• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGHINDARI GESEKAN SOSIAL

Saya kemarin, 11/02/2011, diundang oleh SBOTV dalam acara dialog tunggal untuk membahas tentang kekerasan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Acara ini merupakan respon televisi terhadap maraknya kekerasan atas nama agama yang sering terjadi akhir-akhir ini.  Harus diakui bahwa tensi kekerasan agama akhir-akhir ini cenderung meningkat.  Hal ini tentu ada masalah yang dianggap krusial terutama menyangkut persoalan teologis atau sosiologis.

Yang menarik bahwa  di dalam acara dialog ini ternyata respon masyarakat sangat tinggi. Setahu saya, selama saya menjadi narasumber di dalam acara dialog di televisi, maka acara kemarin yang paling memantik pertanyaan dari audiens. Mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah ini sudah menjadi milik publik, baik yang pro maupun kontra, sehingga atensi terhadap masalah ini menjadi sangat mengedepan.

Ada dua kubu yang memang sangat bertentangan secara antagonistik. Yaitu, mereka yang mengatasnamakan kebebasan agama untuk menjustifikasi bahwa setiap agama berhak hidup di negara dan bangsa manapun, sehingga agama-agama minoritas seperti keyakinan Ahmadiyah pun berhak untuk memiliki hak hidup sebagaimana yang lain. Di antara pertanyaan yang muncul adalah mempertanyakan tentang kewenangan MUI untuk menyesatkan terhadap penganut agama tertentu. Bahkan juga ingin agar MUI dibubarkan,  sebab menjadi penyebab keruwetan relasi antar umat beragama.

Kemudian kutub lainnya adalah yang menginginkan agar Ahmadiyah segera dibubarkan. Baginya Ahmadiyah adalah kelompok sesat , sebab sudah beranggapan dan berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi setelah tertutupnya pintu kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Berdasarkan literature yang dibacanya memang  Ahmadiyah dianggap sebagai sesat yang disebabkan oleh keyakinannya tersebut.

Dua kutub ekstrim inilah yang sekarang sedang “bertempur” untuk menyuguhkan argumentasi tentang pandangannya. Jika kelompok pengikut “kebebasan” lebih banyak barwacana dan menggunakan saluran-saluran resmi untuk kepentingan memperjuangkan aspirasinya, misalnya melalui Yudisial Review terhadap  PNPS, No 1 tahun 1965, tentang Penodaan Agama, meskipun akhirnya kalah di Mahkamah Konstitusi (MK), akan tetapi wacana tentang hal itu selalu dikumandangkan.

Di sisi lain, yang mendorong agar Ahmadiyah dibubarkan, lebih banyak menggunakan kekerasan. Mereka ingin menyelesaikan masalah dengan gerakan kekerasan, sebagaimana yang terjadi di Pandeglang dan  Temanggung akhir-akhir ini. Kekerasan itu tentu dimaksudkan agar menjadi pressure bagi pemerintah di dalam kerangka untuk mencabut  dan membubarkan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan.  Kelompok ini bahkan juga menggunakan berbagai cara untuk memenuhi ambisinya. Hanya sayangnya, bahwa kekerasan itu kemudian terbukti mencederai kemanusiaan, sebab kemudian ada yang terbunuh di dalam kasus kekerasan agama tersebut.

Dua kutub ekstrim ini memang tidak akan bisa bertemu. Kelompok pertama menggunakan HAM sebagai tameng untuk menguatkan argumentasinya, sementara itu kelompok lainnya menggunakan dalil penodaan agama yang dianggap sebagai sesuatu yang berlaku secara mutlak. Siapapun yang melakukan penodaan agama, maka sah untuk dibunuh dan dirusak. Mereka menafsirkan ajaran agama sebagaimana  yang  dipahaminya.

Memang, haruslah dipahami oleh semua pihak bahwa penodaan agama tentu sesuatu yang harus dihindari. Penodaan agama akan menyebabkan kemarahan penganutnya. Sebab ketika terjadi penodaan agama, maka dapat dipastikan akan terjadi gesekan sosial yang sangat keras bahkan konflik berkepanjangan.  Ahmadiyah Qadian yang di Indonesia menjadi Jamaah Ahmadiyah Indonesia, tentu harus menyadari hal ini, bahwa menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw adalah penodaan terhadap keyakinan umat Islam secara umum. Maka jika masih menggunakan terminologi  teologi seperti ini, maka bisa dipastikan bahwa gesekan sosial akan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.  Tentu lain, sebagaimana Ahmadiyah Lahore yang di Indonesia disebut sebagai Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, maka Mirza Ghulam Ahmad disebut sebagai Imam atau mujaddid yang memang sabagaimana dijanjikan Allah akan ada setiap satu abad sekali.

Oleh karena itu, yang seharusnya menjadi pemikiran adalah bagaimana membuat pemetaan secara tegas di antara dua hal itu. Jika mau dinyatakan sebagai ajaran terlarang dan organisasi terlarang, maka juga harus dikaji secara mendalam. Agar jangan sampai salah memberikan justifikasi tentang sesuatu hal. Jika memang ada kesalahan teologis yang berakibat penistaan agama, maka itulah yang harus divonis sebagai suatu kesalahan dan mekanisme aturan perundang-undangan yang menjadi penentunya. Akan tetapi bagi yang tidak memiliki kesalahan teologis, maka tentu tidak layak untuk diperangi, diserang atau sekedar dilarang dan tidak diberi hak hidup.

Di dalam kerangka ini, maka main hakim sendiri tentu bukan menjadi solusi yang memadai. Jika ada anggapan bahwa pemerintah lambat di dalam mengantisipasi kekerasan yang disebabkan ketidaksegaraan untuk melarang Ahmadiyah, maka sesungguhnya bahwa pemerintah itu memberi kesempatan kepada Jamaah Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran agama yang benar.  Untuk mengubah keyakinan bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi melalui proses yang mendasar.

Semestinya yang dilakukan oleh para pemegang otoritas kebenaran adalah membimbing mereka kepada jalan yang benar.  Islam mengajarkan agar melakukan dakwah hendaknya dengan hikmah atau kebajikan dan kebijakan, dengan kepenasehatan yang baik dan kemudian dengan dialog berkesetaraan.  Jika kemudian tidak bisa dilakukannya, maka Islam juga tidak menghendaki pencabutan nyawa orang lain.

Kita sungguh tidak berharap bahwa akan terjadi siklus kekerasan, sebab ketika kekerasan dilakukan maka yang akan terjadi adalah kekerasan baru, dan itu berarti bahwa akan terjadi “kebencian tersembunyi” yang akan hidup selamanya.

Dengan demikian, sesungguhnya yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah kearifan di dalam memutuskan sesuatu, sehingga  setiap keputusan yang dihasilkan akan membawa berkah dan rahmah bagi kehidupan kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini