• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN KESEPAHAMAN TENTANG INTEGRASI ILMU

Di dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama, yaitu Subdit Kerjasama dan Pengembangan Kelembagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 05/01/2011, maka ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh Dr. Djamhari, PR1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara ini digelar dalam rangka untuk mendiskusikan proposal pengajuan perubahan IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel.

Yang menarik dari ungkapan Dr. Djamhari adalah bahwa integrasi kelembagaan dan akademis di seklah dasar dan menengah di Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional sudah tuntas, sehingga sudah tidak ada lagi perbedaan akademis dan kelembagaan di lembaga pendidikan tersebut. Secara akademis sudah tidak ada lagi perbedaan antara Sekolah Dasar dengan Madrasah Ibtidaiyah, atau antara SMP dan Madrasah Tsanawiyah dan antara SMA dengan Madrasah Aliyah. Secara akademis semuanya sudah setara tanpa ada perbedaan sama sekali.

Jika ada perbedaan hanyalah pada naungan lembaga pendidikan dimaksud, yaitu SD, SMP dan SMA di Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan MI, MTs dan MA berada di Kementerian Agama. Dua lembaga ini memang secara institusional memiliki wewenang untuk mengelola pendidikan dengan catatan bahwa terdapat koordinasi yang memadai baik secara akademis maupun lainnya.

Sebagai gambaran tidak ada dikhotomi tersebut adalah dengan keharusan siswa MI, MTs, MA untuk mengikuti ujian nasional (UN) yang dianggap sebagai barometer kualitas pendidikan di Indonesia. Sudah ada penyerataan akademis di dalam penyelenggaraan pendidikan tersebu. Jika ada perbedaan tentu yang menyangkut kepentingan penekanan pada kurikulum di antara lembaga pemerintah dan non pemerintah yang mengusung pendidikan tersebut.

Hal ini sangat berbeda dengan lembaga pendidikan tinggi, di mana dikhotomi tentang pendidikan umum dan agama itu masih sangat kentara. Masih ada yang beranggapan bahwa lembaga pendidikan di Kementerian Agama hanya mengusung pendidikan agama, sedangkan di Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan pendidikan umum. Dikhotomi inilah yang sesungguhnya ingin dihilangkan dengan kehadiran UIN di negeri ini.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengusung mimpi besar untuk menghilangkan dikhotomi keilmuan, maka tentu juga banyak kritikan, misalnya menyangkut wewenang kelembagaan. Artinya ahwa pandangan bahwa Kementerian Agama hanya mengurus pendidikan agama saja tentu masih sangat kuat. Atau lebih lenjut memunculkan pertanyaan apa yang menjadi urusan kementerian agama, sehingga harus menurus pendidikan umum.

Pertanyaan ini sesungguhnya sudah dijawab dengan adanya pemilahan format akademis masing-masing kementerian.  Persoalan akademis umum menjadi tanggungjawab Kementerian Pendidikan Nasional dan persoalan akademis ilmu keagamaan berada di Kementerian Agama. Melalui skema ini, maka masing-masing memiliki otoritas akademis yang diembannya. Jadi tidak terjadi overlap di antara dua lembaa tersebut.

Dengan demikian, jika ada PTAIN yang akan membuka program studi umum, maka yang bersangkutan harus memperoleh rekomendasi dari kementerian pendidikan nasional.  Sedangkan jika ada PTN yang akan membuka program studi agama, maka harus memperoleh rekomendasi dari kementerian agama. Jadi melalui pemilahan ini, maka sesungguhnya sudah tidak ada lagi persoalan yang mengganjal.

Hanya saja ketika IAIN akan konversi ke UIN maka kendalanya relative banyak. Misalnya kendala dosen yang harus dipenuhi oleh IAIN untuk melakukan konversi tersebut. Sebab sudah menjadi aturan bahwa bagi lembaga yang akan mendirikan program studi maka harus memenuhi 6 dosen yang berstandart pendidikan S2 dan liner. Inilah problem yang masih cukup rumit apalagi jika ditetapkan bahwa dosen tersebut haruslah dosen tetap atau PNS.

Inilah yang harus dicarikan solusinya, misalnya dengan kesepahaman bahwa satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU) tentu memiliki kewenangan untuk mengangkat karyawan atau dosen tetap PK BLU dan bisa menjadi syarat untuk mendirikan program studi baru, misalnya di bidang Sain dan Teknologi.

Oleh karena itu,maka sungguh diperlukan kearifan  di dalam menyikapi persoalan ini agar ke depan terdapat kesempatan untuk mengembangkan sayap pendidikan tinggi yang akan dapat memberikan akses bagi lulusan MA atau sejenis yang tidak mampu untuk bersaing memasuki lembaga pendidikan yang sudah maju.

Wallahu a’lam bi alshawab.

Categories: Opini