• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGGAGAS IDEOLOGISASI NU

Di dalam kerangka menyambut harlah NU tanggal 31 Januari 2011, maka Museum NU menyelenggarakan dua acara yang sangat menarik, yaitu launching foto Hasan Gipo, Presiden HBNO I, yang selama ini jarang dikenal orang tentang siapa tokoh tersebut dan acara launching buku karya Dr. H. Achmad  Muhibin Zuhri, dosen IAIN Sunan Ampel, yang juga menjadi pimpinan di Museum NU. Buku yang dibedah tersebut adalah karya disertasi dengan judul Pemikiran KHM. Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.

Dua peristiwa ini menurut saya layak diapresiasi mengingat bahwa NU memang harus memiliki khasanah dokumentasi yang baik di satu sisi, dan juga perlu dokumentasi pemikiran-pemikiran keagaman, sosial,  budaya, politik dan sains dari para tokohnya. Jika di masa lalu begitu susah mencari dokumentasi tentang NU,  maka sekarang orang dengan mudah mencari referensi tentang NU tersebut.

Bahkan melalui Museum NU, maka orang akan dimanjakan dengan berbagai tokoh NU di masa lalu, orang yang berkhidmah kepada NU dengan keikhalasan yang sangat tinggi. Salah satunya adalah yang direpresentasikan oleh Hasan Gipo yang di era awal terbentuknya NU menjadi penyumbang dana yang sangat kuat bagi NU. Di masa lalu, pengurus NU yang membiayai NU dan bukan pengurus NU yang mencari kehidupan di NU. Menurut sejarah lisan, bahwa yang membiayai keberangkatan para Kyai ke Komite Hijaz adalah Hasan Gipo ini.

Seperti diketahui bahwa Raja Ibn Saud di awal abad ke 20 akan membongkar makam Rasulullah dan para sahabatnya untuk kepentingan perluasan Masjid Nabawi. Sebagaimana diketahui bahwa Gerakan Wahabi memang sangat membenci terhadap Takhayul, Bidh’ah dan Khurafat atau sering disebut sebagai TBC. Di antara yang dibenci tersebut adalah berbagai upaya umat Islam untuk melakukan ritual-ritual keagamaan di makam-makam, termasuk kegiatan keagamaan di makam Rasulullah dan para sahabatnya.  Untuk  menghilangkannya, maka   makamnya yang harus dibongkar.

Di dalam kerangka mempertahankan terhadap keberadaan makam Rasulullah tersebut, maka sejumlah ulama di Indonesia melakukan protes yang dilakukannya dengan mengajukan permohonan kepada Raja Ibn Saud agar tidak membongkar makam Rasulullah.  Berkat perjuangan para ulama yang kemudian memperoleh dukungan ulama internasional, maka makam Rasulullah tidak jadi dibongkar. Secara strategis dan politis, maka perjuangan para kyai tersebut berhasil. Mereka ini kemudian membentuk organisasi yang disebut sebagai Nahdlatul Ulama (NU) atau Kebangkitan Ulama, yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926.

Perjuangan NU tersebut tentu terus berlangsung di dalam dinamika zamannya. Jika secara kasar dibuat tipologinya, maka semenjak KH. Idham Chalid menjadi ketua PBNU, maka dapat ditipologikan sebagai “politisasi NU” atau “NU Politik”. Masa ini ditandai dengan keterlibatan NU sebagai partai politik. NU terlibat secara aktif di dalam percaturan politik dan bahkan menjadi salah satu partai politik yang disegani di dalam berbagai pemilu di Indonesia. NU menjadi organisasi politik yang turut serta di dalam membangun gerakan demokrasi, perpolitikan dan kebijakan pemerintah di Indonesia.

Kemudian, di era Gus Dur sebagai ketua PBNU, maka dapat ditipologikan sebagai “Intelektualisasi NU” atau “NU Intelektual”. Di dalam hal ini, maka gerbong NU yang besar dan berat tersebut ditarik oleh Gus Dur ke dalam gerakan intelektualisme yang hingar bingar. NU kemudian menjadi organisasi yang disegani di dalam percaturan intelektual. Hal ini ditandai dengan banyaknya karya-karya akademik tentang NU dalam berbagai sudut pandang akademis dan juga di dalam NU muncul kesadaran baru untuk mengembangkan berbagai ragam pemikiran keagamaan, sosial, budaya dan politik bahkan sains yang menggeliat sedemikian rupa.

Gerakan inilah yang mengantarkan anak-anak muda NU untuk berkiprah secara intelektual di dalam berbagai percaturan akademis. Sejumlah anak muda NU kemudian menjadi penulis, aktivis LSM dan juga berbagai aktivitas akademis yang membanggakan. Memang, ada sedikit dampak yang semestinya hanya riak-riak saja yaitu kemudian munculnya “liberalisme” pemikiran anak muda NU. Namun sejauh yang bisa dipahami, bahwa tumbuhnya pemikiran tersebut terkait dengan konteks zamannya yang memang membutuhkan “perjuangan” berbeda dengan kalangan tekstualis yang merebak kuat di negeri ini.

Di era KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua PBNU, maka NU bisa dilabel dengan tipologi “internasionalisasi NU” atau “NU Internasional”. KH. Hasyim Muzadi menjadi ikon internasional di dalam penyebaran gagasan “Islam rahmatan lil alamin”. Melalui jargon ini, maka NU dikenal di dunia internasional sebagai eksponen organisasi yang memiliki visi pengembangan Islam moderat dan bisa menjadi contoh di dunia internasional tentang Islam yang ramah.

Melalui jargon ini, maka menjadikan Indonesia sangat dikenal sebagai negara dan bangsa yang sesungguhnya memiliki paham keagamaan yang moderat. Islam merupakan agama yang dipahami sebagai agama yang mencintai kedamaian, kerukunan, harmoni dan keselamatan. Makanya di berbagai forum internasional sangat dikenal bahwa Indonesia adalah contoh terbaik di dalam membangun relasi antar umat beragama.

Di era sekarang, saat NU dipimpin oleh KH. Said Aqil Siraj, maka NU tentunya harus memiliki visi yang jelas, yaitu sebagai organisasi yang memiliki visi keumatan. Makanya, NU harus tampil menjadi organisasi yang kembali memperhatikan terhadap kebutuhan umatnya. Visi ini yang seharusnya diemban oleh pimpinan NU sekarang.

Makanya, saya mengajukan satu tipologi visi yang seharusnya didongkrak oleh pemimpin NU, yaitu ideologisasi NU. Secara kultural NU memang sangat kuat. Semua sudah mengamalkan tradisi-tradisi NU, akan tetapi mereka adalah penganut kultural dan bukan pengikut ideologis. Makanya agar menjadi sempurna, maka kepengikutan kultural tersebut harus dilengkapi dengan kepenganutan ideologis.

Melalui cara dan strategi semacam ini, maka NU sebagai jam’iyah akan menjadi kuat. Secara jama’ah sudah sangat memadai,  akan tetapi dengan ditambah secara jam’iyah, maka ke depan NU akan lebih kuat dan berperan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini