FATWA MENGEMIS HARAM
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep membuat gebrakan dengan melansir fatwa haram bagi mengemis. Fatwa ini kemudian direspon positif oleh MUI Jawa timur. MUI memang telah berkali-kali membuat gebrakan dengan fatwa-fatwanya. Masih segar dalam ingatan tentang Fatwa Merokok Haram, Fatwa wajib mencoblos dalam pemilu dan tentu masih banyak lagi.
Sebuah fatwa memang tidak datang dari ranah kosong. Setiap fatwa tentu dihasilkan dari ijtihad yang mendalam dan panjang. Untuk fatwa mengemis haram ini tentu saja juga telah didiskusikan dengan sangat mendasar dan berdasarkan pengamatan yang panjang tentang fenomena mengemis di kalangan masyarakat. Adakah mengemis telah disalahgunakan untuk kepentingan yang yang salah. Adakah mengemis telah menjadi profesi dan bukan karena kehidupannya miskin atau melarat. Dan tentu masih ada sederet pertanyaan tentang mengemis sebagai fenomena sosial.
Adalah masyarakat di Pragaan Daya, sebuah desa di Kabupaten Sumenep, yang jaraknya kira-kira 30 Km kearah utara dari Sumenep adalah desa di dataran tinggi yang tanahnya tandus dan hanya dapat didayagunakan untuk kepentingan perladangan. Di desa ini sebagian warganya adalah para pengemis yang memiliki pengalaman mengemis cukup panjang. Menurut cerita, mengemis sudah dilakukan semenjak zaman Belanda dan Jepang.
Menurut penelitian Noer Abiyono, dkk., bahwa masyarakat di desan ini menjadi pengemis karena faktor: kemiskinan, pendidikan yang rendah dan rendahnya pemahaman agama. Bagi masyarakat ini bahwa mengemis memiliki landasan teologis, berangkat dari ayat al-Qur’an: ”Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah menghardiknya. Karena pada harta orang kaya tersimpan hak orang miskin”.
Pola mengemis ternyata juga bervariasi, bahkan mengemis telah menjadi usaha produktif. Menurut penelitian yang berjudul ”Tradisi Mengemis Dalam Masyarakat Pragaan Daya” (Noer Abiyono, dkk., dalam Jurnal Istiqro’, Ditpertais, Vol 01, Nomor 01, 2002), bahwa ada tiga pola mengemis: 1) Mengemis dengan cara betul-betul mengemis. Model ini hanya bermodal keberanian dan tanpa rasa malu. Biasanya dilakukan door to door atau menetap. 2) Mengemis dengan cara barter. Model ini dilakukan dengan cara membawa barang dan kemudian dibarter dengan barang yang lain yang harganya jauh lebih tinggi. 3) Mengemis kolektif. Yaitu mengemis yang dilakukan dengan menggunakan proposal untuk pembangunan masjid, madrasah dan sebagainya. Siapapun boleh menjajakan proposalnya asal menyetor uang sebesar Rp. 30.000,- kepada ketua yayasan. Mereka yang menjajakan proposal sebanyak 5-7 orang.
Respon masyarakat memang bervariasi. Sekurang-kurangnya ada dua pendapat. Ada sebagian masyarakat yang memandang bahwa mengemis adalah sebuah usaha atau pekerjaan, sehingga mengemis bukanlah merupakan suatu yang hina. Sebagian lainnya berpendapat bahwa mengemis adalah sesuatu yang menyalahi norma agama dan sosial. Mengemis merupakan perbuatan yang melanggar norma agama dan sosial karena mengemis digunakan sebagai pekerjaan yang menguntungkan bahkan juga pembohongan publik.
Berdasarkan penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa mengemis bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang dilakukan oleh orang yang memang sangat miskin –kaum fuqara’ dan masakin—akan tetapi telah menjadi semacam profesi yang menguntungkan. Jika demikian, maka mengemis sudah menjadi bagian dari sesuatu yang menguntungkan. Apalagi dalam banyak hal mereka melakukan pembohongan, misalnya membuat yayasan fiktif, pembangunan fiktif, pendanaan fiktif dan sebagainya. Jika sudah seperti ini, maka mengemis bukan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari untuk kehidupan tetapi untuk memperkaya diri dengan cara yang salah.
Jika demikian halnya, maka pantaslah jika MUI kemudian menyatakan hukumnya haram bagi para pengemis. Lalu bagaimana cara untuk menangani persoalan kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian masyarakat kita. Jawabannya ada pada pendataan dan penyaluran dana kemiskinan yang tepat sasaran.
Wallahu a’lam bi al-shawab.