PERAN ILMUWAN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
Membaca Tempo, tentang International Summit 2010 di gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta 16-18 Desember 2010, rasanya kita bisa memahami tentang bagaimana peranan ilmuwan di dalam pembangunan bangsa. Di dalam acara yang digelar dengan paket pertemuan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional tersebut seakan menegaskan bahwa peranan para ilmuwan di dalam pembangunan bangsa ternyata sangat signifikan.
Bukankah selama ini tidak diketahui secara pasti tentang bagaimana kiprah para ilmuwan Indonesia di berbagai belahan dunia. Memang dipahami bahwa banyak ilmuwan Indonesia yang kemudian mengembangkan keahliannya di luar negeri, namun sesungguhnya apa peran mereka di dalam pengembangan negara yang ditempatinya untuk bekerja hampir tidak diketahui secara pasti.
Namun demikian melalui International summit ini akhirnya dapat dijelaskan bahwa peran mereka di dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk menyumbang peningkatan kualitas masyarakat bangsa dan lembaga di mana mereka bekerja ternyata luar biasa. Para ilmuwan tersebut ternyata telah menjadi ikon di berbagai belahan dunia tempat kerjanya.
Di dalam dunia pendidikan, ternyata tidak sedikit ilmuwan Indonesia yang berkiprah di perguruan tinggi ternama di luar negeri, dari Bahrain sampai Swedia. Begitu catatan Tempo. Berdasarkan pelacakan majalah Tempo, “Berlian yang Berserak” tersebut kira-kira berjumlah 2000 orang. Ilmuwan tersebut bekerja di kampus atau lembaga riset luar negeri. Mereka melintasi batas Negara dan menembus “benteng” ilmu di luar negeri. Tak semata memburu dolar. (Tempo, 3-9/01/2011).
Mereka bekerja di perguruan tinggi top luar negeri, misalnya University of California Barkeley, Max Planck Institute for Astronomy, Jerman, Cornell University, Monash University, Flinders University, Waseda University Japan, University Kebangsaan Malaysia, dan sebagainya. Bahkan di Malaysia diperkirakan terdapat sebanyak 350 ilmuwan yang bekerja di PT di sana.
Memang harus diakui bahwa kualitas perguruan tinggi di Indonesia masih kalah dibandingkan perguruan tinggi di luar negeri termasuk PT di Asia. Kampus terbaik Indonesia, seperti UI, ITB, UGM dan sebagainya masih kalah dibandingkan dengan beberapa PT di Malaysia, Singapura atau Thailand. Chulalongkorn University di Thailand, atau University Malaya di Malaysia atau National University of Singapore tentu jauh lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan perguruan tinggi terbaik Indonesia.
Mereka tentunya bukan tidak mau mengabdikan ilmunya untuk pengembangan ilmu pengetahuannya di PT Indonesia, akan tetapi terkadang karena factor kepercayaan yang kurang besar kepada para ilmuwan tersebut yang menyebabkan mereka mengabdi di PT luar negeri. Makanya, kemudian banyak ilmuwan yang kemudian tertarik untuk mengabdikan ilmunya di perguruan tinggi terbaik tersebut. Misalnya, Irwandi Jaswir adalah contoh tentang bagaimana talenta muda tersebut tidak bisa digunakan oleh almamaternya. Dia tidak bisa menjadi dosen, sebab masih banyak dosen senior yang mengajar disana, sehingga akses untuk mengajar pun seakan tertutup. Kemudian datanglah tawaran untuk mengajar di Internastional Islamic University Malaysia dan bahkan dia diberi kesempatan untuk mengembangkan prodi baru sesuai dengan keahliannya. Dia dipercaya dengan otoritas sangat besar untuk mengembangkan ilmunya melalui prodi dimaksud. Makanya dia rancang seluruh bangunan keilmuan tersebut sesuai dengan keahliannya.
Penghargaan yang besar seperti ini yang kemudian menyebabkan banyak ilmuwan yang kemudian mengembangkan ilmunya bukan di PT Indonesia tetapi di PT luar negeri. Selain itu dana riset di PT Malaysia juga lebih mudah diakses dan tidak bertele-tele. Jumlahnya pun besar misalnya untuk riset entang kanker,maka dia memperoleh anggaran 1,2 milyar, dalam satu kali penelitian.
Tentu tidak semua menjalani kehidupan sebagaimana Irwandi. Ada yang tentu semata-mata karena pekerjaannya menuntut untuk mengembangkan riset di luar negeri. Disebabkan oleh banyaknya riset yang dilakukan oleh negeri Jiran, maka jumlah paten dari hasil penelitian Malaysia bisa menghasilkan sebanyak 218 paten, sementara Indonesia hanya menghasilkan tujuh paten pada tahun 2009. Seorang Ilmuwan dari Indonesia yang bekerja di University Teknologi Malaysia bisa menghasilkan 40 paten.
Membaca tentang hal ini, maka sebagai bangsa yang sedang membangun lalu harus bertanya, apakah dana penelitian di negeri ini sudah bisa disejajarkan dengan Negara Asia, misalnya Malaysia. Jawabannya saya rasa belum. Negeri ini baru tahun 2007 menganggarkan pendidikan yang relative memadai. Akan tetapi kebanyakan dana belum digunakan untuk riset akan tetapi untuk perbaikan kesejahteraan para guru dan dosen. Jadi kita memang masih pada tahapan ini.
Jadi ke depan saya rasa harus ada keberpihakan pemerintah untuk menjadikan riset sebagai panglima, sehingga sumbangan para ilmuwan akan lebih kentara. Ilmuwan perlu didorong untuk melakukan penelitian dan bukan menjadi politisi.
Wallahu a’lam bi al shawab.