• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RESPON KRITIK TOKOH AGAMA ATAS KEBEBASAN AGAMA

Pemerintah memang sedang menuai banyak kritik. Dan salah satu kritik yang sangat serius justru datang dari para tokoh lintas agama. Selama ini,  memang jarang tokoh lintas agama memasuki kawasan sacral pemerintahan terutama yang terkait dengan kritik terhadap kinerja pemerintahan.  Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata mereka justru melakukan kritik yang cukup pedas, yaitu kebohongan pemerintah di dalam 18 masalah, baik masalah masa lalu maupun masa sekarang.

Di dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas satu kritikan tokoh lintas agama, yaitu kebohongan pemerintah di dalam kebebasan beragama. Tentang kerukunan beragama memang harus diberi catatan khusus sebab di sinilah persoalan dianggap serius oleh tokoh lintas agama. Dan barangkali juga di tempat inilah sesungguhnya kritikan itu sangat relevan dengan fungsi dan posisi tokoh lintas agama.

Wilayah agama memang menempati ruang  yang sangat special di dalam kehidupan bermasyarakat. Di sinilah sesungguhnya ada “pertarungan” keyakinan yang tidak mudah dan memang tidak bisa dikompromikan.  Ada dunia sacral  yang sangat bertentangan, baik secara teoretis maupun praksis. Di sinilah sebenarnya wilayah yang yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.  Bahkan di dalam sejarah agama-agama, juga sangat banyak didapati berbagai kekerasan yang menjurus pada peperangan dan pembunuhan.

Pertanyaan yang paling sulit dijawab adalah tentang kebebasan. Apakah yang dimaksudkan oleh yang berkepentingan tentang kebebasan itu? Apakah kebebasan yang mutlak tanpa kendali ataukah kebebasan yang tetap berada di dalam koridor aturan perundang-undangan?  Pangkal persoalan adalah pada dimensi tafsir orang tentang kebebasan tersebut.

Sebagai hak asasi manusia yang paling dasar, maka kebebasan merupakan  hak dasar setiap orang, termasuk hak untuk beragama. Akan tetapi apakah kebebasan beragama juga menjadi kebebasan mutlak yang tidak bisa ada sedikitpun aturan yang mengatur kebebasan itu di dalam relasi antar manusia atau masyarakat.

Saya sampai saat ini masih beranggapan bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan mutlak setiap orang. Artinya orang boleh beragama apa saja sesuai dengan keyakinannya. Akan tetapi kebebasan itu juga dibatasi oleh kenyataan kehidupannya dengan masyarakat lainnya.  Seseorang tidak hidup sendiri di dunia ini kecuali hidup dengan manusia lainnya yang juga menganut agama tertentu.

Makanya, aturan bermasyarakat di dalam relasi antar umat beragama juga memang diperlukan. Misalnya tentang ketidakbolehan untuk melakukan pelecehan terhadap agama yang diyakini kebenarannya. Pelecehan tentu saja adalah hasil tafsir seseorang atau sekelompok orang tentang  sesuatu yang dianggap melecehkan. Di sinilah kontradiksi juga sering dianggap menjadi penyebab terjadinya ketidaksamaan tafsir tersebut.

Contoh yang paling konkrit adalah tentang hasil survey yang dilakukan oleh Arswendo Atmowiloto tentang  pencantuman nama Nabi Muhammad saw di bawah sejumlah nama lainnya. Maka kemudian muncullah tafsir yang berbeda, yaitu ada yang menganggap hal tersebut sebagai pelecehan dan di sisi lain dianggap sebagai warning tentang posisi Nabi Muhammad saw dalam dunia sosial. Di dalam hal seperti ini, maka yang sungguh menentukan adalah perasaan sosial atau kesadaran sosial tentang kasus tersebut.  Jika ada yang merasakan ternodai dengan hal ini, maka tentu akan membuat masalah sosial. Jadi tidak hanya sekedar  posisi Nabi Muhammad saw, akan tetapi juga bagaimana perasaan dan kesadaran masyarakat tentang  posisi tersebut. Dengan demikian, menjaga perasaan dan kesadaran masyarakat menjadi penting untuk dipertimbangkan di dalam melakukan tindakan yang terkait dengan keyakinan dan ritual beragama.

Yang  sering menjadi masalah juga persoalan munculnya nabi-nabi baru di dalam komunitas beragama. Persoalan ini bukan hanya sekedar kebebasan beragama, akan tetapi terkait dengan kehidupan bermasyarakat yang berada di dalam pigura kehidupan beragama.  Jika hanya menggunakan hak asasi tentang kebebasan beragama, maka pasti ada sesuatu yang terlupakan bahwa nabi baru tersebut berada di dalam koridor kehidupan sosial yang dinamik. Makanya, yang menjadi dasar bagi pelarangan hal ini tentu saja adalah dimensi kesadaran dan perasaan beragama yang terusik. Di dalam hal ini tentu akan berimplikasi pada  kerukunan beragama.

Hal lain yang juga menjadi masalah adalah persoalan pendirian tempat ibadah. Inilah masalah yang paling rumit di dalam relasi antara umat beragama. Kita tidak bisa semata-mata menggunakan kebebasan beragama untuk mendirikan tempat ibadah sebagaimana yang kita inginkan. Di sinilah freedom to act lalu menjadi penting. Harus ada seperangkat aturan yang menjamin bahwa pendirian tempat ibadah  tersebut tidaklah menyebabkan disintegrasi sosial. Makanya, ketika mendirikan tempat ibadah juga harus dipertimbangkan adalah dimensi disintegrasi social dimaksud. Jadi, tetap harus dipertimbangkan  aturan yang mendasari tentang pendirian tempat ibadah dimaksud.

Memang akhir-akhir ini ada beberapa persoalan yang menyangkut tentang  relasi antar umat beragama, terutama yang terkait dengan tuntutan akan kebebasan ekspressi keagamaan. Misalnya terjadinya kekerasan agama yang dilakukan oleh sekelompok penganut agama yang radikal.  Mereka inilah yang di dalam banyak hal melakukan tindakan  agama yang “memaksa” terhadap kelompok lain. Sehingga mereka juga bisa mengganggu terhadap keharmonisan umat beragama.

Terhadap kelompok inilah yang sering dianggap bahwa pemerintah melakukan pembiaran.  Memang terhadap realitas empiris ini, pemerintah sepertinya melakukan pembiaran dengan kurang greget melakukan investigasi dan penindakan terhadap mereka yang dianggap telah melakukan tindakan kekarasan agama.     Misalnya kasus perusakan terhadap kampung Ahmadiyah di berbagai wilayah.  Apapun yang terjadi bahwa kaum Ahmadiyah adalah warga negara yang memang perlu memperoleh kepastian hukum.  Dengan demikian, hak-hak sipilnya juga tentu harus dilindungi.  Sedangkan persoalan keyakinan agamanya, maka harus dilakukan bimbingan secara memadai.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa di dalam persoalan kebebasan agama, maka pemerintah sudah melakukan sesuatu, misalnya dengan merumuskan aturan perundang-undangan, hanya saja aplikasi di lapangan yang kiranya memang masih membutuhkan penguatan.

Jadi, ungkapan “kebohongan” saya rasa harus dilihat ulang, sebab kita juga tetap harus mengapresiasi usaha pemerintah untuk mengedepankan kerukunan beragama. Jadi yang positif tetap harus diapresiasi dan yang kurang tentunya harus dilakukan perbaikan.

Saya kira, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk memberikan respon positif terhadap kritik tokoh lintas agama tersebut, sehingga jawaban atas kritik tersebut bukan secara emosional tetapi rasional-fungsional.  Dan melalui  sinergi yang baik dari berbagai komponen bangsa ini, saya berkeyakinan bahwa hal itu akan dapat dicapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini