• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEMIS KOLEKTIF

Membaca Harian Suara Karya tentang respons para pengemis tentang fatwa haram yang dikeluarkan  oleh MUI Sumenep dalam judul “Mengemis Haram, Gepeng Cuek” (Suara Karya, 25/08/09),  tentu membuat kita harus berhitung ulang tentang efektivitas fatwa bagi para subyek pelaku mengemis. Ternyata memang tidak mudah untuk menjelaskan persoalan mengemis ini dari sisi pelaku. Dalam cerita tentang Dudun yang mengalami kegagalan dalam mengais kehidupan dikota semenjak tahun 1987, maka pilihannya tidak ada lain adalah mengemis. Tentu ada banyak orang yang senasib dengan Dudun di negeri ini. Masih banyak di antara mereka yang tidak beruntung.

Hanya yang terkadang menjadikan hati terasa gerah adalah apa yang pernah dilaporkan oleh Jawa Pos, setahun yang lalu bahwa mengemis bukan sekedar kegiatan orang yang memang miskin akan tetapi telah menjadi organisasi yang rapi dengan design yang kompehensif. Bagaimana tidak, ternyata mengemis memiliki jaringan yang luar biasa bagus dan terkoordinasi. Ada pimpinan yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan mengemis. Bahkan yang membuat mata terbelalak adalah koordinator pengemis itu ternyata memiliki empat rumah dan mobil CRV. Di dalam modus operandinya, maka ada pelatihan, skedul dan pembagian wilayah yang jelas. Masing-masing pengemis harus menyetor sejumlah uang setiap hari sesuai dengan perolehannya.

Mengemis bukan lagi sebagai aktivitas harian orang miskin namun sudah menjadi organisasi yang mempekerjakan orang untuk tujuan memperoleh uang. Jadi fenomena ini memperkuat konsepsi tentang “mengemis kolektif” yang diatur melalui pengorganisasian yang kuat dan terpadu.  Jadi mengemis telah menjadi suatu organisasi dengan job description sebagaimana organisasi lainnya.

Mengemis dengan modus operandi organisasional, menjajakan proposal fiktif melalui organisasi fiktif dan hal itu dilakukan untuk memperkaya atau menyejahterakan orang atau kelompok tertentu seperti ini pasti relevan bila dikenai fatwa haram. Sebab di dalamnya sudah ada aspek pembohongan publik dan penipuan.

Fenomena di Desa Pragaan dan organisasi pengemis di Surabaya cukup memberikan indikasi bahwa ada proses kreatif dan kemampuan menangkap peluang untuk memperoleh uang  melalui tradisi mengemis. Kelompok ini bisa memanfaatkan konsepsi teologis yang selama ini menjustifikasi “kebenaran” orang melakukan tindakan mengemis. Banyak dari masyarakat kita yang memastikan dirinya untuk memberikan uang recehan kepada pengemis. Berapapun yang datang atau ada di pinggiran jalan maka dipastikan akan diberi uang. Hal ini tentu tidak lepas dari konsepsi teologis yang melarang kita untuk menghardik dan menghina kepada pengemis. Selain itu konsepsi harta kita ada sebagian kecil  menjadi milik orang miskin.

Namun demikian, dengan mengamati fenomena mengemis terorganisasi, mengemis dengan proposal fiktif dan sebagainya, maka definisi mengemis semestinya ditinjau ulang. Jadi tidak mesti bahwa orang yang mengemis adalah mereka yang sesungguhnya kaum pengemis. Bisa saja mereka adalah orang yang secara organisasional menjadi jaringan pengemis sehingga hasilnya juga bukan untuk kepentingan individual semata, namun untuk kepentingan jaringan pengemis dimaksud. Bagi sekelompok orang yang seperti ini, maka aspek teologis tentunya tidak berlaku.

Menghadapi fenomena seperti ini, maka pemberian kepada orang miskin mestinya harus melalui seperangkat konsep  yang sudah disediakan oleh ajaran Islam, yaitu zakat, infaq dan shadaqah. Di dalam hal ini maka prosesnya mestilah menggunakan cara dan prosedur yang benar. Islam sesungguhnya sudah memberikan jalan keluar yang sangat memadai terhadap persoalan mengentas kemiskinan. Hanya saja kita selalu kedodoran dalam implementasinya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini