POLITIK MELAWAN KETIDAKADILAN
Manusia sebagai zoon politicon saya rasa memang ungkapan yang sangat cocok untuk menggambarkan perilaku manusia di dalam kehidupannya. Manusia adalah makhluk politik. Memang, manusia sesungguhnya adalah makhluk politik yang luar biasa. Disebabkan oleh kepemilikan rasio yang bisa mengantarkannya untuk berpikir rasional, maka manusia memang bisa menjadi makhluk politik yang luar biasa.
Ada banyak peristiwa tragedi dan heroik yang disandang oleh manusia karena zoon politicon ini. Ada kekerasan, peperangan dan tragedi berdarah yang dibuat oleh manusia dalam relasinya dengan sesame manusia lainnya. Tetapi disisi lain juga terdapat kecenderungan untuk melakukan tindakan kerukunan antara sesama manusia. Inilah uniknya manusia sebagai zoon politicon dimaksud.
Tragedi itu ada di sepanjang sejarah manusia. Dalam cerita teks-teks suci disebutkan bahwa tragedy pertama manusia terjadi ketika Qabil putera Nabi Adam a.s, membunuh saudaranya Habil yang disebebkan oleh iri dan dengki. Di dalam cerita itu disebutkan bahwa Habil yang selalu patuh dan tunduk kepada hokum Tuhan, maka apa yang dilakukannya selalu memperoleh ridhanya. Sementera dirinya hamper tidak pernah memperoleh ridhanya.
Di dalam konsepsi Jawa, ada tiga hal yang sering menjadi penyebab tragedy, yaitu: harta, tahta dan wanita. Sering terjadi pertumpahan darah disebabkan oleh perebutan harta. Meskipun bersaudara, orang bisa saling membunuh karena harta. Kemudian juga disebabkan oleh tahta, sehingga seseorang bisa saling membunuh dan bahkan terjadi peperangan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga wanita tentu bisa menjadi sebab terjadinya konflik yang keras.
Di dalam sejarah kehidupan ini, maka yang paling sering menyebabkan peperangan adalah tahta atau kedudukan atau kekuasaan. Kerajaan Singasari yang sangat kuat juga menjadi hancur karena peperangan di dalam perebutan tahta. Bahkan di dalam kisah pusaka Empu Gandring, maka juga disebutkan bagaimana perbutan para pembesar keratin yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Tunggul Ametung mati oleh Ken Arok yang juga mati oleh Anusapati yang juga mati oleh Tohjoyo dan seterusnya. Tidak berhenti di situ, kerajaan ini juga hancur di tangan Jayakatwang yang menghancurkan Kertanegara. Kemudian Majapahit yang sangat digdaya juga hancur karena perang Paregrek.
Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa dan juga di tempat lain menggambarkan bahwa dunia kekuasaan adalah dunia yang paling rawan terhadap kekerasan politik dan social. Bisa dinyatakan bahwa perang adalah tradisi di dalam upacara perebutan kekuasaan yang selalu terjadi di dalam prosesi penyelenggaraan kekuasaan.
Sejarah modern juga menggambarkan tentang betapa kekarasan selalu menyertai diri di dalam kekuasaan. Tragedy PKI (1926, 1948, 1965) di dalam setiap fase juga menggambarkan bahwa selalu ada upaya untuk melalukan perebutan kekuasaan yang dianggap sebagai instrument untuk mencapai tujuan. Atas nama tujuan politik kekuasaan, maka orang atau sekelompok orang melakukan tindakan yang disebut sebagai perang.
Di alam demokrasi, maka sejauh mungkin perang bisa dihindari. Makanya di dalam demokrasi lalu ada kontrak politik antara yang berkuasa dan yang dikuasai atau antara pemerintah dan rakyat. Kontrak politik tersebut disebut sebagai keadilan dan kesejahteraan. Maka setiap Negara dibentuk untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh segenap rakyatnya.
Pertanyaan kita yang paling mendasar adalah adakah selama kita merdeka kemudian sudah merasakan keadilan dan kesejahteraan tersebut. Maka jawabannya adalah relative. Artinya, mungkin ada yang sudah merasakan dan ada yang belum.
Akhir-akhir ini banyak hal yang dirasakan sebagai ketidakadilan dan ketidaksejahteraan. Ada contoh kasus yang sangat mengedepan tentang ketidakadilan itu, misalnya Kasus Gayus Tambunan. Karena uang yang dimilikinya, maka yang bersangkutan bisa melakukan apa saja meskipun yang bersangkutan berada di dalam tahanan. Bisa ke berbagai Negara untuk pelesir. Inilah yang mengusik rasa ketidakadilan tersebut. Ada seorang Ibu tua yang mengambil barang dengan nilai puluhan rupiah bisa dihukum, akan tetapi ada orang yang melakukan kecurangan besar tetapi sama sekali tidak tersentuh hokum.
Di sini, maka tragedi itu tidak berupa perang akan tetapi berupa tragedi ketidakadilan. Artinya bahwa masih dijumpai banyak ketidakadilan tersebut di dalam kehidupan berbangsa. Itulah sebabnya, perangkat keadilan tentu harus menjadi semakin berwibawa di dalam menghadapi kenyataan hidup yang masih menggambarkan tragedy ketidakadilan dimaksud.
Jika di masa lalu orang bisa berperang secara actual di dalam memperebutkan kekuasaan, maka sekarang sesungguhnya juga terjadi peperangan simbolik di dalam memperebutkan ranah kekuasaan. Hanya sayangnya bahwa tujuan perebutan akses kekuasaan itu tidak untuk tujuan memperoleh keadilan dan kesejahteraan akan tetapi lebih banyak untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Wallahu a’lam bi al shawab.