PROBLEM DAN SOLUSI AHMADIYAH DI JAWA TIMUR
Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam dibawa Rasulullah Muhammad saw. kepada manusia dengan misi untuk menyelamatkan kehidupan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Islam dilengkapi dengan doktrin teologis yang menjadi standar keyakinan bagi pemeluknya. Islam juga memiliki aturan tentang sistem perilaku sosial antara sesama manusia dan lingkungannya yang biasa disebut dengan fikih. Islam juga memiliki sistem etika yang menjelaskan persoalan norma etis interaksi antar manusia, lingkungan dan Tuhan.
Pasca mangkatnya Muhammad saw, umat Islam kemudian dihadapkan pada problem dimana sosok yang menjadi tempat bertanya, berguru dan berislam telah wafat, sedang di satu sisi problematika kehidupan terus berkembang dan memerlukan solusi. Tema ketauhidan dan politik kenegaraan (khilafah) kemudian muncul ke permukaan menjadi bahan perdebatan. Muncullah beberapa kelompok atau sekte dalam Islam yang berupaya memberikan penjelasan tentang persoalan doktrinal dan khilafah tersebut. Lahirlah kelompok seperti Jabariyah, Qodariyah, Murjiah, Syiah Muktazilah, Khawarij serta sekte-sekte lain yang kemudian mengisi khazanah peradaban Islam klasik.
Ahmadiyah adalah salah satu sekte atau aliran yang lahir melalui seorang tokoh bernama Mirza Ghulam Ahmad (MGA) di Qadiyan. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terpecah dalam dua kelompok yaitu Qadiyan dan Lahore. Meskipun begitu, Ahmadiyah mampu menyebar ke berbagai belahan dunia dan salah satunya adalah Indonesia.
Di beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura, perkembangan Ahmadiyah mengalami rintangan yang tidak mudah. Hal ini terbukti dengan dilarangnya Ahmadiyah untuk ada dan berkembang di dua negara tersebut. Berbeda dengan keduanya, di Indonesia Ahmadiyah mampu bertahan dan terus menjalankan aktifitasnya walaupun sering juga terjadi rintangan. Perbedaannya, jika di beberapa negara lain Ahmadiyah dilarang oleh institusi negara, tapi di Indonesia Ahmadiyah tidak secara tegas dilarang. Rintangan dan gangguan terhadap aktifitas warga Ahmadiyah bukan dilakukan oleh negara, namun dilakukan oleh masyarakat sekitarnya. Di Indonesia Ahmadiyah tidak berhadapan secara vis a vis dengan negara, namun berhadapan dengan masyarakat secara horisontal. Bentrokan antara warga Ahmadiyah dengan masyarakat di beberapa tempat menjadi bukti bahwa eksistensi kelompok ini masih dianggap bermasalah oleh sebagian kalangan.
Permasalahan
Sebagai negara hukum, Indonesia mewajibkan seluruh warga negaranya untuk memeluk sebuah agama atau kepercayaan yang sesuai dengan kayakinannya masing-masing. Konsekwensinya, negara juga harus menjamin kebebasan dan kemerdekaan warganya untuk memilih satu agama atau kepercayaan tertentu.
Pada konteks inilah kemudian muncul problem mendasar bagi keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Satu sisi negara tidak dibenarkan secara yuridis untuk memberikan predikat “absah” atau “tidak absah” bagi ajaran Ahmadiyah. Namun di sisi lain terdapat potensi konflik horizontal antara Ahmadiyah dengan kelompok muslim lain yang menganggap ajaran Ahmadiyah menyimpang dari doktrin keyakinan Islam secara umum.
Di Jawa Timur, relasi antara warga Ahmadiyah dengan komunitas Islam lain relatif damai tanpa terjadi konflik fisik yang berarti. Interaksi antara Ahmadiyah dengan komunitas muslim lain saling bisa berkolaborasi dalam posisi sebagai masyarakat Jawa Timur. Kondisi ini menarik bila dibandingkan dengan apa yang dialami Ahmadiyah di kawasan lain di luar Jawa Timur. Artinya, masyarakat Jawa Timur memiliki sistem pemahaman dan adaptasi lebih dewasa sebagai satu bangsa. Walaupun begitu, potensi disintegrasi tetap ada dan berpeluang besar memicu konflik yang berkepanjangan. Maka kajian secara mendalam tentang problem dan solusi fenomena Ahmadiyah di Jawa Timur perlu dilakukan untuk memberikan kontribusi pemecahan masalah kerukunan antar umat beragama.
FAKTA LAPANGAN
Sejarah Ajaran Ahmadiyah
Warga Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (MGA) (1835-1908 M) pada tahun 1889 (menurut kelompok Qadiyan) atau tahun 1888 (menurut kelompok Lahore). Dalam pemikirannya, Ahmadiyah bukanlah suatu agama di luar Islam, namun merupakan bagian dari Islam. Warga Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat “laa ilaha illallah, Muhammad al-rasulullah“. Warga Ahmadiyah bersaksi bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah. Syahadat Ahmadiyah dapat dikatakan sama dengan syahadat tiap muslim pada umumnya.
Warga Ahmadiyah menjunjung tinggi kitab suci Al-Quran sebagai Kitab Syariat terakhir yang paling sempurna hingga kiamat. Warga Ahmadiyah menjunjung tinggi Rasulullah Muhammad saw. sebagai khatam al-nabiyyin yang merupakan penghulu dari sekalian nabi dan rasul yang paling mulia. Beliau adalah nabi pembawa syariat terakhir, sehingga disebut sebagai penutup pintu kenabian tasyri’i. Tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru sesudah Rasulullah saw. Pengagungan pada Muhammad ini dicerminkan dengan pemilihan nama Ahmadiyah yang berasal dari nama nama Rasulullah saw., “ahmad” (yang terpuji), yakni yang menggambarkan suatu keindahan dan kelembutan.
Tujuan Warga Ahmadiyah adalah yuhyi al-din wayuqim al-syariah (menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat Qur’aniah). Dalam arti yang lebih mendalam adalah untuk menghimbau ummat manusia kepada Allah dengan memperkenalkan mereka sosok sejati Rasulullah saw., dan menciptakan perdamaian serta persatuan antar berbagai kalangan manusia. Ahmadiyah berusaha menghapuskan segala kendala yang timbul karena perbedaan ras dan warna kulit sehingga umat manusia dapat bersatu dan mengupayakan perdamaian semesta. Dalam konsep MGA, ini disebut dengan al-din al muwahhid (agama yang menyatu).
Jamaah Ahmadiyah percaya bahwa semua agama besar pada awalnya mempunyai landasan kebenaran dan masih mengajarkan nilai-nilai keindahan. Dengan begitu, Ahmadiyah menolak sikap yang menyatakan bahwa tidak ada agama selain agamanya sendiri yang mengandung suatu kebenaran atau nilai keindahan. Kendatipun demikian, Ahmadiyah menganggap bahwa menyebarkan Islam dengan bentuknya yang utuh dan sempurna guna membimbing umat manusia mencapai hubungan kedekatan dengan Allah adalah sebuah kewajiban.
Menjunjung tinggi kebebasan suara hati lebih dari segala kemerdekaan dan sebagai hak-hidup setiap makhluk manusia, memandang tidak ada dosa yang begitu keji seperti tindakan paksa atau kekerasan dalam urusan agama, dan keharaman untuk berperang atau memerangi pemerintah atau bangsa yang memberi kemerdekaan penuh kepada penyuaraan kata hati dan agama orang-orang yang menghuni jamaah Ahmadiyah adalah bagian penting dari sikap keberagamaan Ahmadiyah. Mereka juga memandang bahwa sebagian orang Islam yang mensahkan perang disebabkan perbedaan dalam urusan agama adalah sebagai kesalahan besar dalam memegang akidah yang sama-sekali tidak sesuai dengan jiwa agama Islam yang hakiki ini.
Ahmadiyah menganggap sebagai kewajiban agama yang pokok untuk mentaati sepenuhnya undang-undang dan peraturan pemerintah yang mendapat mandat dari rakyatnya dan menolak pemberontakan serta pembangkangan terhadap pemerintah yang berkuasa karena tidak sesuai dengan tuntunan Islam.
Warga Ahmadiyah percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan-Nya kepada umat manusia melalui semua agama besar mengenai turunnya seorang nabi di akhir zaman telah menjadi kenyataan di dalam diri Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Warga Ahmadiyah. Beliau adalah Almasih yang ditunggu-tunggu oleh umat Kristen; Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam; dan Krishna yang dinanti-nantikan oleh umat Hindu. (Dikutip dari: Akidah Dan Tujuan Warga Ahmadiyah; Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari 1894-1994, Warga Ahmadiyah Indonesia, 1994, h.46-47).
Latar Belakang Keluarga Mirza Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam Ahmad berasal dari suatu rumpun keluarga yang merupakan pendatang dari Samarqand, sebuah kota di Asia Tengah. Nenek-moyang beliau hijrah dari Samarqand menuju Punjab, India pada awal abad XVI, di masa kekuasaan Dinasti Moghul. Mereka memohon untuk dapat berkhidmat kepada dinasti tersebut dan mendapat kepercayaan di kawasan Punjab.
Beliau adalah keturunan dari Haji Barlas, yang merupakan paman Amir Timur. Timur berasal dari suku Barlas yang terkenal dan yang menguasai kawasan Kish selama 200 tahun. Kawasan ini pada zaman dahulu dikenal dengan nama Sogdiana, yangmana ibukotanya adalah Samarkand. Mereka adalah suku yang berakar dari Persia. Kata Samarkand itu sendiri berasal dari bahasa Parsi dan begitu juga dengan “barlas” yang berarti pemuda gagah berani dari kalangan terhormat. Mirza Hadi Beg memimpin hijrah dari Samarkand menuju Punjab, India, dengan membawa rombongan sekitar 200 orang. Mereka membangun sebuah perkampungan yang tidak begitu jauh dari sungai Bias, dan menamakannya Islampur. Dinasti Moghul memberikan kepada beliau kawasan yang mencakup ratusan perkampungan dan beliau ditunjuk sebagai Qadi (hakim) di tempat itu. Hal ini menjadikan kampung kediaman beliau itu dikenal dengan nama Islampur Qadi. Akhirnya nama ini tinggal Qazi dan lebih dikenal dengan sebutan Qadi yang kemudian menjadi Qadiyan. (Lihat: Life of Ahmad, A.R.Dard, Tabshir Publication, 1948,vol.1,h.7-8)
Kelahiran, Pendidikan dan Awal Perjuangan Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan kembar di Qadiyan pada tahun 1835 saat subuh pada hari Jumat tanggal 13 Februari bertepatan hari ke-14 bulan Syawwal 1250 H. Saudara kembar beliau (perempuan) wafat beberapa hari setelah lahir. (Lihat: Life of Ahmad, A.R.Dard, Tabshir Publication, 1948,vol.1,h.27). Semenjak kecil beliau tidak pernah belajar di sekolah (madrasah) ataupun suatu institusi pendidikan formal. Pada usia sekitar 7 tahun (sekitar 1841 M) beliau dididik oleh seorang guru privat yang bernama Fazl Ilahi. Ia seorang penduduk Qadiyan dan penganut fiqh madzhab Hanafiah. Ia mengajarkan al-Quran dan beberapa dasar buku pelajaran bahasa Parsi. Pada usia 10 tahun Mirza Ghulam Ahmad dididik oleh guru privat bernama Fazl Muhammad. Ia berasal dari Feroze-wala, Gujran-wala, dan dari kelompok ulama muhadditsin. Ia mengajarkan dasar-dasar tata-bahasa Arab. Pada usia 17 atau 18 tahun beliau dididik oleh seorang guru Shiah, bernama Gul Ali Shah. Guru ini mengajarkan lebih lanjut tata-bahasa Arab dan juga mantik (logika). Selain itu ayah beliau adalah seorang tabib yang mahir, sehingga Mirza Ghulam Ahmad juga memperoleh pendidikan dalam bidang ilmu ketabiban ini. Mirza Ghulam Ahmad mempunyai kecenderungan banyak menelaah buku-buku, terutama dari perpustakaan keluarga yang masih terpelihara sejak turun-temurun. (Lihat: Sirrul-Khilafa, Mirza Ghulam Ahmad, Amritsar,1894,h.7; Life ofAhmad, A.R.Dard, Tabshir Publication, 1948,vol.1,h.29; Prophecy Continuous, Yohanan Friedmann, University of California Press, 1989,h.3)
Tahun 1875 M, Ghulam Ahmad merasakan kesedihan mendalam ketika menyaksikan serangan pemeluk agama lain yaitu Hindu, Sikh dan Kristen terhadap Islam. Kesedihan tersebut diwujudkan dengan melakukan disiplin asketis yang mendalam dalam waktu 6 (enam) bulan dengan menjalankan ibadah berupa puasa tanpa berhenti, berdoa, kontemplasi dan shalat malam tiap hari. Warisan dari ayahnya yang mangkat tahun 1876 tidak dihiraukan, namun ia lebih banyak menuliskan pemikiran melalui berbagai artikel yang kemudian pada tahun 1880 M diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Barahin Ahmadiyah. Buku ini memuat pemikiran Ghulam Ahmad yang berupaya menjelaskan al-Quran dan Hadits yang disesuaikan dengan konteks masyarakat saat itu, terutama untuk menangkis serangan-serangan dari umat beragama di luar Islam. Buku ini juga memuat klaim kebenaran konsep Ghulam Ahmad bahwa dirinya adalah mujaddid yang menerima pesan ilahiyah dari Allah untuk membimbing umat manusia. Masyarakat muslim bergembira dengan terbitnya buku tersebut, sehingga pada tahun 1883 M muncul permintaan dari berbagai kalangan untuk membaiatkan diri sebagai pengikut Ghulam Ahmad. Namun Ghulam Ahmad menolaknya dengan alasan belum mendapatkan ilham atau perijinan dari Allah. Baru pada tahun 1888 M Ghulam Ahmad menyatakan bahwa Allah telah mengijinkan dirinya untuk melakukan pembaiatan, sehingga pada hari ke-23 bulan Maret 1889 M dilakukanlah pembaiatan kepada 40 orang pengikut pertamanya di rumah Mia Ahman Jaan di Ludhiana, India.[1]
Doktrin Teologis Ahmadiyah
Doktrin teologis Ahmadiyah secara spesifik berkaitan dengan beberapa hal yaitu persoalan al-Mahdi dan al-Masih, mujaddid, kenabian, wahyu, khilafah dan jihad. Dalam persoalan al-Masih, Ahmadiyah memahaminya secara majazi (kiasan), artinya al-Masih yang dijanjikan bukanlah Isa Ibnu Maryam, namun Mirza Ghulam Ahmad sesuai dengan redaksi hadits “imamukum minkum”.[2] Argumen rasional doktrin ini juga menanyakan jika seandainya Isa as. turun kembali maka itu akan membuka kembali segel kenabian yang telah ditutup oleh kehadiran Muhammad Rasulullah. Maka tidak mungkin Isa as akan turun kembali secara fisik. Argumentasi ini juga dikuatkan dengan firman Allah dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 157-158. Kata “ma shollabuhu” menurut Ahmadiyah adalah benar Isa as disalib, namun menyangkal kematian Isa as di tiang salib. Ahmadiyah meyakini bahwa kalimat “syubbiha lahum” dengan ditampakkan seolah-olah seperti Isa as. Jadi “syubbiha” dalam pandangan Ahmadiyah berarti dua macam yaitu diserupakan atau dibuat seolah-olah seperti aslinya. Mengenai keyakinan bahwa Isa as telah wafat, Ahmadiyah menyandarkan keyakinannya pada al-Quran surat al-Maidah ayat 117. Bagi kelompok Qadiyan, Mirza Ghulam Ahmad bertugas sebagai al-Masih sekaligus al-Mahdi sedangkan bagi kelompok Lahore Mirza Ghulam Ahmad hanya menjalankan tugas sebagai al-Mahdi.
Kabar yang disampaikan Isa as sendiri sebagaimana termaktub dalam al-Quran dalam surat Shaf ayat 6, dipahami berbeda oleh kelompok Qadiyan dan Lahore. Rasul penerus Isa as dalam ayat tersebut diredaksikan dengan kalimat “Ahmad”. Menurut kelompok Qadiyan, ayat ini menunjukkan keabsahan posisi Ghuam Ahmad sebagai penerus kenabian dan kerasulan setelah Muhammad saw karena namanya Ghulam “Ahmad”. Ini menunjukkan bahwa benarlah bahwa Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul. Menurut pendapat kelompok Lahore, keterangan kalimat “Ahmad” dalam ayat tersebut bukan berarti bahwa rasul setelah Isa as bernama Ahmad karena itu adalah bahasa majazi. Yang dimaksud dengan “Ahmad” di ayat tersebut menurut kelompok Lahore adalah Muhammad saw itu sendiri.[3]
Tugas Mirza Ghulam Ahmad juga sebagai mujaddid yang disandarkan pada al-Quran surat al-Nur ayat 55 dan dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Dawud dari Sulaiman ibnu Dawud al-Hury dari Abi wahab dari Said ibnu Ayyub dari Sarahil ibnu Yazid al-Muafiri dari Abi Alqamah dari Abu Hurairah : apa yang aku ketahui berasal dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “sesungguhnya Allah mengutus (membangkitkan) untuk umat Islam pada permulaan abad pada setiap seratus tahun seseorang yang akan memperbarui agamanya”.[4]
Dasar tafsir atas ajaran Ghulam Ahmad ini, menjadikan dua kelompok dalam Ahmadiyah, yaitu aliran Qadiyan dan Lahore memiliki pendapat berbeda dalam memahami figur Ghulam Ahmad. Keduanya menganggap Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Namun keduanya juga memiliki perbedaan doktrin alirannya masing-masing. Ahmadiyah Qadiyan, di Indonesia dikenal dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor, mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid disamping juga seorang nabi dan rasul yang tidak membawa syariat baru.
Kelompok Qadiyan memiliki tiga klasifikasi tentang masalah nubuwwah ini, yaitu:
- Nabi Shahib al-Syariah wa Mustaqil. Nabi shahib al-syariah adalah nabi yang membawa risalat kenabian beserta syariat untuk umat manusia secara umum, sedangkan nabi mustaqil adalah nabi yang membawa aturan syariah yang tidak disamakan dengan nabi generasi sebelumnya. Contoh nabi dalam kelompok ini adalah seperti Musa as dan Muhammad saw;
- Nabi Mustaqil Ghairu al-Tasyri, yaitu nabi yang menerimawahyu dari Tuhan, namun tidak membawa syariat baru. Nabi golongan ini hanya bertugas meneruskan syariat yang telah disampaikan oleh nabi sebelumnya. Contoh nabi di kelompok ini adalah seperti nabi Harun as, Daud as, Sulaiman as, Yahya, as, Zakaria as, dan Isa as;
- Nabi Zhilli Ghair al-Tasyri, yaitu nabi yang mendapat anugerah dari Tuhan semata-mata karena mematuhi nabi sebelumnya dan juga mematuhi syariatnya. Ia juga tidak mendapatkan mandate berupa syariat baru, akan tetapi ia hanya meneruskan syariat sebelumnya. Nabi seperti kategori ini hanya muncul dari umat Muhammad saw, bukan dari kelompok sebelumnya. Ghulam Ahmad diklaim oleh kelompok Qadiyan sebagai nabi dalamkategori Zhilli Ghair al-Tasyri’.[5]
Meskipun termasuk dalam kategori Nabi Zhilli Ghair al-Tasyri’, Ghulam Ahmad dalam pandangan kelompok Qadiyan tetap dapat berhubungan dengan pembawa wahyu Tuhan kepada manusia, yaitu Jibril. Ghulam Ahmad dapat berinteraksi dengan Jibril sebagaimana rasul dan nabi sebelumnya juga berinteraksi dengannya.[6]
Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta. Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. Hal ini didasarkan pada penafsiran dan pengklasifikasian kelompok Lahore terhadap konsep nabi itu sendiri.
Kelompok Lahore mebuat dua klasifikasi nubuwah, yaitu:
- Nabi Haqiqi, yaitu nabi yang membawa syariat dari Tuhan untuk manusia melalui proses pewahyuan;
- Nabi Lughawi, yaitu nabi yang tidak menerima syariat dari Tuhan, namun memiliki kesamaan kualitas personal dengan nabi Haqiqi. Kesamaan kualitas personal tersebut dibuktikan dengan kemampuanya menerima “wahyu”, hanya saja “wahyu” yang dimaksud bukan mengandung tasyri’ walaupun juga mengandung pengetahuan atau pengajaran tentang hal yang gaib.
Menurut kelompok Lahore, Ghulam Ahmad menempati posisi sebagai Nabi Lughawi, dan wahyu yang diterimanya lebih merupakan “wahyu walayah” yang berfungsi untuk menyegarkan keimanan umat manusia, bukan menggantinya dengan doktrin teologi baru.[7]
Beberapa doktrin Ahmadiyah Lahore sebagaimana berikut:
- Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits, serta percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir.
- Nabi Muhammad saw. adalah khatam al-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
- Sesudah Nabi Muhammad saw. malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
- Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
- Sesudah Nabi Muhammad saw. silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
- Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
- Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H, bukan nabi. Dan menurut Hadits, mujaddid akan tetap ada.
- Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
- Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
- Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad saw.
Selain doktrin tersebut, Ghulam Ahmad juga memiliki konsep tentang jihad. Oleh sebagian kelompok diluar Ahmadiyah, Ghulam Ahmad juga dikategorikan sebagai orang yang “anti jihad” dalam arti formal, yaitu peperangan. Berkaitan dengan itu, Ghulam Ahmad menyampaikan 3 (tiga) klasifikasi jihad bagi seorang muslim, yaitu:
- Jihad Asghar (jihad terkecil), yaitu jihad yang berarti “qital” (peperangan). Ghulam Ahmad berpendapat bahwa peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat menyebarkan Islam bukan untuk melakukan perlawanan secara aktif, namun peperangan tersebut dilakukan secara pasif karena adanya ancaman dari luar Islam. Jika tidak ada ancaman dari luar Islam, maka seharusnya peperangan dalam kategori jihad asghar tidak perlu dilakukan. Hal ini disandarkan pada argumentasi bahwa Islam melarang penyebaran agama dengan cara kekerasan (QS. Al-Baqarah: 256), Islam menjunjung tinggi kebebasan beragama (QS. Yunus: 99) dan (QS. al-Kafirun: 6), Islam menyukai perdamaian daripada peperangan (QS. al-Anfal: 61-62), dan Islam juga tidak menyukai tindakan melampaui batas walaupun dalam keadaan peperangan (QS. al-Baqarah: 190). Selain itu, konsep jihad asghar ini juga didasarkan pada sebuah keterangan hadits[8] nabi setelah pulang dari peperangan yang menyatakan bahwa perang yang barusan dijalani masih kalah hebatnya dibanding perang melawan hawa nafsu;
- Jihad Kabir (Jihad Besar), yaitu perjuangan seorang muslim untuk menyebarkan atau mendakwahkan Islam kepada orang selain Islam dengan semangat kebenaran dan kebaikan. Jihad kategori ini disandarkan pada firman Tuhan dalam surat al-Alaq ayat 1-5;
- Jihad Akbar (Jihad Terbesar), yaitu bersungguh-sungguh untuk memerangi hawa nafsu yang ada dalam diri yang senantiasa menggoda dan menyesatkan manusia. Sasaran jihad dalam kategori ini dalam pandangan Ghulam Ahmad adalah nafsu yang bersifat abstrak berupa dorongan-dorongan dalam hati, akal dan jiwa manusia untuk selalu menyesatkan dan menjauhkan diri dari Allah.[9]
Ghulam Ahmad tidak memungkiri adanya jihad dalam versi perang (al-qital), namun jihad seperti ini tidak begitu dianjurkan dan berimplikasi pahala yang lebih sedikit dibanding jihad kabir dan jihad akbar. Dengan orientasinya tersebut, Ghulam Ahmad lebih memilih untuk melakukan gerakan dakwah yang santun dan baik pada kelompok di luar Ahmadiyah. Kesantunan Ghulam Ahmad ini tidak hanya ditunjukkan pada kelompok muslim semata-mata, namun juga kepada kelompok di luar muslim. Bahkan Ghulam Ahmad menganjurkan untuk menghentikan perlawanan atau pemberontakan Inggris yang waktu itu masih menjajah India. Menurutnya, perlawanan rakyat India terhadap penjajah Inggris tidak begitu tepat dalam konsep jihadnya karena yang lebih penting adalah memerangi nafsu dalam diri sendiri. Selain itu, Ghulam Ahmad juga mengklaim bahwa penjajah Inggris telah melaksanakan fungsi pemerintahan sebagaimana yang telah “diisyaratkan” Tuhan kepadanya sebagai seorang nabi Zhilli. Namun, sikapnya inilah yang kemudian membawa cap bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang pemberontak bagi bangsanya sendiri dengan tidak menganjurkan perlawanan terhadap Inggris sebagai penjajah.
Ahmadiyah Indonesia
Warga Ahmadiyah kali pertama masuk di Indonesia pada tahun 1925, diundang oleh Persatuan Mahasiswa Jawa Sumatra di India ketika itu, yang akhirnya Maulana Rahmat Ali HAOT merupakan muballigh pertama yang diutus ke Indonesia oleh Hadhrat al-Hajj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad rh., khalifah Ahmadiyah ketika itu. Warga Ahmadiyah berperan aktif dalam proses pendirian NKRI dan salah seorang anggotanya, Sayyid Shah Muhammad adalah Ketua Panitia Pemulihan Pemerintahan RI. Beliau mendapat bintang jasa kehormatan dari pemerintah Republik Indonesia atas jasa-jasanya.
Warga Ahmadiyah Indonesia dikukuhkan sebagai organisasi dengan Badan Hukum sesuai bunyi Lembaran Berita Negara no. 26 tahun 1953 dengan penetapan Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 tanggal 13 Maret 1953.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Warga Ahmadiyah mengirimkan ribuan da’i ke seluruh penjuru dunia, membangun ribuan masjid di berbagai penjuru dunia diantaranya Masjid Baitul Futuh, Morden London UK yang merupakan mesjid terbesar di Eropa Barat. Selain itu, mereka juga menerjamahkan al-Qur’an kedalam 100 bahasa di dunia sehingga seluruh bangsa dapat mempelajari secara langsung Kitab Suci tersebut. Mendirikan stasiun televisi Moslem Televission Ahmadiyah MTA Internasional (MTA 1; MTA 2 dan MTA 3 Al Arabiyya) yang dipancarkan ke seluruh penjuru dunia 24 jam nonstop menggunakan tujuh buah satelit. Melaksanakan bakti kemanusiaan melalui Humanity First tanpa memandang ras, agama, keyakinan maupun bangsa, termasuk membantu menanggulangi Tsunami di Aceh.
Jamaah Ahmadiyah Internasional dipimpin oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V yang saat ini berkedudukan di London, Inggris. Dalam rangkaian muhibah pimpinan tertinggi Jamaah Ahmadiyah Internasional, tanggal 17-19 April 2008 Khalifah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad menghadiri pertemuan tahunan Ahmadiyah Ghana yang dihadiri oleh Presiden Ghana, Ageyaku Kufour, dan wakil Presiden, Alhaj Aliu Mahama dan pajabat-pejabat Negara lainnya. Warga Ahmadiyah perpegang teguh kepada mottonya, “love for all hatred for none” (Cinta kepada semua orang dan tiada kebencian kepada siapapun).
Misi Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925 bukan karena disebarkan, namun disebabkan sikap keingintahuan beberapa pemuda Indonesia yang berasal dari pesantren/madrasah Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat, Ahmadiyah mulai dipelajari oleh masyarakat Indonesia. Thawalib yang beraliran modern, berbeda dengan institusi-institusi Islam ortodoks pada masa itu. Misalnya, para santrinya tidak hanya mendalami bahasa Arab maupun Arab Melayu tetapi juga sudah diperkenankan membaca tulisan Latin.
Beberapa santrinya membaca di dalam sebuah surat-kabar tentang orang Inggris yang masuk Islam di London melalui seorang da’i Islam berasal dari India, Khwaja Kamaluddin. Hal ini sangat menarik perhatian mereka. Dan inilah yang mendorong beberapa santri tersebut untuk mencari tokoh itu. Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin adalah tiga orang santri Thawalib yang berangkat untuk tujuan tersebut. Mereka sampai di Lahore yang pada masa itu masih menjadi bagian dari India pada tahun 1923 masuk wilayah Pakistan.
Dari Lahore mereka lebih dalam masuk ke Qadiyan dan berdialog dengan pimpinan Warga Ahmadiyah pada saat itu, Khalifatul Masih II ra. Dan akhirnya mereka bai’at dan belajar di Qadiyan mendalami Ahmadiyah. Atas permohonan mereka kepada Khalifatul Masih II, maka dikirimlah utusan pertama Warga Ahmadiyah ke Indonesia pada tahun 1925, yaitu Rahmat Ali ra..
Kali pertama Rahmat Ali masuk dari Aceh ke Tapaktuan, lalu tahun 1926 ia menuju Padang, dan tahun 1929 Warga Ahmadiyah sudah berdiri di Padang. Pada tahun 1930 ia menuju Batavia, dan tahun 1932 Warga Ahmadiyah telah berdiri di Batavia. Mulai saat inilah kemudian Jamaah Ahmadiyah banyak berdiri di Jawa Barat dan berbagai kawasan lainnya. Saat ini Warga Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan memiliki 181 warga lokal (cabang) di seluruh provinsi di Indonesia. Pusat Warga Ahmadiyah Qadiyan di Indonesia sejak tahun 1935 berada di Jakarta, dan pada tahun 1987 pindah ke Parung, Bogor.
Berbeda dengan kelompok Qadiyan, kelompok Lahore datang di Yogyakarta tahun 1924 dengan kedatangan dua muballigh bernama Maulana Ahmad dan mirza Wali Ahmad Baig atas undangan pelajar Indonesia yang pernah belajar di Lahore. Dua muballigh Ahmadiyah Lahore ini kemudian banyak menjalin diskusi dengan aktifis Muhammadiyah sehingga gerakan Ahmadiyah Lahore beriringan dengan perkembangan Muhammadiyah. Namun, pada tahun 1927 Muhammadiyah mulai menjaga jarak dengan Ahmadiyah Lahore setelah kedatangan ulama India bernama Abdul Alim Shidiqi yang menjelaskan penyimpangan ajaran Ahmadiyah Lahore.
Perkembangan Ahmadiyah Qadiyan di Sumatera Barat dan ahmadiyah Lahore di Jawa, khususnya di Yogyakarta memiliki perbedaan mendasar. Jika Ahmadiyah Qadiyan di Sumatera Barat disebarkan secara penuh oleh mantan murid-murid Ahmadi yang pernah mengenyam pendidikan di Qadiyan dan direaksi dengan keras oleh ulama di Sumatera Barat, Ahmadiyah Lahore di Yogyakarta pada awalnya mendapat sambutan positif dari ulama yang aktif di organisasi sosial keagamaan terutama Muhammadiyah.
Di Jawa Timur, Jamaah Ahmadiyah tersebar di 10 kabupaten dan kota, di antaranya di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kediri, dan Jember serta Banyuwangi. Sebaran di masing-masing daerah sekitar 200 sampai 300 orang. Paling banyak di Surabaya dengan lebih 300 jamaah yang memusatkan aktifitasnya di Masjid Al-Nur, Jalan Bubutan I Nomor 2.
