ARAH PENGEMBANGAN PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
ARAH PENGEMBANGAN PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
A. Pengantar
Dewasa ini, perkembangan ekonomi syariah sangat menggejala. Hal itu terbukti dengan semakin banyaknya perbankan konvensional yang kemudian membuka layanan perbankan syariah. Dibandingkan dengan tahun 1990-an, maka pada tahun 2000-an terjadi lonjakan sangat signifikan tentang pertumbuhan ekonomi syariah tersebut.
Ekonomi syariah sepertinya telah menjadi pilihan bagi pengembangan ekonomi dunia. Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah dengan semakin banyaknya perbankan asing yang membuka layanan bank syariah. Bahkan, di Inggris dan Amerika Serikat juga tumbuh dengan subur system ekonomi syariah yang dilakukan oleh perbankan di sana. Makanya, penguatan kelembagaan dan system ini harus terus diupayakan agar kelak tidak terjadi “kesalahan” di dalam pelaksanaannya.
Perkembangan ekonomi syariah ini tentu saja mengandung dua hal yang sangat mendasar. Satu sisi merupakan gerak maju dunia ekonomi syariah di dalam persaingannya dengan ekonomi konvensional, dan di satu sisi juga menjadi tantangan untuk dijawab bahwa ekonomi syariah memang menjadi salah satu alternative ekonomi di tengah keterpurukan system ekonomi kapitalistik yang “kurang” ramah terhadap kesejahteraan bersama.
Ekonomi syariah dengan tiga modelnya yang dikenal, yaitu mudharabah, murabahah dan musyarakah adalah sebuah system ekonomi berbasis pada kesepahaman bersama tentang apa yang diserahkan dan apa yang diperoleh oleh seorang nasabah di dalam transaksi ekonomi syariah. Di dalamnya terdapat nilai yang dijadikan sebagai pedoman bersama untuk berkembang bersama dan maju bersama.
Di tengah arus perkembangan seperti ini, maka diperlukan lembaga untuk menjadi pusat kajian dan pengembangan ekonomi syariah. Di dalam hal ini, yang semestinya menjadi pusat kajian dan pengembangan ekonomi syariah adalah pendidikan tinggi yang memiliki visi dan misi kajian dan pengembangan ekonomi syariah dimaksud.
B. Ekonomi Syariah dalam Perspektif Keilmuan dan Praksis
Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini, jelas Sholehudin A. Aziz, kini terus mengguncang perekonomian global. Trauma akan krisis ekonomi AS di tahun 1929 yang sering disebut great depression kembali menghantui. Pada saat itu, kesulitan keuangan, meningkatnya angka pengangguran hingga kelaparan menjadi dampak krisis yang sangat nyata. Kini, kejadian Great Depression, seakan-akan terulang kembali, dimana banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman Brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Efek domino dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambah ke negara-negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Perusahaan-perusahaan multi raksasa banyak jatuh ambruk (collapse), bank-bank internasional dan pemerintahan di berbagai negara di dunia mengucurkan dana dalam jumlah besar ke pasar uang untuk meredakan guncangan krisis. Krisis ini sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang dianut negara adidaya itu dan mayoritas negara-negara di dunia.
Seperti dijelaskan di atas, seiring dengan ambruknya keuangan Amerika Serikat 2009 dan pesatnya perkembangan ekonomi syariah, maka sudah saatnya ekonomi liberal dengan model produksi kapitalistik menengok model ekonomi yang lain, seperti ekonomi syariah, karena memiliki konsep yang lebih adil dan prudent. Demikian pendapat pakar-pakar keungan Barat, termasuk para pemimpinnya, seperti, Christine Lagarde (Menteri Keuangan Prancis), Kevin Rudd (Mantan Perdana Menteri Australia) dan Paus Benedictus.
Di Indonesia sendiri, sistem ekonomi Syari’ah telah berkembang demikian fenomenalnya. Dengan potensi yang kita miliki, ungkap Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada Pembukaan Festival Ekonomi Syariah 2008 yang lalu, maka Indonesia dapat berpeluang menjadi flatform pusat ekonomi Syariah di Asia, bahkan dunia. Memang, sejak Indonesia menghadapi krisis moneter sejak Juli 1997, Ekonomi Islam telah menemukan momentumnya sebagai alternativie system ekonomi dunia.
Menurut Zainul Arifin, gejolak krisis yang terjadi di Indonesia beberapa tahun yang lalu, merupakan konsekwensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Sektor moneter, yang menjadikan uang sebagai barang komoditas, telah berkembang melampaui batas-batas negara, sedangkan sektor riil selalu tertinggal di belakang karena adanya kebutuhan waktu untuk memproses barang dari input menjadi output. Harga-harga saham pun terus-menerus menggelembung, seperti gelembung udara yang suatu saat akan pecah. Inilah yang disebut dengan “Bubble Economics”, karena harga-harga saham itu sama sekali tidak mencerminkan kinerja perusahaan emiten yang sebenarnya.
Sebaliknya, dalam keadaan krisis seperti itu perbankan syariah tetap mampu bertahan dari terpaan krisis keuangan global, karena perbankan syariah tidak berbasis pada bunga uang. Konsep Islam menjaga keseimbangan antara sektor riil dengan sektor moneter, sehingga pertumbuhan pembiayaannya tidak akan lepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya. Ini artinya, bahwa kinerja perbankan syariah ditentukan oleh kinerja sektor riil, dan bukan sebaliknya. Dalam pandangan Islam, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan merupakan barang dan komoditas. Islam tidak mengenal time value of money, tetapi Islam mengenal economic value of time. Jadi, dengan kata lain, yang berharga menurut pandangan Islam adalah waktu itu sendiri.
Berbagai jenis sumber daya merupakan pemberian atau titipan Allah SWT., kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefektif dan seefisien mungkin dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain. Kegiatan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. di akhirat kelak.
Pada sisi lainnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat-alat produksi dan faktor-faktor produksi. Namun, kepemilikan itu dibatasi oleh dua hal, yaitu kepentingan masyarakat – zakat, infaq, shadaqah dan waqaf (ziswa) dan cara memperoleh pendapatan. Islam menolak pendapatan yang berasal dari suap, rampasan atau perampokan, kecurangan, bunga uang (riba), perjudian, perdagangan gelap dan usaha-usaha yang menghancurkan masyarakat, termasuk menimbun barang untuk menghasilkan keuntungan. Islam mensyaratkan bahwa barang-barang yang diproduk dan diperdagangkan itu harus halal dan toyyib, demikian juga dalam proses mendapatkan dan proses produksi dan distribusinya.
Kekuatan pergerakan ekonomi Islam adalah kerjasama yang sama-sama mendatangkan kemaslahatan. Bagi yang tidak dapat memproduktifkan kekayaan yang dimilikinya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan musyarakah atau mudharabah, yaitu bisnis bagi hasil. Bila tidak ingin mengambil resiko, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkan tanpa imbalan apapun. Dengan kata lain, Islam mendorong investasi dan perdagangan, serta melarang riba. Inilah beberapa konsep Ekonomi Islam berbasis non ribawi yang ditawarkan untuk membangun kesejahteraan bersama.
Salah satu indikator tumbuh dan berkembangnya Ekonomi Islam berbasis non ribawi di Indonesia adalah tumbuh subur dan berkembang pesatnya insdustri perbankan syariah dan lembaga keuangan non bank, seperti asuransi syariah, gadai syariah, investasi syariah, koperasi jasa keuangan syariah (BMT) bisnis syariah dan lain-lainnya.
Khusus pada industri perbankan syariah, lembaga ini tumbuh dan berkembang demikian fenomenalnya di Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki PT Bank Muamalat (Tbk), pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia mencapai 40 persen setiap tahunnya, sedangkan di tingkat dunia sebesar 35 persen. Hingga September 2010, jumlah aset bank syariah yang ada di Indonesia mencapai 800 miliar dollar AS. Menurut Retail Banking Director PT Bank Muamalat (Tbk), Adrian Gunadi, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan bank syariah. Bahkan jumlah aset bank syariah di Indonesia jauh lebih besar dari Inggri (UK).
Senada dengan itu, menurut IMF, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara berkembang yang maju dalam perkembangan bank syariahnya. Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Firmanzah, mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan perbankan syariah. Sistem ini diniliai sebagai alternatif perbankan yang perlu dikelola lebih serius. Selama ini pusat ekonomi perbankan syariah kawasan Asia Tenggara ada di Malaysia dan Singapura. Indonesia juga memiliki potensi untuk menjadi pusat ekonomi perbankan syariah juga.
Kenapa Perbankan Syariah tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Sebab, karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi di Indonesia, didasarkan pada, prinsip bagi hasil yang mendatangkan keuntungan bukan hanya pada bank tetapi juga bagi masyarakat, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia juga telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank (beyond banking).
Selanjutnya berbagai program konkrit yang telah dan akan dilakukan oleh BI sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Memang, menurut Agustianto, tidak dapat dibantah bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini, menurutnya, setidaknya ditandai oleh lima hal. Pertama, Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan. Data terakhir menunjukkan bahwa market share perbankan syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, yaitu 1,65 %, belum mencapai 2 %, (lihat tabel). Ini menunjukkan bahwa market share bank syari’ah masih sangat besar.
Kedua, Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif, tidak seperti sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah. Ketiga Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.
Keempat, Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan negara dari kehancuran. Bank Indonesia yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar. Memang banyak peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah, khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
Kelima, masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia. Ketika harga minyak 32 dollar US perparel, Timur Tengah telah menjadi negara petro dollar, apalagi ketika harganya meningkat menjadi 70 dolar perbarel, tentu dana itu semakin besar. Bila potensi ini berhasil ditarik oleh bank-bank syariah, maka market share bank-bank syariah akan semakin besar. Konon potensi dana Timur Tengah saat ini mencapai 600-700 miliar dolar US.
Untuk mendukung pertumbuhan dan kemajuan perbankan syariah seperti yang diuraikan di atas, Indonesia harus memiliki capacity building untuk mengembangkan bank syariah. Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, termasuk yang berada di bawah PTAIN – salah satunya Program Studi Ekonomi Syariah IAIN Sunan Ampe l– perlu mengembangkan disiplin ilmu ekonomi dan perbankan syariah. Sebab, Sumber Daya Manusia (SDM) untuk bidang tersebut di Indonesia, masih minim. Di Dubai dan Arab Saudi yang menjadi pusat perbankan syariah dunia, mayoritas pekerjanya berasal dari Malaysia dan Pakistan. Keterbatasan tersebut juga menjadi salah satu kendala perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Berdasarkan laporan Harian Republika, kebutuhan tenaga kerja perbankan syariah di 2011 masih sangat tinggi. Dengan target pertumbuhan moderat, perbankan syariah masih butuh tambahan lebih dari 10 ribu pegawai baru. Dengan skenario moderat, pada 2011 dibutuhkan (total) pegawai perbankan syariah adalah 27.328 orang, ungkap Direktur Utama BNI Syariah, Rizqullah, dalam Infobank Outlook 2011.
Sementara per September 2010, total pegawai perbankan syariah berjumlah 16.896 orang. Artinya kekurangan tenaga kerja syariah untuk 2011 saja mencapai lebih dari 10 ribu orang. Asumsi yang dipakai untuk menghitung kebutuhan pegawai itu, papar Rizqullah, merujuk pada rasio aset dibanding jumah pegawai. Dengan total aset per September 2010 mencapai Rp 83,454 triliun, maka rasio aset dan pegawai adalah Rp 4,94 miliar. Sementara, target pertumbuhan moderat yang dipatok perbankan syariah dan BI adalah 43 persen. Dengan basis penghitungan aset di akhir 2009 adalah Rp 66,09 triliun, maka target ‘moderat’ itu merujuk pada capaian Rp 95 triliun pada 2010 dan Rp 135 triliun pada 2011. Ketika target aset 2011 dibagi dengan Rp 4,94 miliar, maka didapatlah kekurangan 10.432 orang pegawai.
Sejalan dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ketentuan tentang zakat dan wakaf yang ada dalam ajaran Islam salah satu tujuannya adalah dalam rangka mengentaskan kemiskinan lewat zakat produktif dan wakaf tunai yang dapat dijadikan infestasi dalam membuka dan mengembangkan berbagai usaha untuk meningkatkan ekonomi rakyat, khususnya kalangan muslim.
Fakta menunjukkan bahwa besarnya jumlah penduduk muslim di berbagai belahan bumi ini pada satu sisi menjadi peluang yang sangat besar dalam menghimpun dana untuk peningkatan ekonomi umat bila dapat dikelola dan didistribusikan sebaik mungkin. Saat ini, jumlah umat Islam di seluruh dunia sekitar 1,57 miliar orang. Jumlah itu mewakili 23 persen total penduduk dunia yang jumlahnya mencapai 6,8 miliar jiwa sampai tahun 2009.
Besarnya jumlah penduduk muslim secara otomatis akan meningkatkan potensi zakat dan wakaf dunia Islam. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa besarnya zakat yang dapat dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen dari total GDP. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi, sebagai contoh, memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dolar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dolar AS sama dengan Rp 9 ribu). Sedangkan Turki, memiliki potensi yang lebih besar lagi, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 51,3 triliun rupiah. Sedang Indonesia memiliki potensi hingga 4,9 miliar dolar AS ( Rp. 44,1 triliun).
Namun demikian, fakta menunjukkan, hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total GDP mereka. Malaysia misalnya pada tahun lalu hanya mampu mengumpulkan zakat senilai 600 juta ringgit ( Rp 1,5 triliun ), atau sekitar 0,16 persen dari total GDP. Begitu pun dengan Indonesia, hanya mampu mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total GDP. Secara umum, negara-negara Teluk pun hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1 persen dari GDP Nya.
Begitu juga terkait dengan potensi wakaf, khususnya wakaf tunai, yang pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Sedangkan wakaf dalam bentuk uang tunai belum tersosialisasi kepada masyarakat dengan baik. Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nadzir).
Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir dan Islamic Relief — sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris.
Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Di Indonesia sendiri, jelas mantan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, potensi wakaf perlu digali terus-menerus agar memberikan manfaat sosial lebih banyak. Untuk itu kekayaan wakaf harus dikelola secara produktif sebagaimana dilakukan di beberapa negara Islam lain.
Dengan segala potensi yang dimiliki, menurut Muhammad Maftuh Basyuni, wakaf dapat dijadikan model pengembangan ekonomi alternatif di tengah kondisi ekonomi umat yang masih memprihatinkan. “Masyarakat kita saat ini membutuhkan pencerahan dan pemecahan konkrit di tengah derasnya tekanan ekonomi global,” tandasnya.
Menurut Menag, lahirnya BWI yang dibentuk pemerintah sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan sebagaimana amanat Undang-Undang Wakaf untuk mengembangkan perwakafan nasional, hendaknya menjadi pioner gerakan pemberdayaan wakaf secara produktf yang lebih memiliki “greget” dan kekuatan tekad. “BWI dengan segala potensi dan kekuatan hukum yang dimiliki harus lebih fokus lagi untuk menjadikan wakaf berdaya guna dengan meningkatkan peran dan skill pengelola wakaf agar elbih profesional dan amanah.
Potensi wakaf uang juga sangat menjanjikan karena wakaf dalam bentuk ini tidak terikat dengat kepemilikan kekayaan dalam jumlah besar. Siapapun yang berkeinginan untuk mendermakan sebagian hartanya dapat berwakaf dengan uang. Meski uang memiliki sifat yang dapat berkurang nilainya setiap waktu, tetapi karena sifatnya yang fleksibel dan adanya dukungan payung hukum yang memadai, maka wakaf uang dapat dijadikan sebagai instrumen pengembangan wakaf produktif di masa mendatang.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana BWI, Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan mengakui, potensi perwakafan di Indonesia belum ditangani secara optimal. Potensi yang besar ini ternyata tidak dibarengi dengan usaha pengembangan secara produktif.
Dengan potensi zakat dan wakaf yang luar biasa besar tersebut sudah selayaknya dunia Islam dapat mandiri dan mensejahterakan ummat. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan potensi zakat dan wakaf tersebut belum dapat dimaksimalkan karena berbagai faktor yang menjadi hambatan terutama terkait dengan mobilisasi dan manajemen pengelolaan, termasuk dari perusahaan-perusahaan besar.
Seperti dijelaskan di atas, Islam mensyaratkan barang-barang yang diproduk, diperdagangkan dan dikonsumsi itu harus halal dan toyyib, demikian juga dalam proses mendapatkan dan proses produksi dan distribusinya.
Dewasa ini umat Islam di dunia menyadari besarnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masalah penetapan kehalalan produksi makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, produk-produk tersebut diolah melalui berbagai metode dan teknik pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Berbagai produk yang siap untuk dikonsumsi dan digunakan dalam berbagai bentuk kemasan telah banyak beredar di pasaran. Dilihat dari segi label produksinya, produk-produk tersebut berasal dari dalam dan luar negri. Pada produk-produk yang berasal dari dalam negeri—apalagi—dari luar negeri, hanya sebagian yang mencantumkan label halal pada kemasannya, hal inipun kebenarannya masih dipertanyakan. Di Indonesia sendiri, berdasarkan paparan MUI beberapa bulan yang lalu, ada 60 persen produk yang tidak terjamin kehalalannya. Sebagian besar produk industri dan teknologi pangan dunia juga tidak menerapkan sistem sertifikasi halal. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk makanan, minuman dan produk lainnya, namun juga terhadap proses produksi serta rekayasa genetik.
Umat Islam dalam mengonsumsi makanan, minuman, obat-obotan dan menggunakan kosmetika di samping mempertimbangkan faktor kebersihan dan kandungan gizinya, juga mempertimbangkan faktor kehalalan. Dalam mengonsumsi suatu produk pangan tertentu, faktor kehalalannya dianggap oleh umat Islam sebagai suatu faktor yang sangat penting. Bahkan, suatu tinjauan mengenai adanya kejelasan status halal suatu produk pangan telah menjadi bagian dari isu global. Hal ini tidak lain karena dalam pandangan Islam masalah status kehalalan merupakan implikasi yang sangat luas meliputi berbagai aspek kehidupan. Karena itulah, umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah.
Dalam sistem perdagangan internasional, masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia maupun sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN – AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut “label/tanda halal” pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang mempunyai bagian terbesar warga negara dan penduduk yang beragama Islam, memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum terhadap kehalalan pangan dan produk lainnya adalah conditio sine qua non. Karena, dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, Indonesia dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.
Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasikan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasarkan pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.
Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen yang berpijak pada empat (4)konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya.
Oleh karena itu, perlu ada komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran. Sistem Jaminan Halal (SJH) di atas mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, aktivitas, kemampuan dan sumber daya yang ditujukan untuk menjamin bahwa proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal. Dalam penerapannya, Sistem Jaminan Halal harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi beberapa aspek yaitu: (1) Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal Policy); (2) Panduan Halal (Halal Guidelines); (3) Sistem manajemen Halal; (4) Uraian titik kendali kritis keharaman produk; (5) Sistem audit halal internal; (6) sistem dokumentasi.
Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik. Manual halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan. Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan di lingkungan perusahaan. Secara teknis manual halal dijabarkan dalam bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP) untuk tiap bidang yang terlibat dalam produksi secara halal. Kebijakan untuk selalu menjaga status kehalalan produksi makanan dan minuman dan produk lainnya baik yang berasal dari hewani maupun nabati merupakan komitmen untuk memproduksi produk halal secara konsisten yang harus dikomunikasikan dan difahami oleh umat Islam. Konsistensi produksi halal harus dijabarkan dalam konsistensi proses produksi dan penggunaan bahan (bahan baku, bahan tambahan dan penolong) yang dipilih berdasarkan prosedur pemilihan bahan yang dimulai dari prosedur penetapan titik kritis bahan, prosedur penetapan status bahan dan peralatan yang dipakai untuk produksi halal tidak boleh dipakai untuk produksi non halal (mengandung babi).
Kebijakan halal ini merupakan komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten. Kebijakan halal mencakup tujuan, sumber daya yang digunakan, komitmen untuk menerapkan Sistem Jaminan Halal secara kontinu, serta alasan pimpinan menerapkan Sistem Jaminan Halal. Kebijakan halal ini juga mencakup uraian mengenai kebijakan perusahaan tentang produksi. Hal ini dijelaskan secara rinci apakah perusahaan hanya memproduksi produk halal atau sebagian saja yang memproduksi produk halal. Kebijakan halal meliputi kebijakan umum dan kebijakan tiap departemen dalam mendukung produksi halal. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan halal harus dikomunikasikan dan dipahami oleh seluruh karyawan dan bukan hanya dipahami oleh pihak manajemen perusahaan saja. Konsistensi produksi halal dijabarkan dalam konsistensi seluruh proses produksi dan penggunaan bahan (bahan baku, tambahan dan penolong). Bahan yang digunakan harus dipilih berdasarkan prosedur pemilihan bahan yg ditetapkan LP POM MUI. Sedangkan prosedur pemilihan bahan dimulai dari :1) prosedur penetapan titik kritis bahan, kemudian 2) prosedur penetapan status bahan.
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa konsumen muslim Indonesia menghendaki agar produk-produk yang dikonsumsi yang beredar dan diperdagangkan betul-betul terjamin kehalalan dan kesuciannya sejalan dengan ajaran Islam. Jaminan produk halal yang pada mulanya diatur dalam hukum positif, sehingga tanggung jawab atas kehalalan produk berada pada pemerintah, selain tanggung jawab individu dan tokoh agama. Namun, di Indonesia baru menjangkau sebagian kecil produsen yang menerapkan sistem jaminan produksi halal dan menggunakan label halal dari jutaan produsen yang ada. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Faktor substansi hukum, faktor kualitas dan kuantitas SDM Penegak hukum, faktor kebudayaan masyarakat konsumen dan produsen, serta kurangnya fasilitas laboratorium menjadi penyebab pelaksanaan sertifikasi dan labelisasi produk halal di Indonesia tidak dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, diperlukan upaya pengaturan dan penataan suatu proses penjaminan kehalalan pangan dan produk lainnya dalam suatu undang-undang yang mengatur tentang jaminan produk halal yang komprehensif, konsisten, sistemik, dan mampu memberikan kepastian hukum bagi adanya jaminan halal pada setiap pangan dan produk lainnya. Pengaturan dalam undang-undang mengenai jaminan halal ini tidak akan berbenturan dengan sistem perekonomian nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi pengaturan semacam ini akan memberikan dukungan konstitusional dan yuridis bagi terciptanya pertumbuhan usaha yang sehat dalam kehidupan perekonomian nasional, dan menciptakan persaingan yang sehat pula bagi perdagangan nasional, regional, maupun global. Di samping itu, dalam upaya menerapkan sistem jaminan kehalalan terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika maka perlu adanya pengaturan dari aspek pengawasan, pemeriksaan dan pengujian secara laboratoris, sehingga diperlukan adanya dokumen jaminan atas kehalalan tersebut dalam bentuk sertifikasi halal demi terwujudnya jaminan kehalalan produk-produk tersebut yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, diharapkan perdagangan yang berlangsung di Indonesia merujuk kepada sistem perdagangan yang berbasis halalan thoyyiban.
Seperti diuraikan di atas, tumbuh suburnya ekonomi dan perbankan Syari’ah di Indonesia pada akhirnya telah berimplikasi terhadap terbukanya lapangan pekerjaan di berbagai sektor, baik sektor formal maupun informal dengan sistem yang mengacu kepada sistem ekonomi Islam. Pesatnya perkembangan ekonomi Islam dan industri perbankan Syari’ah serta lembaga-lembaga keuangan Syari’ah lainnya, pada sisi lainnya, tentunya harus diimbangi dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memadai, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tanpa SDM yang memadai, mustahil lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Di sinilah peran strategis yang harus dimainkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya Fakultas Syari’ah, dengan mengambil peran penting dalam penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan semua lembaga yang disebutkan di atas. Peran Fakultas Syari’ah dalam menyiapkan SDM ini menjadi sangat strategis sekaligus menantang. Peluang tersebut ternyata telah ditangkap dan direalisasikan oleh Pimpinan Fakultas Syari’ah dengan mengajukan pembukaan Program Studi Ekonomi Syariah, dan alhamdulillah, pada akhir tahun 2008 Program Studi tersebut telah mendapatkan legalitas dari Departemen Agama, dan sejak Semester Ganjil Tahun Akademik 2009/2010 Program Studi Ekonomi Syari’ah telah memulai perkuliahan perdananya. Peminat program strudi ini cukup menggembirakan dan menjadi salah satu prodi unggulan di lingkungan IAIN Sunan Ampel, dengan total jumlah mahasiswa sebanyak 300 orang untuk dua angkatan (Angkatan Pertama, 102 orang, terdiri dari 4 kelas; Angkatan Kedua, 198 orang, terdiri dari 6 kelas).
Menampilkan performance Program Studi Ekonomi Syari’ah yang mandiri, unggul dan terbaik menjadi komitmen dan keharusan bagi seluruh Civitas Akademika Fakultas Syari’ah, khususnya bagi pengelola Program Studi Ekonomi Syari’ah.
Dalam rangka penyediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah lainnya, maka Program Studi Ekonomi Syariah hadir dengan satu tekad yaitu agar menjadi institusi perguruan tinggi yang unggul, berkualitas dan memberikan kontribusi terbaiknya dalam menyokong tumbuh dan berkembangnya Ekonomi Islam di Indonesia dan dalam rangka menebarkan sebanyak-banyaknya kemaslahatan untuk bangsa dan negara serta bagi umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.
C. Visi Program Studi Ekonomi Syariah
Visi program studi ekonomi syariah adalah menjadi pusat kajian dan pengembangan ekonomi syariah yang ekselen di dalam proses dan produknya yang bermuara pada penguatan SDM unggul dan berdaya saing di tingkat nasional maupun internasional.
Misi program studi ekonomi syariah, yaitu: menjadi pusat ekselensi proses pembelajaran dan pendidikan ekonomi syariah, menjadi pusat ekselensi kajian dan pengembangan ekonomi syariah, dan menjadi pusat ekselensi pengembangan SDM berbasis profesionalisme di bidang ekonomi syariah.
D. Arah pengembangan
Arah pengembangan program studi ekonomi syariah tentu saja harus diselaraskan dengan visi dan misi program studi tersebut.
Sesuai dengan visi dan misi yang sudah dipaparkan di muka, maka ada empat aspek yang akan dikembangkan dalam meraih ekselensi, yaitu:
- Memperluas akses pendidikan ekonomi syariah. Untuk memperluas akses pendidikan ekonomi syariah, maka sudah sewajarnya jika dilakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan tentang program studi ekonomi syariah secara memadai. Di dalam kerangka ini, maka sangat perlu membangun imaje yang baik agar lembaga tersebut dikenal oleh public. Program pencitraan berbasis pada kualitas dalam berbagai aspek akan menjadi sesuatu yang diperlukan. Sebagaimana perkembangan zaman, bahwa ke depan seirama dengan tuntutan kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan, maka lembaga pendidikan yang bermutu saja yang akan diminati oleh mahasiswa. Semakin berkualitas lembaga pendidikan tersebut akan semakin besar peluangnya untuk memperoleh sumberdaya mahasiswa. Dan semakin berkualitas fungsi akademik lembaga pendidikan tersebut juga akan berdampak pada peluang besarnya kualitas lulusan lembaga pendidikan tersebut. Semakin ketatnya kompetisi lulusan dalam mengakses pekerjaan tentu harus dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan kualitas kelembagaan sebagai pintu memperluas akses dimaksud.
- Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan program ekonomi syariah. Agar memperoleh akses yang memadai, maka lembaga pendidikan harus mengembangkan diversifikasi program studinya. Untuk kepentingan ini, maka pengembangan program studi yang sesuai dengan analisis kebutuhan dan kelayakan menjadi sangat penting. Di era semakin meningkatnya kebutuhan akan tenaga professional di dalam bidang ekonomi syariah, maka program studi diversifikatif di bidang ekonomi syariah sangat diperlukan. Makanya analisis kebutuhan pasar dan analisis pelanggan dapat dijadikan sebagai ukuran untuk membuka prodi yang relevan dengan kebutuhan dimaksud. Kemudian, yang juga dibutuhkan adalah penguatan kelembagaan. Bagi prodi yang sudah eksis, maka harus dilakukan upaya agar program studi dimaksud menjadi ekselen. Penguatan kelembagaan tersebut dapat dilakukan terhadap eksisting dosen dalam pendidikan dan kebutuhan penguatan dosen yang diperlukan. Selain itu, juga penguatan program akademik, ketenagaan dan proses pendidikan yang terstandardisasikan sesuai dengan jaminan mutu yang diakui baik nasional maupun internasional.
- Mengembangkan dan memperkuat sarana dan infrastruktur pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berencana menjadi ekselen, maka salah satu tuntutannya adalah kehebatan infrastruktur kependidikannya. Infrastruktur tersebut meliputi prasarana gedung perkuliaan yang meliputi sarana ruang kuliah yang fully multi media, sarana Information and communication technology yang memadai, laboratorium yang ekselen, lingkungan kampus yang asri dan indah, dan sarana prasarana penunjang yang mencukupi. Ketercukupan sarana pasarana dan infrastruktur yang memadai akan dapat menjadi jaminan akan lahirnya kualitas alumni yang professional sesuai dengan bidang studinya. Selain itu juga menjamin akan terwujudnya budaya akademik yang tinggi sesuatu dengan tujuan membangun kampus akademis.
- Membangun manajemen dan tata kelola sesuai dengan mandate reformasi birokrasi. Lembaga pendidikan tinggi memiliki fungsi pelayanan public. Oleh karenanya tentu dituntut agar di dalam pelayanan public tersebut berbasis pada pelayanan prima. Tolok ukur pelayanan prima adalah kepuasan pelanggan. Jika pelanggan kita puas dengan pelayanan yang diberikan, maka berarti bahwa pelayanan yang diberikan oleh lembaga tersebut telah memenuhi criteria pelayanan prima. Untuk ias melakukan pelayanan prima, maka manajemen lembaga pendidikan tinggi harus memenuhi criteria transparansi,
Untuk menjadi pusat ekselensi pembelajaran dan pendidikan ekonomi syariah, maka arah yang akan ditempuh adalah dengan memperhatikan arah kebijakan dan strategi pengembangan ekonomi syariah (Jakstrabangeksya) jangka pendek, menengah dan panjang.
Arah pengembangan jangka pendek (1 tahun): Menjadi pusat ekselensi pembelajaran dan pendidikan ekonomi syariah
| No | Arah | Program | Sasaran | Out put |
| 1 | Menjadi ekselen dalam dosen | Melakukan program studi lanjut S2 dan S3 linear dalam ekonomi/ekonomi syariah | Dosen yang masih berstrata S1 dan Strata 2 | Dosen mengikuti studi lanjut S2 dan S3 |
| 2 | Menjadi ekselen dalam kurikulum ekonomi syariah | Melakukan seminar dan workshop kurikulum ekonomi syariah | Para dosen ekonomi syariah | Terumuskannya draft kurikulum ekonomi syariah sebagai bahan review kurikulum |
| 3 | Menjadi ekselen dalam proses pembelajaran dan pendidikan | 1)Workshop dan pelatihan pembelajaran ekselen2)Merumuskan draft buku ajar yang diperlukan
3)Workshop dan pelatihan pembelajarn berbasis ICT |
Para dosen ekonomi syariah | Terlaksananya program pembelajaran yang ekselen berbasis ICTTerumuskannya draft buku ajar bagi para dosen |
| 4 | Menjadi ekselen dalam laboratorium ekonomi syariah | 1)Pengadaan laboratorium ekonomi syariah2)Kerja sama pengembangan laboratorium ekonomi syariah
3)penguatan staf dan dosen dalam pemanfaatan laboratorium ekonomi syariah |
Dosen dan staff | 1)Tersedianya laboratorium ekonomi syariah2)terlaksana kerja sama pengembangan laboratorium ekonomi syariah
3)dapat mengoperasionalkan dan menyelenggarakan laboratorium ekonomi syariah |
| 5 | Menjadi ekselen dalam pengembangan manajemen dan penguatan kelembagaan | 1)Persiapan program studi untuk pelayanan prima2)Workshop pelayanan prima
3)Penjajakan dan studi kelayakan pengembangan program ekonomi syariah |
Dosen, mahasiswa, staff dan stakeholder | 1)Terbentuknya tim atau panitia pengembangan program studi ekonomi syariah2)terlaksananya workshop pelayanan prima
3)terealisasinya kajian atau studi kelayakan pengembangan pusat-pusat atau lembaga pengembangan prodi ekonomi syariah |
| 6 | Menjadi ekselen di dalam sarana dan prasarana serta infrastruktur akademik | Pengadaan beberapa sarana dan prasarana pembelajaran berbasis ICT dan pengadaan barang dan jasa yang relevan dengan pengembangan ekselensi akademik program studi ekonomi syariah | Sarana, prasarana dan infrastuktur | Tersedianya beberapa sarana, prasarana dan infrastruktur ekselen sesuai dengan pengembangan prodi ekonomi syariah |
Arah pengembangan jangka menengah (5 tahun): Menjadi pusat ekselensi pembelajaran dan pendidikan ekonomi syariah
| No | Arah | Program | Sasaran | Out put |
| 1 | Menjadi ekselen dalam dosen | Melakukan program stusi lanjut S2 dan S3 linear dalam ekonomi/ekonomi syariah | Dosen yang masih berstrata S1 dan Strata 2 | Dosen memiliki gelar dan professional di dalam mengajar ekonomi syariah |
| 2 | Menjadi ekselen dalam kurikulum ekonomi syariah | Melakukan kurikulum review | Dosen dan stakeholder | Terumuskan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan akademis dan ketenagaan professional di bidang ekonomi syariah |
| 3 | Menjadi ekselen dalam proses pembelajaran dan pendidikan | Program pembelajaran yang terstandardisasikan sesuai dengan penjaminan mutu akademisPenulisan buku ajar di bidang ekonomi Islam
Workshop pembelajaran efektif berbasis ICT |
Dosen, mahasiswa dan staf program studi | Terwujudnya proses pembelajaran yang sesuai dengan penjaminan mutuTerbitnya buku teks yang out standing
Terlaksananya pembelajaran berbasis ICT |
| 4 | Menjadi ekselen dalam laboratorium ekonomi syariah | 1)Pengadaan laboratorium program ekonomi syariah2)Penguatan ketenagaan dalam pengelolaan laboratorium ekonomi syariah
3)penguatan manajemen laboratorium ekonomi syariah |
Infrastruktur laboratorium, staf laboratorium dan dosen pengelola dan pengguna laboratorium ekonomi syariah | Terwujudnya infrastruktur laboratorium, profesionalisme staf dan tenaga pengajar dalam mengelola dan menggunakan laboratorium ekonomi syariah |
| 5. | Menjadi ekselen dalam pengembangan manajemen dan penguatan kelembagaan | 1)Manajemen dan tata kelola yang terakreditasi sesuai dengan standart internasional2)pengembangan pusat-pusat pengembangan diversifikatif yang sesuai dengan ekselensi program studi
3)Pendampingan pelayanan prima 4) pelayanan berstandart ISO |
Pimpinan fakultas, prodi, kepala laboratorium, dan seluruh dosen yang menjadi pengampu mata kuliah di prodi ekonomi syariahDan juga para stakeholder yang terlibat di dalamnya | Terwujudnya manajemen berbasis pelayanan prima dan terwujudnya diversifikasi pusat-pusat pengembangan ekonomi syariahYang Terstandarisasi ISO |
| 6 | Menjadi ekselen di dalam sarana dan prasarana serta insfrastruktur akademik | Pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran berbasis ICT dan pengadaan barang dan jasa yang relevan dengan pengembangan ekselensi akademik program studi ekonomi syariah | Sarana, prasarana dan infrastuktur | Tersedianya sarana, prasarana dan infrastruktur ekselen sesuai dengan pengembangan prodi ekonomi syariah |
| 7 | Memantapkan posisi keilmuan ekonomi syariah dan implikasi parksisnya bagi pengembangan kesejahteraan umat | Seminar nasionalSeminar internasional
Workshop profesionalisme praktisi ekonomi syariah |
Dosen, mahasiswa dan para pakar di bidang ekonomi syariah serta stakeholder | Terselenggaranya seminar nasional dan internasionalTerselenggaranya workshop dan pelatihan perofesionalisme praktisi ekonomi syariah |
E. Eksisting Kurikulum dan Program Pengembangan Program Studi Ekonomi Syariah
Seperti diuraikan di atas, tingginya kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan industri perbankan syariah dan lembaga keungan syariah non bank serta bisnis syariah, pada sisi lainnya menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk IAIN Sunan Ampel, untuk memberikan kontribusi terbaiknya dalam memasok SDM yang dibutuhkan tersebut. Di sinilah peran strategis yang harus dimainkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya Fakultas Syari’ah, dengan mengambil peran penting dalam penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan semua lembaga yang disebutkan di atas. Peran Fakultas Syari’ah dalam menyiapkan SDM ini menjadi sangat strategis sekaligus menantang.
Untuk mencetak sumber daya manusia yang profesional dan berkualitas, menguasai sistem ekonomi Islam dan terampil dalam mengelola industri Perbankan Syariah, Keuangan Islam dan bisnis Syariah, sangat ditentukan oleh kurikulum dari suatu institusi pendidikan. Dalam merespon kebutuhan di atas, berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia telah menawarkan pengajaran Ekonomi Islam. Pengajaran Ekonomi Islam di Indonesia yang telah ada sekarang ini, seperti yang dipaparkan dalam Blue Print Ekonomi Syariah Tahun 2004, dapat digolongkan menjadi beberapa kategori.
Kategori pertama, diwakilui oleh UIN/IAIN, dan dalam hal ini adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat akan perlunya penerapan ekonomi Islam yang ditandai dengan pendirian bank-bank, asuransi dan reksadana syariah, maka Fakultas Syariah UIN Jakarta membuka Jurusan Muamalat dengan format baru. Langkah ini kemudian disempurnakan dengan membuka Progran Studi Perbankan Syariah dan Takaful/Asuransi Islami. Melihat kurikulum yang menjadi acuan pengajaran kedua program studi di atas, tampak bahwa pola pendekatan yang diadopsi oleh UIN Jakarta bobotnya terlalu mengandalkan pengajaran ilmu-ilmu Syariah, tetapi kurang mengandalkan pengajaran ilmu ekonomi dan perbankan modern. Kenyataan ini dapatlah dimengerti karena jurusan yang diberikan masih dalam lingkup Fakultas Syariah. Boleh jadi kelemahan ini merupakan akibat alami dari sifat pendididkan UIN/IAIN yang sejak dulu memang terfokus pada pengajaran ilmu-ilmu agama (Islamic studies). Porsi pengajaran ilmu ekonomi dan perbankan konvensional yang sangat kurang dibarengai dengan pengajaran iptek (ilmu dan teknologi), seperti matematika dan statistika, akan dapat mengakibatkan terjadinya pemahaman yang kurang tepat tentang ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmiah yang terukur menurut kriteria pembelajaran yang sinergis antara contents, conducts, contexts dan contours.
Sebenarnya ada perbedaan antara tujuan pengajaran ekonomi Islam untuk melahirkan para ahli di bidang hukum perdata dan niaga Syariah dengan mencetak sarjana yang benar-nbenar paham tentang ilmu ekonomi konvensional, filosofi ekonomi Islam dan fikih muamalah. Tujuan pengajaran pertama tidak mengharuskan pengajaran yang terinci tentang karakteristik ilmu ekonomi konvensional dengan segala aspek alatnya. Barangkali cukup mengajarkannya secara global dengan pendekatan konseptual saja. Namun pada tujuan kedua, penguasaan terhadap teori ilmu ekonomi kontemporer menjadi suatu keniscayaan, karena tanpa penguasaan aspek ini sulit memahami secara komprehensip ilmu ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmiah sekaligus alternative dari ilmu ekonomi konvensional.
Petrlu diketahui bahwa munculnya gagasan ilmu ekonomui ini sebenarnya justru dari para ekonom yang telah bertahun-tahun dididik dan dilatih dengan ilmu ekonomi barat konvensional dengan segala macam metodologi dan landasan epistemologinya. Hampir seluruh pelopor ekonomi Islam adalah sarjana S3 yang menyelesaiakn pendididkabn formalnya di AS, Inggris, Francis dan negara-negara barat lainnya. Karena keyakinan mereka yang mendalam terhadap Islam sebagai suatu system kehidupan (an applicable way of life) yang dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja, maka mereka menggagas system ekonomi Islam yang kemudian dilanjutkan kepada upaya penemuan ilmu ekonomi Islam (Islamic Ekonomics) sebagai suatu disiplin ilmiah. Mereka amat yakin bahwa nilai-nilai dan ajaran Islam mampu menjadi premis intelektual dalam bidang apapun. Di sampingn itu mereka juga melihat kelemahan-kelemahan menonjol dalam landasan teorinya dan pendekatan yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Kateghori kedua, diawakili oleh Fakultas Ekonomi Universitas Airllangga Surabaya. Untuk tingkatan perguruan tinggi negri, usaha dan minat universitas Airlangga memasukkan konsentrasi kajian perbankan/financial Islam patut mendapat apresiasi. Hal itu disebabkan karena hingga sekarang tidak ada satu pun perguruan tinggi umum negeri yang memasukan kajian ekonomi Islam ke dalam fakultas ekonominnya selain Departemen Ekonomi, Universitas Airlangga. Sekalipun hingga sekarang kajian itu masih sangat terbatas, hanya pada bidang keuangan dan perbankan dan itupun masih bersifat konsentrasi, tetapi langkah pioneering harus disambut gembira.
Berbeda dari kajian dan pengajaran yang ditawarkan oleh UIN/IAIN Jakarta, Fakultas Ekonomi Unair tetap mengajarkan semua teori ilmu ekonomi konvensional dengan semua tingkatan pendekatan. Dengan kata lain, kurikulum nasional yang berlaku bagi seluruh fakultas berjalan tetap seperti biasa, hanya kemudian mahasiswa diberikan konsentrasi kepada perbankan atau financial Islam. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa mahasiswa akan memiliki penguasaan terhadap teori ilmu ekonomi konvensional dan pada saat yang sama mereka mendapatkan gambaran global tentang operasional perbankan dan financial Islam.
Pendekatan ini memiliki kelemahan karena pengajaran Ushul fikih, Fikih Muamalah, dan Falsafah Hukum Islam, tidak memadai atau tidak ada sama sekali. Ketiadaan subyek-subyek ini mengakibatkan mahasiswa tidak memiliki pandangan yang benar tentang konsep-konsep, teori-teori dan landasana filosofi ekonomi Islam yang sebenarnya justru dapat diturunkan dari mata kuliah-mata kuliah tersebut. Mahasiswa pada gilirannya tidak dapat membedakan secara tegas perbedaan konseptual beberapa hal dalam bidang ekonomi antara konsep Islam dan konvensional. Pada tingkat intelektual yang tinggi, ketiadaan mata kuliah ini, juga akan menghambat mereka untuk dapat melakukan langkah-langkah kreatif dan pengambangan-pengembangan iqtishodiyah ilmiyah Islamiyah yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tantangan perkembangan zaman.
Boleh jadi kekurangan ini terjadi karena, pertama, Unair adalah lembaga pendidikan umum yang secara tradisional menawarkan pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu umum. Kedua, masih kuatnya dominasi dikotomi dalam tradisi keilmuan dan dalam pendidikan nasional. Ketiga, karena pengajaran subyek ekonomi Islam masih bersifat langkah awal dan inisiasi. Karena itu, segala kekuarangan dan kelemahan sudah pasti ada, dan mungkin seiring dengan perjalanan waktu telah diperbaiki dan disempurnakan.
Kategori ketiga, diwakili oleh perguruan tinggi swasta Islam, yang dalam hal ini, diwakili oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pengajaran ekonomi Islam di UII di bawah naungan Fakultas Ekonomi (FE-UII). Posisi demikian tampaknya menjadi keunggualan tersendiri bagi UII untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam di lingkungannya. Meskipun demikian terdapat hambatan dan keterbatasan bagi perguruan tinggi swasta karena harus tunduk kepada Direktorat Jendral Perguruan Tinggi (Dikti) yang sampai sekarang masih memberlakukan ketentuan Kurikilaum Nasional (Kurnas) dan Kurikulum Local (Kurlok). Jika muatan Kurlok tidak dapat diakomodasi oleh kapasitas ruangan yang diberikan, maka pengajaran mata kuliah terutama yang berkaitan dengan ilmu ekonomi Islam harus dikompromikan. Keterbatasan inilah yang dirasakan oleh UII dan juga perguruan tinggi swasta lainnya sebagai suatu yang menghambat dan mengakibatkan kurang optimalnya pengajaran ilmu ekonomi Islam di perguruan tinggi di Indonesia.
Jika UIN/IAIN Jakarta meletakkan pengajaran ekonomi Islam di bawah payung Fakultas Syariah dan Fakultas Ekonomi Unair sebagai naungan konsentrasi Perbankan dan Financial Islam, maka Fakultas Ekonomi UII Yogyakarrta adalah tempat pengembangan dan pengajaran Ilmu Ekonomi Islam. Di antara ketiga lembaga pendidikan tinggi ini, maka hanya di FE-UII pengajaran Ilmu Ekonomi Islam lebih optimal sekalipun itu tidak berarti luput dari kelemahan atau kekurangan.
Di samping itu, pendekatan yang diguinakan dalam pengajaranpun mengalami perubahan yang mencerminkan pemahaman lebih mendalam tentang hakikat ekonomi Islam. Pada tahap awal pengajaran, pendekatan normatife lebih menonjol daripada pendekatan komparatif. Setelah berjalan beberapa waktu dan mengalami beberapa kali pengalaman praktis, pendekatan komparatif akhirnya lebih dominan. Banyak alasan yang melatar belakangi perubahan approach ini antara lain (i) mulai terlihat nyata kontour-kontour ilmu ekonomi Islam sebagai hasil dari merebaknya seminar, konperensi, lokakarya dan kegiatan-kegiatan ilmiyah lainnya, (ii) makin tersedianya literature tentang ilmu ekonomi Islam baik yang berupa terjemahan dari bahasa asing maupun teks aslinya dalam bahasa asing seperti bahasa arab dan inggris, (iii) makin banyak sarjana yang memiliki wawasan ilmu ekonomi Islam sebagai dari hasil dari perkembangan (i) dan (ii) di atas. Di samping itu, FE-UII telah berhasil menerbitkan jurnal ilmiah bertaraf internasional tentang ekonomi Islam yaitu Iqtishad, the Islamic Economic Journal. Sementara di UIN Jakarta, jurnal seperti itu disebut dengan al-Iqtishadiyah yang diterbitklkan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islami (P3EI)
Suatu hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa penguasaan terhadap fikih muamalah maliyah dan maqoshid al-syariah (Islamic Legal Philosophy) agaknya kurang diperhatikan bukan saja oleh FE-UII melainkan juga oleh Departemen Ilmu Ekonomi Unair. Padahal penguasaan terhadap materi ini sangat dibutuhkan terutama ketika sang mahasiswa telah berhasil menjadi pemerhati, pelaku dan praktisi bisnis di lapangan. Pada saat itu, ilmu-ilmu ini akan sangat membantunya dalam melakukan pembuatan keputusan (decision maker) vis-à-vis realitas dunia nyata (real word) yang selalu tidak dapat dia kontrol. Perlu juga ditambahkan bahwa penguasaan terhadap subyek ini amat membantu pengembangan intelektual di bidang ekonomi Islam yang justru FE-UII sebenarnya ingin leading di sini.
Kategori keempat, diwakili oleh sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Yogyakarta. Perguruan Tinggi ini mirip dengan IAIN, karena institusi ini juga bernanung di bawah Departemen Agama. Dengan kurikulum yang berlaku bagi perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Departeman Agama, maka titik berat dari pengajarannya dengan pendekatan syariah. Sementara untuk kajian ekonominya, lebih banyak hal yang bersifat praktis yang terkesan kurang memedai apabila ditakar dengan pembelajaran teori. Untuk ke depan perguruan tinggi ini harus mampu memadukan dan menyeimbangkan pembelajaran teori dan praktisnya.
Kategori Kelima, yaitu Program Studi Ekonomi dibuka di Fakultas Agama Islam (FAI). Hal ini dilakukan di FAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogjakarta. Kategori ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh STIS dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentu masih ada lagi kategori-kategori lainnya yang muncul pada tahun-tahun belakangan ini dengan merujuk dari berbagai kelebihan dan kekurangan yang ada pada kelima kategori yang sudah ada.
Banyaknya pola pengajaran tentang Ekonomi Islam tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, isyu tentang ilmu Ekonomi Islam begitu juga tentang perbankan dan keuangan Islam, pada hakekatnya adalah isyu di bidang keilmuan yang relatif masih baru, kurang lebih tiga puluh tahun terakhir. Karena itu, sangatlah wajar bila bentuk dan format ilmu ini masih belum dapat dilihat sepenuhnya oleh sebagian para pionernya, apalagi oleh orang awam. Di samping itu pula masih banyak silang pendapat di kalangan para ahlinya tentang beberapa persoalan penting,
Kedua, pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia masih dikaitkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing lembaga yang menawarkan kajian ini. Jika tujuannya untuk menciptakan ahli muamalah yang mengetahui tentang ekonomi secara global dengan kemampuan memecahkan persoalan-persoalan Hukum Perdata Islam, maka model yang cocok adalah apa yang dilakukan di UIN/IAIN, FAI UII dan STIS. Jika mahasiswa diharapkan memiliki landasan yang kuat dalam teori ekonomi konvensional dan memiliki wacana global tentang ekonomi Islam dengan bekal pengetahuan operasional perbankan dan keuangan Islam, maka model Unair lebih cocok.
