• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAFIA HUKUM DI MANA-MANA

Saya merasa sebagai orang awam di bidang hukum. Sehingga kalaupun saya memberikan sedikit komentar tentang persoalan hukum, maka sesungguhnya yang saya ungkapkan itu hanyalah perasaan tentang keadilan di dalam praktik penyelenggaraan hukum di negeri ini. Siapapun bisa merasakan paradoks-paradoks itu.  Tidak terkecuali saya.

Cobalah diamati bagaimana seorang nara pidana bisa menikmati layanan prima di dalam ruang tahanan seperti kasus Ayin, lalu seorang tersangka bisa keluyuran ke luar dari tempat tahanan, seorang nara pidana bisa pelesiran ke Bali, Singapura, Macau, dan sebagainya. Bahkan mungkin praktik seperti  ini juga sudah terselenggara semenjak lama. Mungkin juga sudah terjadi di era Orde Baru dulu dan terus terjadi hingga kini.

Kita mungkin bisa bersyukur bahwa di era kebebasan untuk melakukan ekspresi ini, maka ada banyak hal yang bisa diungkap yang di masa lalu menjadi sangat sulit terendus. Dalam kasus Gayus, misalnya maka berkat kejelian seorang Devina Hakim, perempuan yang tinggal di Raffles Hill, Cibubur, Jawa Barat, yang menulis lembar kesaksiannya di Kompas,  maka Gayus pelesir ke luar negeri bisa diungkapkan. Akhirnya,  kasus pelesir tersebut bisa menjadi head line news di berbagai media dan mengungkap skandal kebobrokan aparat di dalam menangani kasus hukum.

Bayangkan seandainya tidak ada yang mengenali dan kemudian melaporkannya, maka kasus tersebut akan menjadi terkubur di dalam peti es yang tidak akan terungkap selamanya. Akan tetapi melalui medium keterbukaan dan kejelian, maka kasus ini kemudian menjadi bola salju yang menggelinding dengan cepat. Dengan begitu maka keteledoran, kesalahan dan ketidakadilan kemudian terkuak secara transparan dan menelanjangi semuanya.

Untuk bisa melakukan hal ini, pastilah ada sesuatu yang bercorak sistemik. Ada sejumlah orang yang terlibat di dalam proses terjadinya tindakan ini. Dan yang sungguh menyedihkan bahwa yang terlibat adalah orang yang selama ini menangani persoalan hukum.

Tentu yang diharapkan dari mereka adalah keadilan dan kebenaran. Jika yang menjadi juri di dalam menyangga kadilan dan kebenaran juga melakukan rekayasa kebenaran dan keadilan, maka tentunya tidak ada lagi benteng terakhir bagi masyarakat untuk merengkuh kebenaran dan keadilan.

Jika dikalkulasi, berapa banyak orang yeng terlibat di dalam proses dokumen palsu, seperti paspor Gayus untuk ke luar negeri. Bagaimana sejumlah orang tersebut bersepakat untuk melakukan manipulasi dokumen perjalanan tersebut? Lalu kekuatan apa yang menggerakkan mereka untuk melakukan tindakan nekad melawan hukum seperti itu?

Jika dicari-cari penjelasannya tentu adalah uang. Kekuatan uang inilah yang memotivasi orang untuk bersepakat melakukan tindakan apapun. Di dalam konsepsi sosiologis, maka dijumpai tindakan materialistik yaitu tindakan untuk melakukan sesuatu berdasar atas kepentingan materi. Konsepsi Marxian ini menyatakan bahwa yang memotivasi seseorang untuk melakukan berbagai tindakan adalah kepentingan materi. Materi adalah segala-galanya dan kemudian berimplikasi pada pilihan motif pragmatis, kapan lagi untung kalau tidak sekarang.

Pikiran pragmatis inilah yang menyebabkan orang bisa melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum, termasuk tindakan mengeluarkan paspor dan memberikan ijin kepada pelaku kriminal untuk melakukan tindakan yang nekad.

Kasus Gayus tentu menjadi preseden buruk dunia peradilan. Dan orang kemudian bisa berasumsi bahwa praktik seperti itu telah lama terjadi. Ibaratnya, sebuah gunung es yang semakin menjulang dan kemudian diterpa oleh sengatan sinar matahari dan kemudian meleleh hancur semuanya. Maka kasus Gayus adalah bagian dari lelehan gunung es tersebut dan akan menyeret lelehnya yang lain.

Jadi, pekerjaan rumah para penegak keadilan di negeri ini adalah untuk menangkap lelehan gunung es tersebut –tentunya sulit karena telah menjadi air—dan  kemudian menampilkannya ke permukaan, siapa saja sebenarnya yang terlibat di dalamnya dan kemudian mengadilinya sesuai dengan prosedur dan proses yang benar dan adil.

Sudah banyak tim penegak keadilan di negeri ini, sehingga tinggal memilih dan memilah mana yang cocok untuk mengadili kasus dimaksud yang berbasis pada “rasa keadilan” dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini