MENJAGA MODERASI PAHAM KEAGAMAAN SANTRI
Usulan saya yang lain di dalam Forum Temu Tokoh Pendidikan Nasional di Denpasar Bali, 07-08/02/2011, adalah tentang tetap pentingnya menjaga moderasi pemikiran dan paham keagamaan kaum santri berprestasi yang memang menjadi tugas dari pendahulunya. Kita tentu tidak bisa membiarkan para santri berprestasi tersebut untuk menjadi bagian dari paham keagamaan kiri atau kanan, liberal atau radikal.
Sesungguhnya, para santri berprestasi yang dikirim untuk dididik di perguruan tinggi tersebut adalah calon agen pemberdayaan pesantren dari aspek yang dianggap penting. Makanya jika kemudian berbeda paham keagamaannya dengan pesantren tempatnya untuk mengabdi, maka bisa saja akan membawa mafsadah bagi pesantren yang bersangkutan.
Sebagaimana diketahui bahwa secara diam-diam sesungguhnya di negeri ini sedang ada pertarungan ideology yang cukup kuat namun tidak dirasakan sebagai pertarungan kecuali oleh sekelompok kecil orang yang memang memahami adanya pertarungan tersebut. Dan sebagai wadah pertarungan tersebut adalah dunia perguruan tinggi yang memang sebagai wadah untuk mencetak para cerdik pandai dan kaum intelektual di masa depan. Mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa di dalam berbagai levelnya.
Oleh karena itu, maka perguruan tinggi sedang menjadi wadah untuk menumbuhsuburkan berbagai paham keagamaan yang bervariasi sesuai dengan genealogi paham keagamaan yang didapatkan sebelumnya. Saya masih ingat terhadap pernyataan Prof. Dr. Munawir Syadzali, sekian tahun yang lalu bahwa perguruan tinggi, terutama program eksakta, adalah lahan yang subur untuk mengembangkan Islam radikal. Meskipun pernyataan ini bercorak proposisi tentative, akan tetapi kita juga sesungguhnya mengetahui bahwa kebanyakan mereka yang mengidolakan gerakan Islam trans-nasional adalah mereka yang memang berasal dari kelompok ini.
Gerakan ini sekarang lebih massif. Jika di masa yang lalu hanya program studi eksakta yang dijadikan sebagai home base gerakan ini, maka sekarang tentu sudah tidak lagi. Bahkan pesantren yang jelas-jelas moderasinya saja bisa saja sudah dimasuki oleh eksponen gerakan ini. PTAIN yang dahulunya adalah tempat bercokolnya gerakan kemahasiswaan yang sangat moderat, misalnya HMI, PMII, dan sebagainya, maka sekarang sudah dimasuki oleh berbagai eksponen organisasi yang mengusung Islam trans-nasional.
Di sisi lain, paham liberal juga sedang bergerak meskipun suaranya nyaris samar-samar. Terutama di PTAIN gerakan pemikiran keagamaan liberal juga memperoleh momentumnya. Beberapa catatan tentang paham keagamaan yang muncul misalnya mengusung tentang paham kebebasan beragama, paham multi tafsir keagamaan yang liberal dan biasanya mengguakan alat-alat ilmu sosial atau lainnya sebagai pisau analisis terhadap masalah-masalah keagamaan.
Mereka banyak mempertanyakan paham keagamaan yang sudah baku selama ini, misalnya tentang autentisitas kalam Allah, atau lainnya. Itulah sebabnya banyak pemikiran keagamaannya yang kemudian bertabrakan dengan arus utama pemikiran keagamaan yang terjadi di Indonesia. Sebagai akibatnya, maka pemikiran keagamaan liberal kemudian ditentang di sana-sini, karena dianggap telah menyimpang dari pemikiran keagamaan yang baku.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran keagamaan liberal ini nampaknya sedang mati suri. Hingar bingar pemikiran keagamaannya, seperti nyaris tidak terdengar. Memang akhir-akhir ini juga tidak banyak didapati pemikiran keagamaan yang secara diametral berseberangan dengan pemikiran keagamaan arus utama. Akan tetapi di dalam banyak hal, pemikiran keagamaan liberal tidak sampai kepada pemikiran politik, sejauh-jauhnya adalah mempertanyakan tentang tafsir teks-teks yang dianggapnya memang perlu direvitalisasi pemaknaannya.
Kaum santri yang berkesempatan menikmati pendidikan tinggi di PTN atau PTAIN adalah santri-santri cerdas yang di masa yang akan datang akan menjadi pemimpin bangsa ini. Makanya mempersiapkan mereka untuk tetap berada di dalam kerangka paham keagamaan moderat menjadi sangat penting. Ada alasan yang sangat mendasar mengapa mereka harus tetap berada di dalam jalur pemikiran seperti ini, yaitu adanya kewajiban mereka untuk kembali mengabdi di dunia pesantren.
Kewajiban harus kembali ke pesantren inilah yang menjadi dasar untuk menjaga agar mereka tetap berada di dalam paham keagamaan yang moderat. Bisa dibayangkan ketika para santri tersebut memiliki paham keagamaan yang liberal atau radikal kemudian mereka kembali ke pesantren, maka mereka akan menjadi penyebab terjadinya krisis paham keagamaan di level pesantren. Akan ada semacam wadah “pertarungan” baru bagi persemaian paham-paham tersebut.
Jika ini terjadi, maka bisa dibayangkan adanya kerugian structural dan cultural yang luar biasa di masa depan. Pesantren tetap diharapkan sebagai penyangga utama Islam moderat. Makanya menjaga mereka –para santri berprestasi—agar tetap menjadi moderat merupakan pilihan yang tidak bisa diabaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
