MENGEDEPANKAN IDEOLOGISASI NU
Sebagaimana saya tulis kemarin bahwa salah satu tipologi kerja organisasional yang mesti dikembangkan di era Kepemimpinan KH. Said Aqil Siraj adalah membangun ideologisasi NU. Hal ini tentu memiliki alasan rasional mengapa hal tersebut yang perlu dilakukan. Jika kepemimpinan NU di masa lalu lebih berorientasi pada tujuan internal dan eksternal untuk pemberdayaan jam’iyah, maka ke depan yang harus disentuh secara maksimal adalah pengedepanan ideologisasi NU.
Mengapa hal ini penting? Ada dua alasan yang saya kira sangat mendasar mengapa NU harus menjadikan visi dan misinya untuk kepentingan internal jamaahnya. Pertama, alasan rendahnya pemahaman warga NU tentang organisasinya sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang menjadi NU itu dikarenakan alasan kultur atau kesamaan tradisi. Jika orang tuanya NU atau kelompoknya NU, maka jadilah ia sebagai orang NU. Akan pemahamannya tentang NU tentu saja sangat rendah kalau tidak bisa dikatakan tidak ada.
Ikatan cultural memang memiliki cakupan yang luas. Akan tetapi senyatanya tidak dapat menjadi identitas diri di dalam pergaulannya secara lebih mendasar. Ikatan cultural tentu tidak bisa menjamin bahwa yang bersangkutan memiliki perasaan identitas yang kuat. Orang yang hanya diikat oleh kesamaan tradisi akan sangat mudah untuk berubah ketika yang bersangkutan memiliki keterkaitan dengan lainnya.
Kedua,tekanan eksternal. Kita memahami bahwa tekanan eksternal kepada organisasi yang sudah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah sekarang ini sedang menuai zamannya. Organisasi besar dan establish sesungguhnya sedang menjadi rebutan dari eksponen organisasi baru yang mengusung spirit universalisme Islam atau gerakan transnasionalisme. Serangan tersebut tidak hanya dalam coraknya yang sir atau tersembunyi, akan tetapi sudah memasuki cara jahr atau terang-terangan.
Gerakan trans-nasionalisme sudah mengusung ideology baru Islam yang sangat puritan, dan bahkan juga sudah memasuki kawasan politik. Mereka menjadi pendakwah politik yang sangat gigih dengan mengusung gerakan khilafah Islamiyah. Baginya solusi atas semua problem Negara di tingkat nasional atau internasional adalah melalui kembali kepada khilafah Islamiyah.
Demokrasi dengan berbagai variannya bukanlah solusi untuk membangun masyarakat yang Islami. Demokrasi yang dikembangkan oleh barat tidak sejalan dengan konsep Islam tentang khilafah islamiyah. Makanya, mereka dalam banyak hal menolak system demokrasi sebagai pilihan politik dalam mengurus Negara.
Gerakan ini sudah sedemikian kokoh. Secara ideologis mereka sangat kuat, secara strategic perjuangan juga sudah sangat memadai dan secara politik juga sudah memiliki target yang jelas. Mereka ini banyak menguasai dunia pendidikan tinggi di Indonesia dan merekrut anak-anak muda dari berbagai golongan dan strata social, dan kemudian dididik untuk menjadi kader yang sangat militant. Mereka ini saudah sangat siap untuk menjadi penerus organisasi ini, di manapun mereka akan ditempatkan.
Secara teoretik, bahwa ada proses organisasi pemahaman dan perilaku ke disorganisasi pemahaman dan perilaku ke reorganisasi pemahaman dan perilaku. Di dalam hal ini, maka bisa saya nyatakan bahwa sekarang ini yang lebih banyak adalah mereka yang secara cultural berada di dalam organisasi NU. Artinya, bahwa perilaku keberagamaannya saja yang memang sama dengan NU. Akan tetapi di sisi lain lalu terdapat disorganisasi, yaitu ketika yang bersangkutan harus berada dan berkubang dengan NU secara jam’iyah.
Bahkan di era Orde Baru, orang merasa tidak nyaman ketika menjadi NU disebabkan oleh tekanan eksternal yang sangat kuat. Akibatnya, juga banyak lembaga-lembaga yang didirikan oleh orang NU akan tetapi tidak berani menamakannya dengan lembaga pendidikan NU. Jika diantara mereka yang memiliki kesadaran identitas saja seperti itu, maka berarti bahwa mereka yang tidak memiliki kesadaran identitas tentu akan menjadi lebih runyam.
Di tengah nuansa seperti ini, maka diperlukan reorganisasi pemahaman dan perilaku di kalangan penganut NU. Jika di masa lalu hanya sebagai pengikut NU cultural, maka sudah selayaknya menjadi pengikut NU struktural-ideologis.
Dengan demikian, visi dan misi NU ke depan adalah mengubah mereka yang sudah menjadi NU cultural kemudian diarahkan menjadi NU structural-ideologis. Jika visi ini sudah disepakati, maka kemudian akan dapat dibreakdown ke dalam program kerja yang mengarah kepada pencapaian visi dimaksud.
Saya berkeyakinan bahwa untuk meraih hal tersebut membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi melalui kerja keras dan komitmen seluruh jajaran pimpinan NU mulai dari PBNU sampai ranting NU di desa-desa, maka akan didapatkan perubahan yang signifikan di masa depan.
Sudah saatnya NU meneladani gerakan-gerakan ideologisasi organisasi yang sudah ada di dalam kerangka untuk menjadikan NU sebagai organisasi yang kuat secara jamaah dan jam’iyah.
Wallahu a’lam bi al shawab.