Ketiga, secara umum dapat disimpulkan bahwa pengajaran ilmu ekonomi belum menunjukkan tingkatan optimal terutama dalam penguasaan subjek ushul fikih, fikih muamalah maliyah dan maqashid asy-Syariah. Untuk itu, perlu segera diadakan penyesuaian dan revisi terhadap kurikulum yang sedang berjalan karena kelemahan dalam bidang-bidang ini tidak dapat ditolerir dan mengarah kepada gambaran ilmu Ekonomi Islam yang tidak tepat dan konsekwensi intelektual yang berbahaya.
Untuk itulah, Prodi Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya mencoba hadir untuk mencetak lulusan dengan kompetensi dalam bidang ekonomi Islam secara utuh sebagaimana diharapkan serta untuk mengatasi berbagai kelemahan system pengajaran ilmu ekonomi Islam yang ada dan dipraktekkan oleh berbagai perguruan tinggi, maka Program Studi Ekonomi Syariah mencoba merumuskan dan merancang kurikulum dan system pengajarannya dengan mengkompilasi dari berbagai kurikulum dan system pengajaran yang sudah ada itu.
Melihat kepada kurikulum dan metode pembelajaran yang dipaparkan di atas, maka Prodi Ekonomi Syariah IAIN Sunan Ampel, tentunya menyusun kurikulumnya dengan juga melihat kepada berbagai kelebihan dan kekurangan dari pola yang sudah dilaksanakan. Dengan pola seperti itu, ditambah dengan berdiskusi dan meminta masukan dari para user dan stakeholder yang terdiri dari para praktisi perbankan Syariah, asuransi Syariah dan keuangan Islam, Prodi Ekonomi Syariah tampil lebih percaya diri dan lebih menyakinkan.
Berdasarkan itu, maka Kurikulum Ekonomi Syariah dibangun dengan memadukan antara ilmu-ilmu teoritis dengan praktis (30:70), ekonomi konvensional dengan ekonomi Syariah (40:60), Ilmu Keislaman (30 persen), Ilmu Kesyariahan (20 persen) – Ushul Fiqih, Qawaid Fiqhiyah fi al-Iqtishad, Ayat-Ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, Fikih Muamalah dan Fikih Zakat dan Wakaf. Selain itu, kurikulumnya juga dilengkapi dengan ilmu-ilmu alat (30 persen), yang terdiri dari, bahasa (Arab/Inggris), ICT (Aplikasi Komputer), Matematika, Statistik dan Akuntansi. Kemudian, Kurikulum ini juga diperkaya dengan penguatan di bidang Kewirausahaan (20 persen), yang terdiri dari Pengantar Bisnis, Kewirausahaan, Studi Kelayakan Bisnis, Analisis Prilaku Konsumen, Marketing Produk, Analisis Laporan Keuangan dan Etika Bisnis Islam. Secara rinci Kurikulum Ekonomi Syariah ini dapat dilihat di halaman terahir dari paparan ini.
Seperti dipaparkan di atas, saat ini, Program Studi Ekonomi Syariah memiliki dua konsentrasi, yaitu Konsentrasi Manajemen Perbankan Syariah dan Konsentrasi Manajemen Keuangan Islam. Setiap tahunnya, kedua konsentrasi ini akan menerima mahasiswa sebanyak 6 kelas, dengan rincian 3 kelas untuk konsentrasi Manajemen Perbankan Syariah dan 3 kelas lainnya untuk konsentrasi Manajemen Keuangan Islam.
Ke depan, bila prodi ini betul-betul akan dikembangkan dan dijadikan prodi unggulan, maka tidak dapat tidak prodi ini harus ditingkatkan statusnya dari program studi menjadi fakultas, yaitu menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Syariah. Bila langkah ini yang menjadi pilihan, maka arah pengembangan Prodi Ekonomi Syariah diharapkan dapat menghadirkan tiga program studi, yaitu (i) Program Studi Manajemen Islam, (ii) Program Studi Akuntansi Islam, dan (iii) Program Studi Ekonomi Pembangunan.
Program Studi Manajemen Islam, dengan konsentrasi yang bisa dikembangkan – dilihat dari fungsi manajemen — di antaranya adalah konsentrasi :
(a) Manajemen Pemasaran Islam
(b) Manajemen Keuangan Islam
(c) Manajemen Produksi Islam
(d) Manajemen Sumberdaya Manusia Islami
(e) Menajemen Sumberdaya Alam Islami, dan
(f) Manajemen Sistem Informasi.
Sedangkan bila dilihat dari jenis usaha, program studi ini dapat diarahkan untuk membuka konsentrasi :
(a) Manajemen Perbankan Syariah
(b) Manajemen Asuransi Islam
(c) Manajemen Investasi Islam
(d) Manajemen Lembaga Pendidikan
(e) Manajemen Zakat dan Wakaf (Ziswaf)
(f) Manajemen Rumah Sakit, dan
(g) Manajemen Lembaga Keuangan Non-Komersial.
Adapun Program Studi Akuntansi Islam dapat diarahkan untuk membuka konsentrasi :
a. Akuntasi Perbankan Syariah
b. Akuntansi Asuransi Islam
c. Akuntansi Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah
d. Akuntansi Lembaga Bisnis Islam
e. Sistem Informasi Akuntansi, dan
f. Akuntansi Keuangan Daerah.
Sedangkan untuk Program Studi Ekonomi Pembangunan dapat diarahkan untuk membuka konsentrasi :
a. Pembangunan Berbasis Kecerdasan Masyarakat (Community Intelligence)
b. Sistem Keuangan Publik
c. Pengembangan Publik Services, dan lain-lain.
Agar Prodi ini siap bersaing dan bersinergi dengan berbagai kalangan serta alumni yang dicetak betul-betul adalah alumni yang sumber daya manusianya berakhlakul karimah dan frofesional, maka pada tahun kedua dan ketiga ini, Program Studi mengarahkan program kerjanya dalam penyiapan seluruh prangkat pendukung agar prodi ini bisa berjalan maksimal seperti yang diharapkan. Pada tahun 2011 ini, target yang diharapkan adalah Kurikulum, Syilabus dan SAP yang telah direview ulang bersama stakeholder dan user telah terpublikasikan dalam bentuk buku. Selanjutnya, diharapkan pula, izin perpanjangan prodi sudah diperoleh dari Diktis dan Dikti Kementerian Pendidikan dan prodi ini sudah masuk prodi yang ada di lingkungan IAIN Sunan Ampel yang telah masuk dalam Program EPSBED Dikti. Kemudian, pada pertengahan tahun 2011 ini juga Prodi Ekonomi Syariah diharapkan sudah mendapatkan akreditasi dari BAN-PT.
Seiring dengan itu, peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar dan staff yang mendukung Prodi Ekonomi Syariah ini juga harus dilakukan secara terus menerus secara berkesinambungan. Tidak ketinggalan pula, pada tahun 2011 ini, prodi juga akan membentuk konsorsium keilmuan Ekonomi Syariah, Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Syariah serta Jurnal Internasional Ekonomi Syariah (Jurnal of Islamic Banking and Finance). Selain itu, kita juga berharap bahwa pada akhir tahun 2011 ini, Prodi ini telah memiliki 4 buah laboratorium, yaitu, laboratorium multimedia (aplikasi komputer), perbankan dan akuntansi syariah, laboratorium ekonomi model dan enterprenership/kewirausahaan serta laboratorium bahasa, yang kesemua itu berasal dari bantuan IDB.
Bila kondisi di atas telah terpenuhi, maka Prodi Ekonomi Syariah pada tahun keempatnya, 2012, sudah bisa ekspansi dengan membuka beberapa program. Program pertama yang akan dilakukan adalah membuka Kelas Khusus Week End, yang perkuliahannya dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, dan diperuntukkan bagi karyawan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah lainnya. Kedua, membuka Kelas Persamaan, yang diperuntukkan bagi alumni D3 Perbankan Syariah dan atau alumni S1 dari Fakultas Syariah yang ingin mendalami Ekonomi Islam. Selanjutnya, Prodi juga akan membuka Pendidikan Profesi (Program D3) untuk Prodi Perbankan Syariah, Akuntansi Syariah dan Bisnis Syariah. Berikutnya, pada tahun kelima, tahun 2013, prodi ini akan membuka Kelas Internasional dalam dua bahasa, Arab dan Inggris, plus hapal Al-Quran 10 juz, disiapkan untuk mencetak SDM bertaraf internasional dan siap berkerja di berbagai negara.
Kemudian, pada tahun keempat dan kelima, 2014 & 2015, prodi ini menyiapkan dibukanya prodi baru, yaitu Prodi Akuntansi Syariah dan Prodi Ilmu Ekonomi (Studi Pembangunan) dengan beberapa konsentrasi yang dapat dipilih seperti yang telah dipaparkan di atas.
F. Eksisting Dosen Program Studi Ekonomi Syariah
Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar dan staff yang mendukung Prodi Ekonomi Syariah ini menjadi prasyarat utama dalam pengembangan prodi ini ke depan. Tentunya, rencana tersebut harus berbarengan dengan tersedianya sumber daya manusia tenaga pengajar dan staf yang mendukung untuk itu.
Saat ini, sumber daya manusia tenaga pengajar yang sudah ada adalah sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :
Jumlah Tenaga Pengajar dan Kompetensi Keilmuannya
| No. | Keahlian yang Dibutuhkan | Jumlah |
| 1. | Ekonomi Syariah | 3 |
| 2. | Ahli Manajeman | 2 |
| 3. | Akuntansi Syariah | 2 |
| 4. | Ilmu Ekonomi (SP) | 1 |
| 5. | Keuangan | 1 |
| 6. | Matematika | 1 |
| 7. | Statistik | 1 |
| 8. | Ulumul Quran & Hadis | 1 |
| 9. | Fikih Islam | 2 |
| 10. | Ushul Fikih | 1 |
| 11. | Studi Islam | 1 |
| 12. | Bahasa Inggris | 1 |
| Jumlah Total | 17 |
Khusus untuk tenaga pengajar yang dapat mendukung semua program yang telah direncanakan, maka prodi membutuhkan jumlah ideal tenaga pengajar dengan rincian sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :
| No. | Keahlian yang Dibutuhkan | Spesifikasi Keilmuan | Jumlah | Keterangan |
| 1. | Ekonomi Syariah | 15 | ||
| 2. | Ahli Manajeman | 17 | ||
| 3. | Akuntansi Syariah | 15 | ||
| 4. | Ilmu Ekonomi (SP) | 15 | ||
| 5. | Keuangan | 15 | ||
| 6. | Ekonometrika | 6 | ||
| 7. | Marketing | 15 | ||
| 8. | Kewirausahaan | 10 | ||
| 9. | Matematika | 6 | ||
| 10. | Statistik | 6 | ||
| 11. | Ahli Komputer (P & T) | 10 | ||
| 12. | Ulumul Quran & Hadis | 6 | ||
| 13. | Fikih Islam | 6 | ||
| 14. | Ushul Fikih | 6 | ||
| 15. | Ahli Hukum Perbankan | 2 | ||
| 16. | Ahli Hukum Bisnis | 2 | ||
| 17. | Studi Islam | 4 | ||
| Jumlah Total | 155 |
Jumlah Formasi dan Tahun Pengangkatan
| No. | Keahlian yang Dibutuhkan | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | Jumlah |
| 1. | Ekonomi Syariah | – | 1 | 2 | 3 | 3 | 3 | 3 | 15 |
| 2. | Ahli Manajeman | – | 2 | 3 | 3 | 3 | 3 | 3 | 15 |
| 3. | Akuntansi Syariah | 2 | 2 | 2 | 2 | 2 | 2 | 3 | 15 |
| 4. | Ilmu Ekonomi (SP) | 2 | 3 | 3 | 2 | 2 | 2 | 1 | 15 |
| 5. | Keuangan | 2 | 3 | 3 | 2 | 2 | 2 | 1 | 15 |
| 6. | Ekonometrika | 1 | 1 | 2 | 1 | – | – | – | 5 |
| 7. | Marketing | 2 | 3 | 3 | 2 | 2 | 2 | 1 | 15 |
| 8. | Kewirausahaan | 2 | 2 | 2 | 1 | 1 | 1 | 1 | 10 |
| 9. | Matematika | 1 | 2 | 2 | 1 | – | – | – | 6 |
| 10. | Statistik | 1 | 2 | 2 | 1 | – | – | – | 6 |
| 11. | Ahli Komputer (P & T) | 2 | 2 | 2 | 2 | 1 | 1 | – | 10 |
| 12. | Ulumul Quran & Hadis | – | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 6 |
| 13. | Fikih Islam | – | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 6 |
| 14. | Ushul Fikih | – | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 6 |
| 15. | Ahli Hukum Perbankan | – | – | 1 | 1 | – | – | – | 2 |
| 16. | Ahli Hukum Bisnis | – | – | 1 | 1 | – | – | – | 2 |
| 17. | Studi Islam | – | – | – | 1 | 1 | 1 | 1 | 4 |
| Jumlah Total | 15 | 26 | 31 | 26 | 20 | 20 | 17 | 155 |
Kemudian untuk dukungan staf dibutuhkan kualifikasi tenaga kepegawaian sbb :
| No. | Keahlian yang Dibutuhkan | Jumlah |
| 1. | Staf Prodi Manajemen Islam | 3 |
| 2. | Staf Prodi Akuntansi Islam | 3 |
| 3. | Staf Prodi Ilmu Ekonomi Islam | 3 |
| 4. | Staf Prodi Pendidikan Profesi | 3 |
| 5. | Staf Empat buah Laboratorium | 1 |
| 6. | Staf Perpustakaan | 4 |
| 7. | Staf bagian Akademik | 3 |
| 8. | Staf bagian Umum | 2 |
| 9. | Staf bagian Kepegawaian | 2 |
| 10. | Staf bagian Keuangan | 2 |
| 11. | Staf bagian ITC (Data Base dan Teknisi) | 5 |
| Jumlah Total | 31 |
G. Eksisting Sarana, Prasarana dan Infrastruktur Program Studi Ekonomi Syariah
Agar perkuliahan bisa dirancang dengan baik dan teratur, dibutuhkan sarana dan prasarana perkuliahan yang representatif. Bila masing-masing prodi yang terdiri dari 4 prodi (manajemen Islam, akuntansi syariah, ilmu ekonomi Islam dan program pendidikan profesi), menerima 6 kelas pertahunnya, maka dibutuhkan 24 kelas ruang kuliah. Bila satu gedung kuliah bisa menyediakan 12 kelas ruang kuliah, maka dibutuhkan 2 gedung kuliah untuk Ekonomi Syariah. Sarana ini tentu perlu didukung dengan ruangan dosen yang memadai, ruang pertemuan (1 buah aula besar, 2 buah aula kecil, 2 buah ruang rapat, 6 buah ruang sidang munaqasah), musala, dan ruang perkantoran serta gedung perpustakaan.
Untuk menjadikan prodi-prodi yang bernaung di bawah Prodi Ekonomi Syariah menjadi prodi unggulan, maka juga perlu didukung oleh hadirnya perpustakaan khusus di bidang Ekonomi Syariah. Perpustakaan ini sengaja dihadirkan dalam kategori perpustakaan bertaraf internasional, dengan harapan semua literatur yang ada dan dibutuhkan di bidang Ekonomi Syariah ada di perpustakaan ini dan dirancang menjadi perpustakaan Ekonomi Syariah terlengkap di dunia.
Selain itu untuk mendukung proses belajar dan mengajar serta mendukung peningkatan kompetensi di bidang bahasa dan kompetensi di bidang ilmu syariah – ulumul quran dan hadits, ushul fiqih dan qawaid fiqhiyah dan kompetensi di bidang praktek keagamaan dan akhlak mulia, dibutuhkan gedung asrama buat pemondokan mahasiswa dan mahasiswi, yang sekaligus juga dilengkapi dengan sarana internet dan sarana olah raga (volly, tenis, tenis meja dan bulutangkis). Berbarengan dengan itu, untuk mendukung ide dan praktek ekonomi Syariah di kampus, perlu didukung dengan hadirnya bank Syariah di kampus, bisa dipilih dari bank-bank syariah yang sudah ada, seperti Bank Muamalah, BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dllnya. Kehadiran bank ini sebagai wujud komitmen dari pimpinan institut dalam upaya mensosialisasikan sekaligus mempraktekkan Ekonomi Syariah di kampus.
Demikian arah dan rencana program pengembangan Program Studi Ekonomi Syariah yang dapat dipaparkan, semoga mendapat sokongan dari berbagai kalangan dan terima kasih atas perhatian dan sokongan yang telah diberikan.
Makalah disampaikan dalam Forum Pertemuan pimpinan PTAIN dan PTN tentang Pengembangan Program Studi Ekonomi Syariah di Kantor Field Representative IDB, Jakarta, 17 Pebruari 2011
