SEPAKBOLA DAN KETIDAKTERATURAN SOSIAL
Semalam, 26 Desember 2010, rasanya menjadi hari yang sangat murung bagi penggila sepakbola Indonesia. Hal itu tentu saja tidak lepas dari kekalahan Tim Sepakbola Indonesia dari Tim Sepak bola Malaysia dengan angka yang cukup mencolok 3-0. Tim sepak bola Indonesia yang digadang-gadang untuk menjuarai Piala AFF 2010 tersebut ternyata tidak berdaya menghadapi tim sepak bola Malaysia yang pernah dikalahkannya di babak penyisihan dengan angka 5-1.
Bola itu bundar. Demikian ungkapan yang sering kita dengar di kalangan pecinta bola. Artinya bahwa segala sesuatu bisa terjadi di lapangan. Dan itulah yang terjadi. Tim Garuda Indonesia yang diharapkan bisa melayang, meliuk-liuk dan kemudian menukik dengan tajam untuk menyarangkan gol ke gawang lawan justru kalah dengan auman dan terjangan Macam Malaysia yang mengamuk dengan kekuatan penuh.
Sepak bola memang memiliki keunikannya sendiri. Olah raga yang mula pertama diciptakan orang Inggris ini memang menjadi ikon olahraga di dunia ini. Ia menjadi olah raga yang paling favorit di jagad manusia. Di berbagai belahan dunia ini, misalnya di Italia, Belanda, Jerman, Inggris, Spanyol dan beberapa negara lain di Eropa, serta Brazilia, Argentina dan beberapa Negara Amerika Latin, olahraga ini menjadi falsafah kehidupan.
Bahkan di masing-masing negara itu terdapat legenda-legenda sepak bola. Misalnya di Brazil dikenal nama Pele, Zico, Ronaldo, dan lainnya. Kemudian di Argentina tentu saja Batista, Maradona, dan yang sekarang Messi. Di Jerman ada nama Backenbauer, di Perancis ada nama Platini, di Belanda ada nama Van Basten dan Ruud Gullit, dan sebagainya. Semua legendaris ini memakai nomor punggung yang juga menjadi nomor favorit dari penggila bola hingga sekarang. Ronaldo dari Portugal terkenal dengan nomor punggung 9 atau kemudian disingkat menjadi CR9.
Tidak hanya di negara maju saja di mana sepak bola menjadi bagian dari falsafah kehidupan masyarakat. Di negara-negara berkembang pun, sepakbola juga menjadi semacam falsafah kehidupan. Banyak penggila bola di negeri tersebut. Jepang, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia juga memiliki dinamikanya sendiri. Sepakbola telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Sepakbola memang memiliki keunikannya sendiri. Di dalam piala AFF 2010, misalnya, sepak bola telah menjadi semacam pemersatu ideologi bangsa. Yel-yel Garuda di Dadaku menjadi semacam kemenyatuan seluruh kepentingan nasional. Mereka semua menyatu untuk mendukung kesebelasan kesayangannya sedemikian rupa. Seakan-akan dunia sepak bola adalah dunia multikulturalitas tak terhingga yang mempersatukan berbagai keanekaragaman etnis, agama, status social dan sebagainya.
Tetapi di sisi lain, sepak bola juga menjadi sumber kekacauan yang berakibat terjadinya ketidakteraturan yang sangat tinggi. Jika kita lihat bagaimana masyarakat pecinta tim Garuda Indonesia yang akan bertanding pada laga final kedua di Gelora Bung Karno di dalam Piala AFF 2010, maka betapa ketidakteraturan tersebut terjadi. Ribuan calon penonton yang antri tidak teratur berjam-jam itu kemudian melakukan tindakan yang dianggapnya benar kala itu, yaitu merusak barang-barang di stadion Senayan Jakarta.
Di tengah ketidakpastian akan diperolehnya tiket yang sangat diperlukan, maka mereka melakukan apa saja yang dianggapnya sebagai benar. Maka pagar dan pintu lapangan Sepak bola Senayan pun dijebolnya. Mereka kemudian berhamburan masuk ke dalam untuk memastikan bahwa tiket akan mereka peroleh. Mereka lakukan hal itu atas nama kecintaannya terhadap tim kesayangannya.
Inilah anomali sepak bola. Dunia yang sangat kompleks. Berpadu antara kecintaan, kemarahan dan kemenyatuan yang berbaur menjadi satu. Mereka adalah kerumunan yang sangat rentan terhadap ketidakpastian. Mereka akan sangat mudah disulut oleh situasi yang tidak kondusif bagi diri mereka. Mereka sangat rentan terhadap hasutan yang disebabkan oleh psikhologi “kecamasan dan ketegangan” yang luar biasa. Ada perasaan khawatir dan ketakutan bahwa usahanya yang sudah sekian lama untuk memperoleh selembar tiket ternyata tidak didapatkannya. Makanya, mereka menjadi “keras” dalam perilakunya.
Di dalam situasi ketidaktentuan, maka psikhologi “kecemasan dan ketegangan” akan semakin menguat. Dan jika semakin banyak yang merasakannya, maka hal ini akan bisa menjadi bom waktu terjadinya tindakan kekerasan. Oleh karena itu, berbagai tindakan kekerasan pun akan sangat mudah dilakukannya.
Sepak bola memang memiliki keunikannya sendiri. Akan tetapi yang mesti menjadi perhatian bagi para supporter adalah bagaimana mendidik diri bahwa keteraturan adalah cermin dari kebudayaan bangsa. Maka mendukung tim kesayangan juga harus berada di dalam koridor keteraturan, sehingga sepakbola akan bisa menjadi tontonan yang menyenangkan dengan segala atributnya yang beraneka ragam.
Kita memang butuh akan kebanggan sebagai bangsa, dan sepak bola adalah salah satunya yang memiliki potensi untuk dianggakan tersebut. Makanya, semuanya tentu harus menjaga agar kebanggaan itu kemudian tidak ternoda oleh sikap kita sendiri yang tidak mengedepankan keteraturan social.
Wallahu a’lam bi al shawab.