• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

VARIABLEL PENYEBAB KORUPSI

Di dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe Tuban (FKMRT) di Tuban, 30/01/2010, saya mengintrodusir terhadap factor-faktor yang menyebabkan korupsi. Ternyata ketika dilacak tentang factor penyebab korupsi tersebut,  maka diketahui ada sejumlah factor. Tentu diantara factor-faktor tersebut, ada factor yang dianggap dominan dan ada yang tidak.

Pertama  adalah factor budaya instan. Budaya instan atau ingin serba cepat akan menjadi penyebab mengapa seseorang kemudian memiliki mental menerabas. Konsep mental menerabas diungkapkan oleh Prof. Koentjaraningrat decade 80-an, yaitu sejenis mental yang menyebabkan seseorang berkecenderungan melakukan apa saja dalam waktu yang cepat. Ada keinginan untuk memperoleh sesuatu dala waktu yang cepat.

Mental menerabas itu sejenis mental yang menginginkan segala sesuatu dapat dicapai dengan cepat, serba instan. Jika seseorang memiliki mental ini,  maka yang diharapkan atau diinginkan adalah memperoleh segalanya dalam waktu yang cepat, misalnya ingin cepat kaya, ingin cepat terkenal, ingin cepat sejahtera dan sebagainya. Orang dengan keinginan seperti ini,  maka kemudian bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya tersebut.

Kedua, budaya fragmatisme. Jika  seseorang berpedoman kepada budaya fragmatisme,  maka akan melahirkan sikap permissiveness. Apapun bisa dilakukan untuk memperoleh tujuannya. Tujuan menghalalkan secala cara. Sikap serba boleh yang mendasari tindakan ini akan menyebabkan seseorang bertindak semaunya. Orang bisa korupsi, bisa kolusi dan bisa nepotis karena dianggapnya bahwa tindakan tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Indonesia memang masih menjadi negara dengan tingkat korupsinya yang tinggi. Pernah menempati rangking 36 negara terkorup di dunia. Artinya bahwa tingkat korupsinya sangat tinggi. Indonesia juga menjadi negara di Asia Tenggara dengan tingkat korupsi yang nyaris sempurna. Indeks korupsinya masih sangat tinggi. Meskipun korupsi sudah dipangkas sedemikian rupa, akan  tetapi masih belum bermakna. Ada banyak koruptor yang diadili, akan tetapi yang lain juga masih banyak.

Jika menggunakan ukuran Gayus Tambunan dan para pejabat di sekitar Gayus yang dipenjarakan, maka sesungguhnya masih sangat banyak yang memiliki kasus serupa. Mereka bisa saja sebagai “big fish”, “medium fish” atau bahkan hanya “small fish”. Yang jelas bahwa masih ada banyak koruptor yang melenggang bebas karena belum terjangkau pengadilan dan hukum.

Jika menggunakan pernyataan Gamawan Fauzi, Mendagri, bahwa ada fenomena menarik di sekitar pilkada langsung, yaitu banyaknya pejabat publik, seperti gubernur, bupati, walikota yang tersandung masalah korupsi, maka juga menggambarkan bahwa korupsi juga sudah barada di wilayah kabupaten-kabupaten. Hal ini juga menandakan bahwa persoalan korupsi bisa terkait dengan pilkada langsung yang memang sarat dengan pembiyaan pilkada yang sangat besar. Bisa dibayangkan bahwa untuk memenangkan pilkada seorang calon harus memiliki anggaran sebesar 30 sampai 60 milyar rupiah. Biaya ini harus ditanggung oleh seorang calon bupati/cawali  di dalam pilkada.

 Ketiga, budaya kapitalisme. Budaya ini  mendorong seseorang untuk berlomba memperebutkan materi. Selain menyebabkan seseorang berlomba untuk meraih materi sebanyak-banyaknya, kapitalisme juga menghasilkan sikap dan perilaku konsumerisme. Jika seseorang sudah dijangkiti oleh virus materi dan konsumerisme, maka akan menyebabkan tindakannya  yang hanya mementingkan hal tersebut. Seluruh mind setnya terkait dengan bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dan kemudian dibelanjakan untuk kesenangan atau perilaku hedonis.

Kebanyakan mereka yang terjerembab di dalam kasus korupsi adalah mereka yang dapat digolongkan ke dalam orang yang berperilaku seperti ini. Punya mobil satu belum cukup, dua belum cukup, tiga belum cukup dan kemudian menumpuk kendaraan hanya untuk kesenangan. Demi hobi. Begitulah alasan yang sering dikemukakan.

Kecintaan kepada materi yang berlebihan akan menjadikan seseorang akan melupakan dirinya sebagai bagian dari masyarakat lainnya. Orang yang mencintai materi secara berlebihan itu sama seperti seseorang yang meminum air laut, semakin banyak meminumnya, maka  akan menjadikannya semakin haus. Maka sebaiknya orang boleh mencintai harta dan kekayaan, akan tetapi harus bisa seperti Syekh Imam Syadzili, yang berprinsip “harta adalah silsilah terbaik agar cepat sampai kepada haribaan Allah”.

Jika orang bisa seperti itu, maka korupsi tentu akan menjadi berkurang, karena hakikat mencari harta adalah ibadah dan hasilnya juga untuk ibadah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini