• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RESPON KRITIK TOKOH LINTAS AGAMA

Kemarin, 18/01/2011,  ada pertemuan tertutup antara tokoh lintas agama dengan Presiden SBY. Di antara materi pertemuan tersebut tentu saja terkait dengan pandangan tokoh lintas agama tentang kebohongan pemerintah atas 18 masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.  Di antara masalah tersebut antara lain adalah tentang kebebasan beragama, ketenagakerjaan, kemiskinan, hukum, korupsi, dan sebagainya.

Dialog ini tampaknya digagas oleh pihak   kepresidenan, sehingga yang berinisiatif untuk mengundang tokoh lintas agama adalah presiden. Makanya, jumlah dan siapa yang diundang adalah mereka yang sudah ditentukan oleh tim kepresidenan sehingga usulan tokoh lintas agama dalam banyak hal tidak diadaptasi.

Menurut pengakuan Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah,  bahwa nama-nama yang  diajukan ternyata tidak diadaptasi oleh presiden. Selain itu juga yang diundang  terlalu banyak  sehingga dialog tersebut berjalan tidak sebagaimana  yang diinginkan. Selain itu proses dialog juga tidak dibuka untuk media, sehingga sessi press release juga hanya terbatas pada respon pemerintah saja.

Memang dipastikan akan ada perbedaan persepsi tentang kata “kebohongan”  di mata pemerintah dan tokoh lintas agama. Kata “kebohongan” tentu di mana saja memiliki makna negative, sehingga ketika kata itu digunakan untuk menyipati terhadap sesuatu, tentu  dapat dipastikan yang bersangkutan akan merasa gerah dan tidak enak. Kata ini memang menjadi wacana pasca reformasi. Di era kebebasan menyatakan pendapat ini, maka kata “kebohongan public” adalah kata yang sering dialamatkan kepada para pejabat atau elit penguasa tentang berbagai hal yang terkait dengan kekuasaannya.

Jika dinyatakan bahwa pemerintah melakukan kebohongan terkait dengan banyak hal, maka akan memiliki konsekuensi bahwa pemerintah melakukan manipulasi terhadap banyak hal tersebut. Tentang relasi antar umat beragama, maka dipastikan bahwa pemerintah memanipulasi tentang  kebebasan menjadi pengekangan atau intervensi. Yang dilakukan bukanlah memberi kebebasan akan tetapi melakukan pengekangan atau intervensi terhadap kebebasan itu sendiri.

Di dalam hal ini maka yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberi pembatasan ekspresi keagamaan melalui peraturan perundang-undangan. Freedom to act bisa saja dianggap tidak diperlukan dalam kaitannya dengan kebebasan beragama. Di dalam konteks ini, maka peraturan tersebut dibuat di dalam kerangka untuk mengatur relasi antar umat beragama dan bukan mengatur keberagamaannya sendiri.

Kemudian tentang  penanganan kasus-kasus hukum tentu juga dipastikan akan terdapat perbedaan yang signifikan antara pemerintah dengan tokoh lintas agama. Di dalam menghadapi kasus korupsi, maka juga ada perbedaan apakah ditangani oleh KPK atau kepolisian dan kejaksaan terlebih dahulu. Maka kata “kebohongan” juga mengandung makna bahwa pemerintah  membohongi masyarakat dengan proses dan prosedur hukum yang seharusnya dilakukan. Memang harus diakui bahwa di dalam mengangani kasis korupsi, maka ada banyak penegak hukum yang terlibat. Oleh karena itu, maka yang diperlukan adalah transparansi proses dan prosedur yang terkait dengan penanganan kasus dimaksud.

Jadi persoalannya bukan siapa terlebih dahulu melakukan apa, akan tetapi yang tepat adalah ranah apa yang diprioritaskan untuk penanganan kasus tersebut. Dalam kasus Gayus, maka yang diperlukan adalah bagaimana menyelesaikan kasus tersebut dan kemudian menghukum siapa saja yang bersalah dan terlibat di dalam hal ini.

Memang ada kesan bahwa pemerintah tidak sesegera menyelesaikan kasus ini. Di  dalam hal ini,  maka muncul dugaan bahwa pemerintah melakukan kebohongan tentang kasus yang sebenarnya tentang Gayus dimaksud.  Apakah ada actor besar yang terlibat di dalam kasus ini, sehingga pemerintah tidak sesegera mungkin untuk menyelesaikan kasus tersebut. Berbagai dugaan tersebut yang kemudian berakumulasi dengan kata “kebohongan”.

Bagi saya sesungguhnya bukan kata bohong atau tidak, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bahwa usaha untuk mengurai persoalan atau kasus tersebut sudah dilakukan dan apakah pilihan untuk menyelesaikannya sudah relevan dengan aturan perundang-undangan atau belum.  Selama semua perkara sudah diselesaikan sesuai dengan aturan bakunya, maka kata bohong tentu tidak akan ada di dalam konteks elit atau siapapun.

Namun demikian, selama upaya sudah dilakukan sesuai dengan proses dan prosedur aturan yang berlaku,  akan tetapi hasilnya belum maksimal, maka yang lebih tepat adalah  “kegagalan”. Namun demikian,  kita juga tidak boleh menutup mata tentang “keberhasilan” yang dicapai oleh pemerintah.

Melalui penilaian yang sepadan seperti ini, maka masing-masing tidak merasa tersinggung dengan ungkapan yang berbeda. Inilah sulitnya melakukan penilaian yang mengandung subyektivitas, sebab masing-masing akan mendasarkan penilaiannya berdasarkan atas konstruksi social yang dibangunnya.

Tetapi bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh tokoh lintas agama tersebut adalah kritik bagi pemerintah. Dan menurut saya kritik bagaimanapun pahitnya harus tetap ditanggapi dengan kerja keras. Kritik itu ibarat jamu, terasa pahit akan tetapi justru menyehatkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini