• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SUMBANGAN PTAIS DALAM PENGEMBANGAN SDM

Di dalam dua hari belakangan, 18-19/12/2010, saya menghadiri tiga acara wisuda sarjana strata satu di tiga tempat, yaitu di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Aziziyah, Lombok Barat, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darus Salimin, Praya Lombok Tengah dan Institut Agama Islam Nahdlatul Wathon Pancor, Lombok Timur. Tentu saja acara wisuda sarjana strata satu ini dihadiri oleh sejumlah orang yang memang diundang oleh panitia wisuda. Mereka yang diwisuda adalah mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam, prodi Komunikasi dan penyiaran Islam dan prodi Muamalah.

Acara wisuda tentu merupakan acara tahunan atau bahkan ritual semesteran yang merupakan rangkaian akhir dari proses pembelajaran. Setelah melalui proses yang rumit dan berat selama empat tahun, maka seorang mahasiswa akan bisa mengikuti upacara wisuda yang menjadi pertanda bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan proses pendidikannya.

Menjadi sarjana bukan sekedar telah menyelesaikan sebanyak 144 hingga 160 sks, akan tetapi tentu diharapkan telah memiliki kematangan di dalam menghadapi kehidupan. Program pendidikan tinggi hakikatnya tidak hanya menyiapkan tenaga yang memiliki kemampuan hard skill dalam bidangnya akan tetapi juga seharusnya memiliki kemampuan soft skill sebagai tuntutan di dalam menghadapi kehidupan.

Lembaga pendidikan tinggi memang memanggul tugas sebagai lembaga pendidikan yang akan mempersiapkan tenaga terampil di dalam menghadapi dunia lapangan pekerjaan. Apalagi jika jenjang pendidikan tersebut merupakan program pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan tenaga professional atau program pendidikan vokasional.

Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tentu saja merupakan program studi yang memiliki tanggungjawab untuk menghasilkan guru yang professional, artinya bahwa yang dihasilkan oleh prodi ini  adalah orang yang berkemampuan untuk menjadi guru. Maka di dalam dirinya akan terkandung kemampuan professional, seperti kemampuan pedagogik, kemampuan social, kemampuan kepribadian dan kemampuan professional. Bahkan juga sangat dipentingkan adanya kemampuan kepemimpinan.

Sebagai orang yang memiliki kompetensi di atas, maka harus ditunjukkan bagaimana dia memiliki kemampuan dalam memahami seluruh bahan ajar, sikap yang mendukung terhadap kemampuan akademisnya serta memiliki keterampilan mengajar sesuai dengan bidangnya. Kemudian juga harus memiliki kompetensi social, sebab yang bersangkutan hidup di dalam kehidupan social yang terus berubah dan kontekstual. Lalu juga harus memiliki kompetensi kepribadian, yaitu memiliki kepribadian yang menarik dan menjadi teladan, serta memiliki kemampuan pedagodik yaitu menguasai metodologi mengajar dan tehnik mengajar yang kontekstual dengan zamannya.

Selain itu yang juga dianggap penting adalah kompetensi kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin di dalam berbagai level kehidupan. Dia menjadi pemimpin bagi muridnya, bagi komunitasnya dan juga bagi masyarakatnya. Yang diharapkan adalah yang bersangkutan dapat menjadi agen bagi pengembangan masyarakat dan tidak hanya pengembangan murid-muridnya.

Para sarjana tentu diharapkan tidak hanya menjadi pekerja sesuai dengan bidangnya, akan tetapi menjadi pekerja plus, yaitu pekerja yang memiliki mimpi untuk menjadikan sasaran dan target kerjanya memiliki nilai lebih. Dia bukan sekedar menjadi tukang yang tanpa mimpi, akan tetapi menjadi tukang yang memiliki visi ke arah yang lebih baik. Bukankah ada pepatah yang menyatakan: “man behind the gun”. Jadi sebaik apapun senjatanya tetapi yang lebih penting adalah orang di belakang senjata itu.

Di dalam kerangka inilah maka yang sesungguhnya diharapkan dari Perguruan Tinggi Agama Islam adalah bagaimana PTAI ini bisa mengembangkan mitra didiknya menjadi sarjana yang terbaik, yang diindikatori dengan kemampuannya untuk bekerja sesuai dengan bidangnya dengan sebaik-baiknya. Untuk kepentingan ini, maka proses pembelajaran tidak hanya dipentingkan teori-teori abstrak yang sulit dipraktikkan di lapangan, akan tetapi merupakan teori praksis yang bisa diperasionalkan secara empiris.

Dengan demikian, ilmu yang dipelajari adalah ilmu yang memiliki relevansi langsung dengan kebutuhan mitra didik sesuai dengan prodi yang ditekuninya. Jika tidak seperti ini, maka dunia pendidikan tinggi akan selalu ketinggalan dengan perkembangan proses social yang terus berubah dan berkembang.

Ke depan, rasanya memang paradigma pendidikan sebagai instrumen pengembangan SDM tentu masih akan terus berlangsung. Dan itu berarti bahwa dunia pendidikan akan tetap menjadi wahana penting di dalam peningkatan Indeks Pengembangan Manusia (IPM) yang andal.

Jika hal tersebut bisa dilakukan maka tidak diragukan sumbangan lembaga pendidikan tinggi Islam dalam kerangka pengembangan SDM bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini