MAKNA KRITIK EKONOMI TOKOH AGAMA
Secara agregat bisa dinyatakan bahwa makro ekonomi Indonesia memang baik, artinya terus ada perkembangan ke arah yang lebih di bidang pertumbuhan. Pertumbuhan tersebut adalah 4,5 persen (2009), yang berarti pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Indonesia pernah didera krisis ekonomi yang luar biasa dan meluluhlantakkan fondasi ekonomi nasional selama bertahun-tahun. Artinya bahwa arah pengembangan ekonomi nasional sudah berada pada trek yang benar.
Namun demikian, secara kasus per kasus memang belum terdapat pemerataan pembangunan ekonomi yang menggembirakan. Beberapa hari yang lalu saya tulis tentang kenyataan kesejahteraan masyarakat di daerah yang cukup baik, yang ditandai dengan semakin banyaknya pemilikan barang-barang sekunder menjadi barang primer. Dan hal itu terjadi disebabkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, jika kita melihat beberapa acara televisi yang menyiarkan acara kemiskinan di pedesaan atau di perkotaan, kita masih trenyuh sebab masih dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang cukup membuat kita semua prihatin. Masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Angka statistik memang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih berkisar pada angka 17,75 persen. Jika terjadi penurunan, maka angkanya juga belum signifikan. Secara nasional, sumbangan terbesar penurunan kemiskinan diperoleh di Jawa Timur, yang kira-kira memberi sumbangan sebesar 30 persen. Hal ini disebabkan oleh ketepatan Jawa Timur dalam mengentas kemiskinan melalui program “By Name and By Address”.
Pertanyaannya, apakah benar secara kualitatif kemiskinan tersebut sudah mencapai derajad seperti itu? Tentu pertanyaan ini bisa mengusik angka statistik yang di dalam banyak hal memang bermain angka-angka. Angka statistik memang menyajikan kecenderungan atau tendensi penurunan dan bukan secara kualitatif menyajikan keadaan riil kasus per kasus.
Makanya, masih banyak kritik yang bisa saja menggugat pemerintah di dalam program pengentasan kemiskinan dimaksud. Yaitu, misalnya kritik yang dilakukan oleh tokoh lintas agama tentang “kebohongan” pemerintah di dalam mengentas kemiskinan. Sebagaimana saya nyatakan kemarin, bahwa kata “kebohongan” memang selalu negative, sehingga sama sekali tidak memberikan apresiasi terhadap beberapa capaian positif pemerintah.
Untuk kasus pengentasan kemiskinan, saya kira apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bisa dijadikan sebagai role model dalam program pengentasan kemiskinan. Melalui jargon “APBD untuk Rakyat” dan kemudian diterjemahkan ke dalam program “Pengentasan Kemiskinan by Name and by Address”, maka diketahui secara pasti tentang siapa yang disebut sebagai masyarakat miskin tersebut.
Melalui program ini, maka Gubernur Jawa Timur, Dr. Soekarwo, tahu secara mendasar berapa banyak dan siapa saja orang miskin di desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Orang miskin yang masing-masing diketahui namanya tersebut, kemudian digolongkan ke dalam mana yang harus diberi Bantuan Langsung Tunai (BLT), mana yang harus diberi insentif usaha dan mana yang harus dikembangkan ekonominya untuk mempercepat perolehan kesejahteraan.
Setelah program ini menampakkan hasil yang relative memadai, maka dikembangkan satu pendekatan baru yang disebut sebagai “Anti Poverty Based on Sience and Technology” atau “Program Pengentasan Kemiskinan melalui Pendekatan Inovasi yang Berbasis Sains dan Teknologi”. Program ini diharapkan akan dapat memperkaya pendekatan selama ini yang dirasakan relative berhasil.
Program ini akan diarahkan untuk memperbanyak temuan inovatif di dalam berbagai bidang kehidupan, terutama yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perguruan tinggi dan masyarakat didorong untuk menemukan sesuatu yang bisa menjadi dasar bagi proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Misalnya, di Ngawi dijumpai penemu padi varitas unggul dengan masa panen yang lebih cepat.
Oleh karena itu, menurut saya harus tetap memandang dan mengapresiasi usaha-usaha maksimal yang dilakukan oleh pemerintah di dalam menanggulangi kemiskinan. Jika sampai hari ini ternyata masih banyak yang miskin, maka mesti harus dipahami bahwa bangsa ini baru saja keluar dari krisis ekonomi yang parah. Jika kemudian terdapat peningkatan kualitas kesejahteraannya, maka tentu haruslah dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan jika masih ada yang miskin maka juga harus dipandang sebagai pekerjaan rumah yang masih menumpuk.
Melalui cara pandang seperti ini, maka kita akan lebih obyektif di dalam menilai “kegagalan” dan “Keberhasilan” serta “kebohongan”.
Wallahu a’lam bi al shawab.
