antara satu dengan lainnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini