MENJADI UIN: LANGKAH LANJUTAN
Hari ini, Rabo, 5/01/2011, di Kementerian Agama dilaksanakan kegiatan diskusi tentang Pengembangan Kelembagaan UIN/IAIN/STAIN dengan paket kegiatan “Mendiskusikan Rencana IAIN Sunan Ampel untuk Konversi ke UIN Sunan Ampel.” Memang secara sengaja Tim IAIN Sunan Ampel diundang oleh Kasubdit Bidang Kerja Sama dan Pengembangan Kelembagaan Dirjen Pendis Kementerian Agama RI.
Tim IAIN Sunan Ampel terdiri dari Rektor, Prof. Dr. Nur Syam, Msi, PR1, Prof. Dr. Abd. A’la, MAg, Ahmad Muzakki, MA, MAg, PhD., Dr. Fathoni Hasyim, MAg dan Drs. Abdullah Rafiq. Yang diundang dari antardepartemen adalah Direktur Agama dan Pendidikan Bappenas, Dr. Taufiq Hanafi, dan kemudian dari Direktur Kelembagaan Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional, Direktur Diktis Kementerian Agama RI, Dr, Jamhari, PR1 UIN Jakarta dan pejabat terkait.
Saya merasa sangat gembira dengan undangan ini, sebab momentum untuk mendiskusikan proposal konversi IAIN ke UIN sebenarnya sudah lama diancangkan. Gagasan tentang perubahan IAIN ke UIN juga sangat lama direncanakan. Misalnya di dalam rapat Senat IAIN Sunan Ampel pada awal tahun 2009 juga sudah menyetujui perubahan nomenklatur fakultas agar dibuka secara lebih luas. Perubahan tersebut misalnya untuk mengadaptasi perkembangan baru tentang prodi-prodi baru yang “belum” memiliki rumah.
Melalui wider mandate, maka IAIN Sunan Ampel memiliki kesempatan untuk membuka prodi umum, seperti Sosiologi, Piskhologi, Komunikasi, Pendidikan Matematika, ilmu politik, sastra Inggris, Bahasa Indonesia dan sebagainya yang seakan-akan belum memiliki rumah besar. misalnya prodi Sosiologi, Psikhologi dan Komunikasi berumah di Fakultas Dakwah, sehingga terasa kurang match. Pernah menjadi “guyonan”, ada mahasiswa yang lulus di prodi sosiologi dan kemudian mencari fakultasnya ternyata tidak ketemu, sebab tidak ada fakultas Ilmu Sosial, yang ada adalah fakultas Dakwah. Demikian pula yang lulus sastra Inggris, dia mencari fakultasnya juga tidak ketemu, sebab yang ada adalah fakultas Adab.
Maka, Senat IAIN Sunan Ampel lalu merumuskan agar dilakukan perubahan nomenklatur fakultas, misalnya Fakultas Dakwah menjadi Fakultas Dakwah menjadi Fakultas Dakwah dan Ilmu Sosial, Fakultas Adab menjadi Fakultas Adab dan Humaniora dan seterusnya. Perubahan ini tentu saja dikaitkan dengan kebutuhan akan rumah yang jelas bagi prodi wider mandate tersebut.
Akan tetapi pada tahap berikutnya, bukan hanya perubahan nomenklatur yang diinginkan akan tetap adalah perubahan institusi, yaitu dari IAIN Sunan Ampel akan berubah menjadi UIN Sunan Ampel. Maka pada akhir tahun 2009 disusunlah kelompok kerja (pokja) untuk merumuskan proposal konversi tersebut, dengan tim pokja yang diketuai oleh PR1. Tim ini telah bekerja keras untuk mewujudkan proposal yang dirasakan memenuhi persyaratan akademis dan administratif.
Di sela-sela perumusan proposal tersebut, maka negosiasi juga dilakukan kepada pihak-pihak yang dianggap memiliki power untuk mendorong perubahan ke UIN. Kepada Pak Menteri Agama, Suryadarma Ali, juga dilakukan berbagai perbincangan di sela-sela saya mengantar Beliau dalam kunjungan ke Jawa Timur. Yang menggembirakan bahwa beliau tidak menolak keinginan tersebut. Berbeda dengan Pak Menteri Agama yang lama, Dr. Maftuh M. Basuni yang memang secara terang-terangan menolak konversi ke UIN kecuali yang sudah terlanjur. “Hanya ada enam UIN saja,” begitulah pandangan Beliau.
Negosiasi juga dilakukan dengan Komisi VIII dan Komisi X. Dengan komisi VIII juga saya sampaikan keinginan konversi ke UIN tersebut. Dalam salah satu Rapat dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI juga saya sampaikan hal tersebut dan kemudian menghasilkan Rekomendasi yang salah satunya berbunyi: “mendorong Kementerian Agama untuk membuka akses bagi IAIN/STAIN yang memenuhi syarat akademis dan administratif untuk berubah menjadi UIN”. Rekomendasi ini menjadi penguat niat dan komitmen untuk melakukan konversi ke UIN Sunan Ampel.
Bahkan kemudian Komisi X DPR RI yang diketuai oleh Hery Ahmadi juga menyempatkan berkunjung ke IAIN Sunan Ampel untuk memastikan kesiapan IAIN Sunan Ampel untuk menjadi UIN. Di dalam pertemuan itu juga saya sampaikan tentang betapa IAIN Sunan Ampel sangat layak menjadi UIN karena persyaratan akademis dan administratif sudah bisa dianggap memenuhi syarat. Proposal telah diselesaikan oleh pokja dan tinggal mendiskusikannya di kemenag. Tanda-tanda persetujuan dari Komisi X DPR RI juga didapatkan dengan komitmen akanmembentuk panitia kerja (panja) khusus untuk pendidikan keagamaan.
Hari ini, saya akan mempresentasikan proposal konversi ke UIN. Hal itu berarti bahwa ada kesempatan untuk mendialogkan keinginan berkembang. Melalui pemberian kesempatan diskusi proposal tersebut tentu menjadi momentum yang sangat baik sebab berarti kementerian agama memberikan kesempatan bagi IAIN Sunan Ampel untuk “unjuk” potensi perubahan dan perkembangan.
Saya rasa bahwa sudah pantas IAIN Sunan Ampel berubah ke UIN, sebab melalui perubahan ini maka akses terhadap pendidikan keagamaan yang menyelenggarakan program umum akan menjadi kenyataan. Ada banyak lulusan pesantren yang sangat baik yang tidak bisa berkompetisi di institusi pendidikan di Indonesia, seperti UI, ITB, ITS, UNAIR dan sebagainya. Maka UIN lah yang menjadi tempat mereka untuk mengakses pendidikan berkualitas tetapi terjangkau.
Namun demikian, melalui berdirinya UIN tentu tidak boleh meminggirkan ilmu keislaman yang sementara ini menjadi core pendikan keislaman. Untuk itu maka upaya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan program Islamic studies tetap harus menjadi prioritas.
Dan saya kira semua stake holder lembaga pendidikan tinggi Islam harus memiliki komitmen untuk mengembangkan ilmu keislaman yang telah menjadi warisan generasi emas pengembangan ilmu keislaman di masa lalu tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.