MELESTARIKAN SEMANGAT KEBANGSAAN GUS DUR
Pemikiran dan aksi Gus Dur dalam semangat kebangsaan memang akan terus dikenang. Betul sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan budi dan jasa. Dan jasa Gus Dur yang tidak akan lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas adalah jasa beliau tentang nasionalisme, kebangsaan, pluralisme dan multikulturalisme. Semuanya ini menandakan tentang bagaimana Gus Dur memandang Indonesia di dalam kerangka Negara bangsa di tengah pergulatan dunia yang semakin global.
Sebagaimana diungkapkan oleh M.Mahfud MD., bahwa kenangannya yang tidak bisa dilupakan adalah ketika beliau akan dilengserkan oleh sekelompok orang dari tampuk kemimpinan nasional, maka beliau menghadapi dengan pandangan yang sangat rasional dan penuh tanggungjawab sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Ketika beliau ditawari agar membuat keputusan politik untuk mengubah Indonesia menjadi Negara agama dan beliau akan memperoleh dukungan secara maksimal dari ekponen yang memperjuangkan berdirinya Negara agama, maka beliau dengan tegas menyatakan lebih baik beliau jatuh dari kursi kepresidenan dan tidak menjadi presiden Republik Indonesia.
Sama halnya juga beliau ditawari untuk melakukan koalisi partai dan mereposisi menteri-menteri dari partai politik, maka beliau juga menyatakan bahwa “kewenangan” untuk menentukan menteri adalah hak prerogative presiden sebagaimana tertuang di dalam system pemerintahan presidensiil. Menurut beliau bahwa kita harus mematuhi Undang-Undang yang sudah disepakati bersama. Memperjuangkan reformasi harus total dan tuntas. Jangan setengah-setengah.
Semua akhirnya menjadi tahu bahwa Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan dan menjadi presiden rakyat. Bahkan juga Muhammad Zakky menulis buku “Gus Dur Presiden Republik Akherat”. Gus Dur itu memang seorang yang bisa memberikan inspirasi di dalam banyak hal. Jika banyak orang lain yang berbeda dalam pemikiran dengan lainnya, maka Gus Dur itu agak berbeda. Dia bisa melakukan sesuatu yang menurut orang lain tidak bisa dilakukannya. Ketika orang mencela Pak Harto, maka beliau tidak pernah melakukannya. Meskipun beliau adalah orang yang “didlolimi” oleh Orde Baru tetapi tidak serta merta beliau menjelek-jelekannya. Beliau memang memiliki sesuatu yang berbeda tetapi khas dan itulah yang menjadi ciri-cirinya.
Hari Senin, 10 Januari 2011, saya mengikuti acara Seminar Lintas Agama yang diselenggarakan oleh Panitia Lintas Agama dalam kerangka memperingati Setahun Wafat Gus Dur. Acara ini diselenggarakan di Hotel Borobudur Jakarta dengan dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai suku, etnis dan agama. Selain itu juga hadir tokoh-tokoh nasional yang mendukung terhadap gagasan kebangsaan dan multikulturalisme Gus Dur.
Di kalangan kerabat dan keluarga Gus Dur, maka hadir KH. Sholahuddin Wahid, dan Ibu Shinta Nuriyah. Dan kemudian dari sahabat Gus Dur, hadir antara lain Prof. Dr. M. Mahfud MD., Prof. Franz Magnis Suseno, Prof. Ven. Chin Kung, Try Sutrisno, BR. Indra Udayana, HS. Bingky Setiawan, Pendeta Dr. Bambang Widjaja, dan sejumlah tokoh lain yang mendukung acara ini.
Acara ini memang digelar dengan semangat mengusung kebangsaan dan multikulturalisme yang sekarang sedang memperoleh tantangan yang cukup tinggi. Ada sekolompok orang yang sering bersuara lantang tentang perlunya perubahan-perubahan system kenegaraan dan berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai Negara agama. Makanya, menurut M. Mahfud, MD., bahwa masyarakat Indonesia ini beruntung sebab memiliki platform dasar negara yang tidak kalah dengan system kenegaraan manapun. Indonesia bukan Negara secular dan juga bukan Negara agama, akan tetapi Negara yang menjadikan agama sebagai basis moralitas penyelenggaraan negaranya.
Pancasila yang menjadi dasar Negara merupakan suatu keunikan yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun. Gus Sholah menyatakan bahwa melalui Negara yang berbasis ketuhanan, persatuan dan kesejahteraan adalah ciri khas Negara Indonesia yang unik. Melalui Pancasila, maka masyarakat Indonesia yang majemuk merasa memperoleh tempat yang sama sebagai warga Negara. Tidak ada dominasi mayoritas dan tirani minoritas, sebab semua merasakan berada di dalam rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meneruskan semangat Gus Dur berarti menjadikan Indonesia yang plural dan multicultural sebagai dasar untuk melakukan tindakan apapun di dalam koridor Negara dan bangsa Indonesia. Makanya, agar terjadi kerukunan, keharmonisan dan keselamatan bagi bangsa Indonesia, maka yang diperlukan adalah saling memahami antara satu dengan yang lain.
Di dalam kerangka membangun kerukunan hidup bagi bangsa Indonesia, maka yang penting adalah membangun sikap dan tindakan co-eksistensi dan kemudian dilanjutkan pada sikap dan tindakan pro-eksistensi. Melalui pemahaman seperti ini, maka akan mengurangi dan bahkan kemudian menghilangkan prejudice antara satu dengan lainnya. Jika bisa seperti ini, maka akan muncul trust antara satu dengan lainnya.
Oleh karena itu pekerjaan kita ke depan adalah bagaimana membangun kesepahaman akan pentingnya menjaga dan melestarikan kehidupan bersama di dalam wadah NKRI, yang memang telah menjadi pilihan terbaik bagi bangsa ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.