PSSI, SUPPORTER BOLA DAN KERUSUHAN
Sebagai negara berkembang tentu saja sangat penting memiliki warga negara yang sangat berkomitmen untuk mengembangkan aspek-aspek pembangunan termasuk juga pengembangan olah raga. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu cabang yang sangat popular di Indonesia adalah sepak bola. Jika di masa lalu sepak bola itu identik dengan lelaki, akan tetapi sekarang ternyata tidak. Sebab banyak juga kaum hawa yang menggandrungi permainan sepak bola ini.
Makanya, di dalam berbagai kerumunan penonton sepak bola selalu saja kita lihat banyak kaum perempuan yang terlibat menjadi supporter. Sepakbola juga bukan lagi dominasi kaum muda, lelaki atau perempuan, tetapi ternyata juga menjadi tontonan semua usia, lelaki atau perempuan. Bahkan juga tidak memandang strata social atau kedudukan. Sepak bola telah menjadi tontonan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai status dan strata sosialnya.
Ketika tim Garuda Indonesia kalah dengan skor 3-0 dari tim sepak bola Malaysia, 26/12/2010, dan pada pagi harinya saya menguji disertasi di Universitas Brawijaya, maka perbincangan menarik dari para professor adalah mengenai kekalahan tim Indonesia tersebut. Ada Prof. Ubud Salim, Prof. Surachman, Prof. Syafi’i Idrus. Dr. Arie Mooduto, Dr. Djumahir dan saya terlibat pembicaraan yang riuh tentang kekalahan sepak bola Indonesia tersebut. Ini sesungguhnya menandakan bahwa semuanya begitu berpengharapan agar tim sepak bola Indonesia menjadi yang terkuat di Asia Tenggara dan hal itu menjadi kebanggaan di antara kita semua.
Hanya sayangnya, bahwa kebanggaan itu memang belum bisa terwujud. Meskipun kesebelasan Indonesia sangat digdaya di babak penyisihan hingga semi final, ternyata mencapai klimaksnya di laga final. Indonesia harus pulang dengan tangan hampa, dan hanya berpeluang menjadi juara dengan persentase yang sangat kecil, 5 persen saja.
Bahkan yang lebih mengerikan adalah jatuhnya korban dalam pembelian tiket yang rusuh. Tentu semuanya mengetahui bahwa tndakan para supporter adalah bagian dari kecintaannya terhadap tim Merah Putih. Mereka tentu adalah kelompok yang sangat sadar tentang arti pentingnya supporter di dalam pertandingan sepak bola. Bahkan juga sering kita mendengar pernyataan “penonton adalah pemain ke 12”. Oleh karenanya, laga kandang menjadi bagian penting untuk mendulang skor dalam dunia persepakbolaan.
Ada catatan yang menurut saya penting untuk dikemukakan adalah mengapa di setiap ada kesempatan terjadi kerumunan massa, maka setiap kali itu pula terjadi kericuhan. Termasuk kerumunan dalam antrean tiket di Gelora Senayan Jakarta. Kita tentu sungguh-sungguh bertanya, apakah kesalahan itu terdapat pada calon supporter bola atau pada mekanisme sistem pembelian tiket yang tidak jelas.
Ketika saya menonton di televisi tentang proses penjualan tiket dan bagaimana perilaku calon supporter bola, mungkin kita akan segera mengambil kesimpulan bahwa para supporter itu memang melakukan sejumlah kesalahan, misalnya merusak terhadap property Gelora Senayan. Mereka menjebol pintu lalu mereka berhamburan masuk ke dalam areal lapangan. Mereka tentu mengira bahwa dengan masuk ke lapangan akan didapatkan proses pembelian tiket yang lebih mudah. Ternyata juga tidak. Mereka saling mengejar dan memukul terhadap orang yang dicurigai sebagai calo tiket.
Sungguh kita melihat dunia trust yang sudah tidak ada lagi. Para supporter menyangka bahwa terjadi permainan penjualan tiket oleh calo-calo tiket yang selama ini gentayangan di Gelora Senayan, sementara itu mekanisme pembelian tiket juga bertingkat-tingkat. Ada sebuah kerumitan tertentu untuk memperoleh selembar tiket masuk Gelora Senayan.
Sungguh ini adalah pemandangan ironis dari negeri Indonesia yang konon katanya memiliki religiositas yang sangat baik. Ternyata memang tidak ada korelasi antara religiositas, supporter bola dan penjualan tiket oleh yang berwenang (PSSI). Semuanya seakan-akan berdiri sendiri-sendiri. Sesuatu yang bercorak asimetris.
Kita semua sungguh merasakan betapa mahalnya harga sebuah tiket pertandingan sepak bola, ketika harus ada yang meninggal karena berebut tiket tersebut. Di dalam kerumunan yang sudah tidak teratur itu, maka tentu akan menyisakan ketidaktertiban, berdesakan dan saling perebutan. Dan akibatnya tentu bisa diduga akan terjadi malapetaka. Dan hal itu sudah terjadi dengan banyaknya mereka yang pingsan dan bahkan meninggal.
Di tengah keadaan tersebut, maka kita hanya bisa menyaksikan sebuah episode persepakbolaan Indonesia yang masih menyisakan barbarism supporter yang disebabkan oleh kerumitan dalam memperoleh prasyarat sebagai supporter. Ada ketidakjelasan mekanisme pembelian tiket yang dilakukan oleh “PSSI” dalam manejemen pertiketan.
Di dalam keadaan seperti ini, saya menjadi teringat akan salah sat sambutan Kyai Mutawakkil Alallah dalam acara Wisuda Sarjana Strata satu, STAI dan STIH Zainul Hasan Genggong Probolinggo, 26/12/2010, bahwa yang dipentingkan oleh bangsa Indonesia adalah keseimbangan antara dzikir dan pikir. Keduanya harus diseimbangkan agar terjadi keamanan, keharmonisan dan keselamatan.
Pikir atau rasio saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan dzikir, sebaliknya dzikir saja juga kurang pas jika tidak diimbangi dengan rasio. Makanya menyeimbangkan keduanya adalah tugas kemanusiaan dalam berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya.
Para supporter dan pengelola organisasi persepakbolaan Indonesia, rasanya memang harus menyeimbangkan kerja akal dan dzikir ini agar segala sesuatunya bisa terjadi sesuai dengan prinsip keamanan, keselarasan dan keselamatan.
Wallahu a’lam bi al shawab.