PENGORBANAN SEORANG IBU
Salah satu kelemahan saya yang saya rasakan sangat mendasar adalah karena saya itu kurang perhatian terhadap hari dan tanggal, sehingga ada banyak hari bersejarah yang terkadang lepas dari pengamatan saya. Di dalam hal ini termasuk tanggal 22 Desember yang dirayakan sebagai hari IBU. Mungkin juga karena kesibukan yang luar biasa akhir-akhir ini, sehingga banyak hal yang terlewat untuk dimomentumkan sebagai hari yang indah dan mengagumkan.
Memang harus saya akui bahwa di akhir tahun ini memang kesibukan menjadi luar biasa, sebab seperti biasa di akhir tahun selalu menumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan. Termasuk juga pertemuan-pertemuan yang harus digelar di Jakarta, dan juga tempat lain. Untunglah masih diberi kesehatan jasmani dan rohani, sehingga semuanya masih berjalan dengan lancar.
Tanggal 22 Desember memang diperingati sebagai Hari IBU. Artinya, bahwa pada tanggal ini masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai hari pengorbanan dan pengabdian Ibu, baik sebagai bagian dari keluarga, komunitas dan masyarakat. Hanya saja peringatan hari ibu memang hanya diperingati secara sederhana tidak ada hura-hura apapun sebagaimana memperingati hari kemerdekaan, misalnya. Momentumnya memang berbeda dan harus disadari bahwa Hari Ibu memang belum popular di kalangan masyarakat.
Tetapi ada sebuah pertanyaan yang sangat mendalam yang perlu dijawab, yaitu “adakah pengorbanan yang melebihi pengorban seorang IBU?” Saya rasa tidak. Pengorbanan seorang Ibu mungkin tidak bisa disamakan dengan apapun di di dunia ini. Pengorbanan seorang Ibu mulai dari hamil sampai melahirkan adalah pengorbanan yang bisa saja meregang nyawa. Bahkan seorang Ibu pernah menyatakan bahwa prosesi melahirkan itu seperti keadaan “langit mau runtuh”.
Di dalam sejarah agama-agama, misalnya bisa dijumpai bagaimana Hajar istri Nabiyullah Ibrahim A.s, harus lari pontang panting karena tangisan anaknya, Nabiyullah Ismail a.s, karena meminta minum, sementara tidak didapatinya setetes airpun di padang pasir Mekkah. Di tengah lari pontang panting ke sana kemari, dengan tindakan dan doanya yang tentu luar biasa, maka Allah tunjukkah kasih sayangnya dengan memberikan air zamzam, yang hingga sekarang menjadi air yang dimulyakan.
Peristiwa pencarian air oleh Hajar tersebut kemudian diritualkan di dalam perjalanan haji melalui upacara Sa’i dari shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali. Bahkan juga diabadikan di dalam Al-Qur’an tentang peristiwa tersebut. Di dalam melaksanakan Sa’i orang diminta untuk berdoa: “inna al shofa wa al marwata min sya’airi Allah, fa man hajja awi’tamaro fa la junaha alaihi, fa man tathawwa’a khairon, fa innallaha syakirun ‘alim”.
Pengorbanan seorang Ibu tentu luar biasa. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan atau realitas empiris. Melalui seorang Ibu, maka kita lahir ke dunia. Melalui sentuhan air susunya kita memperoleh minuman yang segar tiada tara. Air susu Ibu adalah air kasih sayang yang tidak ada duanya. Belaian tangannya adalah rahmat Tuhan yang mengejawantah di dunia ini. Kelembutan kata-katanya merupakan berkah Tuhan yang sampai ke dunia ini. Maka pantaslah jika Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa orang yang terbaik di dunia ini adalah Ibu.
Banyak orang yang tidak memperhatikan tentang bagaimana Ibu melakukan semua pekerjaan rumah. Jika seorang bapak mungkin bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka Ibu di rumah yang memanejnya. Seluruh pekerjaan rumah itu diselesaikannya. Dan kemudian juga mendidik anak-anaknya. Sebuah tanggungjawab yang tiada taranya di dunia ini.
Akan tetapi dunia sekarang sudah berubah. Perempuan atau Ibu tidak hanya menjadi pengelola kehidupan yang bercorak peran domestic akan tetapi juga peran public. Maka peran ibu pun bergeser. Yang biasanya mengurus rumah menjadi mengurus sesuatu yang lebih luas. Namun demikian, tugas keibuan juga tetap disandangnya. Meskipun dengan cara dan metode yang berbeda. Jika di masa lalu seorang Ibu menggunakan seluruh waktunya untuk rumah tangga, maka sekarang tentu sudah berbeda. Hanya paroh waktu saja.
Namun demikian, saya tetap memiliki keyakinan bahwa meskipun hanya paroh waktu untuk pengabdian kepada keluarga, bukan berarti bahwa kasih sayang, tanggungjawab dan perhatiannya berkurang. Saya memiliki keyakinan bahwa seorang Ibu pasti akan menggantinya dengan cara yang lain, yaitu pemberian kualitas kasih sayang dan tanggungjawab yang lebih.
Oleh karena itu, kita harus memberikan kasih sayang yang sama bahkan lebih ketika kita sudah dewasa. Kasih sayang Ibu rasanya tidak akan bisa digantikan oleh siapapun dan tidak akan bisa dibalas oleh siapapun. Maka pantaslah jika kita diajarkan untuk berdoa kepada Allah agar orang tua kita diampuni dosanya karena perbuatannya yang telah diberikan kepada anak-anak dan keluarganya.
Doa itu berbunyi: “rabbi ighfirli wa liwa lidaiyya wa arhamhuma kama rabbayani shaghira” yang artinya: “Wahai Tuhanku ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku ketika aku kecil”.
Wallahu a’lam bi al shawab.