PESANTREN DAN MUTU PENDIDIKAN
Pagi ini, 06/02/2011, saya diundang oleh Pondok Pesantren Al Mujtama’, Pamekasan untuk berbicara tentang Pendidikan Tinggi di Pesantren, Antara Tantangan dan Peluang.” Acara ini dikemasa dalam bentuk diskusi tunggal, sebab yang dijadikan sebagai pembicara hanyalah saya. Acara ini dibersamakan waktunya dengan acara Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren tersebut.
Tetapi istimewanya bahwa banyak utusan pondok pesantren yang hadir di acara ini, selain Kyai, Ustadz dan seluruh santri dan siswanya juga dihadirkan. Yang menggembirakan saya adalah Kyai Abdul Ghafur mengikuti acara sampai tuntas. Demikian pula ustadz dan kyai lainnya. Sungguh pemandangan yang berbeda dengan diskusi lainnya, yang jarang diikuti oleh kyai dan ustadznya. Biasanya diskusi tentang pendidikan atau lainnya seperti berada di wilayah lain dan bukan berada di wilayah pesantren.
Yang juga saya merasa senang, bahwa pertanyaan-pertanyaan audiens ternyata sangat baik. Sebutlah dua atau tiga pertanyaan yang saya rasakan sebagai pemicu saya dan audiens lain untuk memikirkannya. Di antara pertanyaan tersebut adalah terkait dengan kepedulian pemerintah terhadap para intelektual Indonesia yang dirasakan masih kurang. Kemudian juga pentingnya kemandirian pesantren di tengah kehidupan yang semakin kompleks dan adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih pendidikan umum. Tentu masih ada sejumlah pertanyaan lain, yang saya kira memang sangat baik akan tetapi tidak saya cantumnkan di dalam tulisan pendek ini.
Melalui pertanyaan ini, sesungguhnya terdapat kepedulian yang sangat besar dari dunia pesantren tentang kualitas pendidikan di Indonesia. Ternyata bahwa para santri tidak hanya memikirkan tentang pendidikan agama sebagaimana tudingan selama ini, akan tetapi ternyata juga mempertanyakan tentang kenyataan sosial kependidikan di sekelilingnya.
Sebagaimana diketahui bahwa memang banyak para intelektual Indonesia yang kemudian bekerja di luar negeri sebagai tokoh akademisi di dunia perguruan tinggi atau di lembaga-lembaga penelitian. Berdasarkan laporan investigasi yang dilakukan majalah Tempo beberapa saat yang lalu, ternyata bahwa ada ratusan intelektual Indonesia yang bekerja dan mengabdikan ilmu pengetahuannya di berbagai negara di dunia, mulai dari Inggris sampai Australia, mulai dari Timur Tengah sampai Amerika Serikat. Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian menempati pos-pos strategis di berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian di luar negeri.
Salah satu di antara yang menyebabkan adalah karena ruwetnya sistem rekruitmen tenaga ahli atau akademisi tersebut. Satu contoh yang sangat menyesakkan adalah ketika ada seorang PhD program yang akan mengabdikan ilmunya ke lembaga pendidikan tinggi, akan tetapi terkendala oleh usia yang bersangkutan sudah melampaui usia calon CPNS. Sehingga yang bersangkutan akhirnya tidak bisa memasuki dunia pengabdian di pendidikan tinggi. Padahal sebagaimana diketahui, bahwa calon pelamar tersebut sangat kapabel untuk mengembangkan program studi Ekonomi Islam. Selain hafal Al Qur’an juga kapabilitas dan kemampuannya yang sangat memadai dalam bidang keilmuannya.
Padahal seandainya, mereka memasuki lembaga pendidikan tinggi di Malaysia, mungkin pertimbangan usia atau umur tidak dijadikan sebagai penghambat seseorang untuk mengabdikan ilmunya ke dunia pendidikan tinggi, akan tetapi yang justru dipentingkan adalah kapabilitas yang bersangkutan di dalam kemungkinan pengembangan ilmu pengetahuan. Kasus ini sungguh sangat menggoda tentang bagaimana proses rekruitmen dosen atau kaum akademisi semestinya menggunakan parameter lain dan bukan satu-satunya parameter usia.
Dunia pendidikan tinggi sudah selayaknya diberikan kekhususan di dalam proses rekruitmen dosen, sehingga tidak selalu mengacu kepada aturan umum tersebut. Ada banyak variable yang mesti dipertimbangkan terkait dengan proses rekruitmen tersebut. Jika kemudian diperkenankan menggunakan pola rekruitmen yang berbeda, maka prosesnya juga tidak berbelit-belit. Sungguh dunia pendidikan tinggi menginginkan, jika ada seseorang yang siap untuk mengabdikan diri sesuai dengan kapabilitasnya, maka seharusnya ada aturan yang memudahkannya.
Semestinya, harus ada mekanisme penghargaan sedemikian rupa terhadap orang-orang khusus yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan. Jika tenaga akademik tersebut sangat dibutuhkan maka bisa diajukan untuk pemenuhannya dengan cara dan prosedur yang mudah. Sungguh aneh jika ada seorang doctor yang sangat dibutuhkan dan kemudian ditolak karena faktor usia dan bukan karena faktor akademik.
Penghargaan semacam inilah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh kaum akademisi kita yang hebat. Mestinya harus ada penghargaan khusus berupa kemudahan proses rekruitmennya. Jika hal ini tidak dilakukan, saya khawatir bahwa akan semakin banyak kaum akademisi kita yang kemudian hengkang ke negara lain hanya karena mereka tidak bisa direkrut oleh sistem rekruitmen kita yang kaku dan tidak proporsional.
Selain itu, sesungguhnya pesantren juga membutuhkan tenaga-tenaga akademis yang sangat baik kualitasnya. Jika selama ini pesantren telah memberikan sumbangan yang sangat besar di dalam pengembangan akses pendidikan, maka juga sudah sepantasnya jika pesantren diberikan penghargaan berupa pengiriman tenaga-tenaga ahli yang bisa mempercepat proses pengembangan mutu pendidikan di pesantren.
Hanya dengan cara ini, pesantren akan bisa menjadi center of excellence di dalam kerangka pendidikan di dalam berbagai aspeknya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
