SATU TEKS SERIBU TAFSIR
Pada hari Rabu, 19 Agustus 2009 dilakukan penganugerahan gelar Profesor kepada Sdr. Dr. Mas’an Hamid, dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel. Prof. Mas’an Hamid memiliki keahlian di bidang Bahasa dan Sastra Arab. Sebuah keahlian yang rasanya bisa menjadi semakin langka di tengah keinginan untuk menjadikan semua ilmu bercorak duniawi semata. Tetapi alhamdulillah bahwa IAIN Sunan Ampel masih memiliki para ahli yang menekuni bidang-bidang studi langka yang sepertinya sudah tidak lagi laku di pasaran akademis. Prof. Mas’an Hamid mengupas tentang “Transformasi Teori dan Munculnya Gerakan Ideologi Islam Garis Keras (Studi tentang Dampak Perbedaan Wacana dalam Memahami Teks al-Qur’an).”
Saya mengapresiasi tema ini karena ternyata perhatian para akademisi IAIN Sunan Ampel tentang gerakan Islam garis keras atau fundamental sangat memadai. Sekurang-kurangnya ada tiga kali pengukuhan guru besar yang mengambil tema tentang Islam garis Keras. Prof. Ahmad Jaenuri, Prof. Nur Syam dan Prof. Mas’an Hamid. Hal ini memberikan bukti bahwa persoalan Islam garis keras ternyata menjadi perhatian yang sangat serius di kalangan para akademisi di lingkungan IAIN Sunan Ampel.
Menurut Prof. Mas’an Hamid, bahwa penyebab terjadinya Islam garis keras adalah adanya teks al-Qur’an yang interpretabel. Perbedaan wacana tafsir tersebut di satu sisi memberikan dampak positif sebab akan dapat melahirkan berbagai teori ilmu pengetahuan, misalnya akan memperkaya tipologi tentang gerakan pemikiran keagamaan berbasis pada penafsiran teks. Namun di sisi lain, ternyata perbedaan tafsir teks dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku kekerasan. Kira-kira semenjak tahun 1970-an, maka muncul gerakan-gerakan Islam fundamental (Islamawiyah) yang kemudian berganti-ganti sesuai dengan konteksnya. Semenjak kemenangan Iran-Khomeini, maka kata jihad menjadi roh pergerakan untuk melawan terhadap kekuatan Barat.
Konsep jihad tidak hanya dimaknai sebagai jihad al-nafs (perang melawan hawa nafsu) tetapi juga bermakna qital (peran dengan mengorbankan harta dan nyawa) dalam rangka melawan musuh-musuh Islam terutama kaum Yahudi Amerika. Teks jihad kemudian juga diterjemahkan sebagai teks yang memberikan justifikasi untuk melakukan kekerasan atas nama agama, sehingga kemudian melahirkan gerakan terorisme seperti yang dilakukan oleh Imam Samodra, Amrozi, Azhari, Noordin dan sebagainya. Menurut Mas’an, bahwa selain kelompok di atas, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI) juga mengumandangkan slogan” hidup mulia atau mati syahid” (‘Ish Kariman aw Mut Syahidan).
Mengamati terhadap betapa interpretabilitas teks, misalnya tentang jihad ini, maka rasanya pantas jika dinyatakan bahwa satu teks dengan seribu tafsir. Kata seribu adalah ungkapan kebahasaan saja yang tidak memiliki makna sejauh itu. Hanya ingin menggambarkan bahwa ada variabilitas tafsir dan juga ada variabilitas tindakan yang menyertai tafsir tersebut.
Di dalam hal ini maka saya nyatakan bahwa ada penyebab internal mengapa terjadi kekerasan atas nama agama. Ada variasi tafsir tentang teks, sehingga antara satu dengan lainnya bisa berbeda-beda perilakunya. Yang tidak kalah penting adalah penyebab eksternal. Sekurang-kurangnya ada tiga penyebab eksternal, yaitu: ketidakmampuan negara sekular untuk menyejahterakan rakyatnya, penolakan terhadap semua produks barat dan keinginan untuk kembali kepada Islam masa lalu. Berdasar atas kenyataan sosiologis tersebut maka kemudian memantapkan keyakinan para aktivis gerakan Islam untuk menyelesaikannya dengan cara kembali kepada Islam sebagaimana masa lalu. Ada romantisme historis bahwa Islam masa lalu adalah Islam yang dapat menyelesaikan segala persoalan. Perbedaan konteks sosial, historis, budaya dan sebagainya bukan penghalang untuk kembali ke masa lalu. Makanya, untuk penyelesaiannya hanya satu tegakkan Khilafah Islamiyah dan semuanya akan selesai.
Tentu tidak semua sependapat dengan hal ini. Yang berarti tetap akan ada varian-varian dalam memandang penyelesaian terhadap persoalan kebangsaan. Di antara penyelesaian itu secara sosiologis adalah dengan kembali mencermati terhadap kebijakan pembangunan yang selama ini menjadi arus utama, misalnya dengan melihat ulang apakah anggaran negara sudah didayagunakan untuk kepentingan masyarakat, seberapa besar anggaran yang pro-poor. Di dalam bahasa Orang Jawa Timur adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk Rakyat (APBD untuk Rakyat). Ada sebuah keyakinan bahwa penyebab mengapa orang mudah diajak untuk melakukan tindakan teror adalah karena faktor kemiskinan. Maka ketika mereka miskin maka akan mudah untuk diajak berani melakukan bunuh diri. Siapa tahu langsung masuk surga.
Oleh karena itu, agar multitafsir teks tersebut menjadi berkah dan bukan menjadi malapetaka, maka penyebab malapetakanya harus dikurangi atau bahkan dihilangkan. Dan ini semua membutuhkan keseriusan dari pelaku kebijakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.