Jamaah Ahmadiyah di Surabaya relatif tidak mengalami nasib seperti jamaah Ahmadiyah di tempat lain dalam arti sampai terlibat dalam bentrokan fisik. Walaupun dalam beberapa kesempatan, ada gerakan-gerakan untuk menuntut pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah. Fron Pembela Islam (FPI) yang Gerakan Umat Islam bersatu (GUIB) pada Agustus 2010 pernah melakukan aksi dengan menyerbu masjid Ahmadiyah di Bubutan dan merobohkan papan nama masjid tersebut.[10] Tuntunan kelompok Islam radikal ini juga senada dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim.[11] Fakta ini menunjukkan bahwa Ahmadiyah akan selalu berhadapan dengan kelompok Islam fundamentalis, Islam radikal atau Islam formal. Pertentangan ini berkaitan dengan pandangan bahwa ada perbedaan keyakinan antara Islam secara umum dengan doktrin tauhid Ahmadiyah.
Di sisi lain, ada juga kelompok yang membela Ahmadiyah, bukan sebagai sekte atau faham, namun dari sisi kesamaan hak sebagai manusia. Pembelaan tersebut diwujudkan dalam bentuk dialog antar umat beragama seperti yang dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jatim.[12] Bahkan salah satu organisasi underbow NU yaitu Ansor pernah menginstruksikan anggotanya untuk menjaga jamaah Ahmadiyah di Surabaya.[13]
ANALISIS PROBLEMATIK
Masalah Doktrinal
Pertentangan antara Ahmadiyah dengan umat Islam secara mayoritas adalah pada persoalan doktrin ajaran yang dikembangkan oleh Ahmadiyah. Doktrin Ahmadiyah yang terkait dengan persoalan nubuwwah Mirza Ghulam Ahmad dan pewahyuan, merupakan titik sentral yang dipermasalahkan oleh kalangan di luar Ahmadiyah, terutama oleh muslim Indonesia. Dua tema inilah yang menjadi episentrum tauhid Ahmadiyah yang membedakannya dengan kelompok Islam lain.
Terkait dengan ini, persoalan kepercayaan adalah persoalan internal dalam diri manusia. Keyakinan bersifat abstrak, personal, misterius, dan privat. Pembicaraan dan penentuan kebenaran sebuah keyakinan sangat bersifat subyektif karena tidak ada alat ukur yang jelas untuk melihat atau mengkaji keimanan seseorang. Sangat mungkin sebuah kebenaran tauhid dari satu manusia akan berbeda menurut manusia lain karena kebenaran tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana “kesadaran imanen” manusia tersebut menghayati dan memahami sistem tauhid yang dipelajarinya. Selain itu, kebenaran keyakinan memiliki hukum relatifitas ketika berhadapan dengan keyakinan keagamaan lain. Relatifitas tersebut muncul karena sifatnya yang sangat tergantung pada penghayatan subyek pemeluk agama itu sendiri, bukan faktor lain. Artinya, kebenaran sebuah keyakinan bersifat relatif tergantung standar kebenaran yang digunakan oleh masing-masing individu.
Dengan begitu, maka yang paling menentukan adalah faktor internal dalam sistem kesadaran dan pola pikir dari manusia itu sendiri yang akan menentukan momentum perubahan atau pengukuhan keyakinan atau keimanan. Faktor luar seperti aturan hukum dan tekanan sosial dapat mempengaruhi eksistensi keyakinan, namun dalam porsi yang sangat terbatas.
Terkait dengan problem perbedaan doktrin ini, yang layak dilakukan sebenarnya adalah melakukan dialog antara Ahmadiyah dengan kelompok lain, terutama organisasi keagamaan Islam. Tujuan dialog tersebut bukan untuk saling menyalahkan atau menjatuhkan doktrin Ahmadiyah atau sebaliknya, namun lebih pada tujuan untuk saling memahami bagaimana jamaah Ahmadiyah berkeyakinan. Ada perbedaan tegas antara “keyakinan” dengan “berkeyakinan”, dimana “keyakinan” adalah konsep-konsep baku dan bersifat dogmatis yang berisi penjelasan zat yang Supra-Rasional, sedangkan “berkeyakinan” adalah bagaimana seorang manusia menjalani usaha untuk memahami dan menghayati satu ajaran yang berisi penjelasan zat Supra-Rasional sesuai dengan minatnya. Dialog seperti ini akan bermuara pada pemahaman dan kemafhuman bagaimana sebenarnya warga Ahmadiyah itu “ber-Ahmadiyah”, dan juga akan muncul kemafhuman dari jamaah Ahmadiyah tentang bagaimana muslim Indonesia itu “ber-Islam”. Jadi yang difokuskan bukanlah doktrin, ajaran atau tauhidnya, namun manusia yang memahami ajaran tersebut.
Masalah Legalitas
Ahmadiyah di Indonesia sebagai sebuah organisasi telah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai sebuah Badan Hukum melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.A./5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tanggal 31 Maret 1953. Dengan surat negara tersebut, maka secara organisasional Ahmadiyah telah sah dan diakui oleh Indonesia. Ahmadiyah juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan pemerintah sejajar dengan organisasi sosial keagamaan lainnya.
Namun pada sisi lain, doktrin dan aktifitas ibadah Ahmadiyah tersebut dinilai meresahkan oleh sebagian masyarakat, terutama oleh kelompok yang merasa dasar keyakinanya dipertnyakan oleh Ahmadiyah. Kelompok ini biasanya berasal dari kalangan Islam formal atau Islam radikal.
Potensi yang muncul adalah adanya benturan fisik antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam lain di beberapa tempat dan waktu yang berbeda. Potensi ini tidak dapat dilokalisir dalam satu kawasan semata-mata karena dipengaruhi oleh penyebaran jamaah Ahmadiyah di Indonesia. Artinya, peluang terjadinya konflik antara warga Ahmadiyah dengan kelompok Islam radikal masih akan terbuka di beberapa tempat dan kesempatan.
Negara sendiri dianggap tidak tepat jika mencabut keabsahan legalitas Ahmadiyah sebagai sebuah organisasi karena akan melanggar hukum dan HAM yang menjadi prioritas utama fungsi dijalankannya pemerintahan. Namun pelegalan Ahmadiyah juga sebenarnya akan membawa dampak yang tidak kecil pada maslahah al amah (kemaslahatan umum), sehingga keberadaan Ahmadiyah sebagai organisasi perlu ditinjau kembali.
PENUTUP
Kajian ini berupaya untuk menemukan beberapa solusi yang tepat bagi keberadaan Ahmadiyah di Jawa Timur. Tentu saja solusi tersebut harus disesuaikan dengan kondisi obyektif yang terkait dengan Ahmadiyah di Jawa Timur. Beberapa solusi yang dapat ditawarkan adalah sebagai berikut:
- Proteksi keamanan pada jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur oleh petugas yang berwajib. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi kekerasan dan anarkhisme yang akan terjadi pada jamaah Ahmadiyah di beberapa tempat. Penjagaan dan pengamanan oleh aparat disini bukan ditujukan untuk menjaga ajaran Ahmadiyahnya, namun lebih bertujuan untuk menjaga warga Ahmadiyah;
- Pencabutan legalitas organisasi Ahmadiyah sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.A./5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tanggal 31 Maret 1953. Tentunya, upaya ke arah ini memerlukan kajian terlebih dahulu sebelum opsi tersebut dilaksanakan;
- Mendorong kepada warga Ahmadiyah untuk kembali pada doktrin keagamaan dari Islam sebagaimana faham mayoritas yang diyakini oleh muslim lain. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan cara yang humanis dan berakhlakul karimah dengan pelaksanaan forum-forum dialog antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam lain. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 Menteri Agama dan Nomor 8 Menteri dalam Negeri Tahun 2006, disebutkan bahwa pembinaan kerukunan umat beragama diamanatkan kepada setiap kepala daerah. Di Jawa Timur, PBM itu diperkuat dengan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2007 dan di Surabaya juga diperkuat dengan Perwali Nomor 58 Tahun 2007 yang intinya beberapa organisasi lintas-agama resmi menjadi FKUB dan didanai APBD.
- Di dalam kerangka menjaga keamanan Jawa Timur, maka disarankan agar Gubernur Jawa Timur atau Kejaksaan membuat surat keputusan atau lainnya yang intinya menghentikan sementara aktivitas Jamaah Ahmadiyah, sebab secara riil bahwa Jamaah Ahmadiyah telah memiliki kekuatan hukum yang sah, sehingga untuk membekukannya tentu dibutuhkan waktu yang relatif lama. makanya agar terdapat solusi yang memadai, maka diperlukan ketentuan sementara yang menyangkut aktivitas Jamaah Ahmadiyah dimaksud.
[1] Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LKiS, 2005) h. 32-37
[2] Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Bukair, dari Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Nafi’ Maula Abi Qatadah al-Anshari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Bagaimanakah sikap kamu sekalian apabila Ibnu Maryam datang sedangkan imammu berasal dari kalanganmu?”. Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz III bab Turunnya Isa bin Maryam, (Beirut: Alam al-Kutub, tt). H. 325
[3] Muslih Fathoni, Paham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Semarang: IAIN Walisongo Press, 2002) h. 128
[4] Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz IV, (Mesir: dar al-Hadits, 1988) h. 106-107.
[5] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005) h. 102-104
[6] Abu Ridha (penyunting), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya (Terj.), (Jakarta: al-Is’tishom Cahaya Umat, 2002) h. 302
[7] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005) h. 104-105
[8] Dikisahkan ketika nabi pulang dari peperangan di Tabuk, nabi menyampaikan sabda saat pulang dari Perang Tabuk bahwa umat Islam saat itu telah pulang dari perang kecil “jihad al-asghar” dan menuju perang yang lebih besar “jihad al-akbar”. Kemudian sahabat bertanya, tentang maksud “jihad al-akbar” sebagaimana sabda nabi, padahal perang yang barusan dijalani merupakan perang yang hebat. Nabipun menjawab dengan “jihad al-nafs” (jihad memerangi hawa nafsu). Hadits ini dirawatkan oleh Imam Baihaqi.
[9] Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LKiS, 2005) h.105-121
[10] http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/08/10/brk,20100810-270279,id.html
[11] http://metrotvnews.com/metromain/newscat/nusantara/2011/02/08/41976/MUI-Jatim-Menuntut-Pembubaran-Ahmadiyah
[12] http://www.elshinta.com/v2003a/readnews.htm?id=49127
[13] http://gp-ansor.org/5005-03062008.html
