• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGENDA POLITIK 2011

Tahun 2010 sudahlah lewat. Tanpa terasa satu tahun sudah terlewati. Dan di dalam satu tahun itu tentu sudah banyak hal yang kita capai, baik yang positif maupun yang negative. Kita tentu harus bersyukur ketika kita bisa mencapai sesuatu yang positif dan tentu harus berpikir ulang ketika ada capaian kita yang masih negative.

Saya beberapa kali menulis bahwa tahun baru adalah saatnya kita melakukan instrospeksi terhadap apa yang kita telah lakukan pada  tahun 2010 dan kemudian berpikir apa yang sebaiknya dan seharusnya kita lakukan di tahun 2011. Memang hingga hari ini masih banyak yang berpikir bahwa tahun baru adalah saatnya untuk hura-hura. Banyak orang  yang melupakan bahwa justru pada awal tahun baru itulah saatnya untuk bermuhasabah, memperhitungkan dengan cermat apa yang sesungguhnya terjadi pada tahun 2010.

Di bidang politik, selama tahun 2010 terjadi sebanyak 244 pilihan kepala daerah (pilkada). Artinya hampir setiap hari terjadi pilkada. Dan selama terjadi pilkada tersebut, maka menurut Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) terjadi sebanyak 1.179 pelanggaran, baik pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana. (JP, 23/12/2010).  Dan yang mencengangkan bahwa dari angka tersebut ternyata yang menjadi mayoritasnya, 572 kasus adalah pelanggaran pidana. Kemudian terjadi pelanggaran etik sebanyak 16 kasus. Di ranah administratif, pelanggaran yang paling banyak adalah pelanggaran yang dilakukan saat kampanye atau masa tenang dengan jumlah kasus sebanyak 645 pelanggaran.

Jika melihat angka tersebut,  maka pelaksanaan pilkada sebagai bagian dari proses demokrasi belumlah menapaki demokrasi secara ideal. Dengan kata lain, bahwa demokrasi kita masih compang-camping. Demokrasi ideal untuk rekruitmen kepemimpinan yang terbaik belumlah sesuai dengan harapan banyak orang.

Demokrasi di negeri ini telah berjalan dalam waktu yang cukup panjang. Ada saatnya demokrasi tersebut bercorak demokrasi seolah-olah atau demokrasi hanya formalitas saja tetapi substansinya otoriterisme, seperti di era Orde Baru. Dan kemudian semenjak Era Reformasi, maka demokrasi berjalan dengan relnya sendiri, yaitu demokrasi langsung. Telah selama 11 tahun kita menjalankan demokrasi langsung tersebut.

Namun selama 11 tahun itu pula kita telah melihat plus minus pelaksanaan demokrasi. Pilihan untuk melakukan demokrasi seperti sekarang mungkin dianggap yang paling baik, akan tetapi kenyataannya bahwa demokrasi juga mengarah kepada money politic. Di mana-mana merebak politik uang, sebab bagi rakyat kebanyakan bahwa pilkada atau lainnya adalah pesta rakyat dan  sebagai sebuah pesta maka yang dibutuhkan adalah pembiayaan pesta tersebut. Biaya operasional pilkada menjadi sangat meraksasa, sebab semuanya berjalan di atas logika uang. Ada kerja ada uang. Ada pilihan jika ada uang.

Kebijakan politik masa mengambang (floating mass) yang dulu pernah dilakukan berakibat terhadap realitas politik di masa sekarang. Orang merasa tidak memiliki ikatan ideologis dengan partai politik atau bahkan ideologi untuk memenangkan orang terbaik. Begitu kentalnya istilah “serangan fajar” atau “serangan uang di waktu tertentu.” Serangan fajar tersebut bisa saja mengalahkan ikatan ideologis atau lainnya. Yang lebih parah bahwa tradisi politik uang ini sudah menjadi bagian yang ditradisikan oleh calon pemimpin dan juga masyarakat. Masyarakat akan memilih siapa yang memberikan uang di dalam pilkada.

Inilah yang mengkhawatirkan di dalam pelaksanaan pilkada. Makanya jika kemudian terjadi banyak pelanggaran selama pilkada, tentu hal ini menjadi ukuran bahwa pilkada di Indonesia memang belumlah menjadi pilkada yang berbasis etika. Belum ada tolok ukur kejujuran dan tanggungjawab sosial di dalam pilkada dimaksud.

Di antara pelanggaran tersebut yang paling menyedihkan tentu saja adalah kekerasan politik di dalam pilkada. Masih ada kekerasan politik pra dan pascapilkada. Di Jawa Timur, meskipun jumlahnya tidak banyak, akan tetapi tentu harus menjadi perhatian semuanya. Tentu tidak diinginkan terjadi lagi kekerasan politik di dalam pilkada pada tahun 2011. Oleh karena itu, pekerjaan rumah bagi para penyelenggara pilkada adalah bagaimana menciptakan pilkada yang bisa berlangsung sesuai dengan norma atau aturan yang berbasis pada kekuatan etika atau moral.

Dengan demikian, pada tahun 2011,  keadaan politik kita harus lebih baik dibanding tahun 2010. Jika pada tahun sebelumnya masih banyak pelanggaran, maka diharapkan pada tahun 2011 terjadi yang  sebaliknya, yaitu menyelenggarakan pilkada nir kekerasan dan nir pelanggaran.

Jadi, tahun 2011 hendaknya dijadikan sebagai tahun kedewasaan politik bagi semua yang terlibat di dalam proses politik di negeri ini, sehingga citra demokrasi yang sangat baik juga berdampak positif. Jangan sampai demokrasi yang sesungguhnya indah itu direduksi oleh perilaku penyelenggara dan pelaku pilkada yang tidak mencerminkan nilai demokrasi yang baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini