INTELEKTUAL INDONESIA DALAM KANCAH PEMBANGUNAN
Saya menyimak acara dialog di televisi, 17/12/2010, untuk membahas tentang pertemuan kaum akademisi yang hidup di luar negeri. Acara ini tentu menarik sebab sebagaimana diketahui bahwa ada banyak kaum akademisi Indonesia yang menjadi “orang” di luar negeri dan bahkan juga menjadi pimpinan perguruan tinggi.
Di antara mereka ternyata ada yang bisa menduduki jabatan bergengsi, sebagai pimpinan perguruan tinggi di Jepang (Universitas Waseda) dan juga menjadi professor seumur hidup di Perancis. Tentu masih banyak yang lain yang memiliki reputasi di dalam berbagai bidang, utamanya dalam kaitannya dengan dunia akademis.
Kaum intelektual selama ini dianggap sebagai orang yang hidup di menara gading, artinya dia hidup sebagai orang yang hidup dengan dunianya sendiri dan tidak berada di dalam kehidupan nyata di dalam masyarakat. Dia hidup di laboratorium dan menyendiri sehingga akses bagi kehidupan yang lebih luas sangat terbatas.
Kaum intelektual dimaknai sebagai sekelompok orang yang memiliki kesadaran intelektual yang lebih baik disebabkan oleh pendidikan atau relasinya dengan dunia ilmiah-akademis. Mereka adalah orang yang sesungguhnya sudah tercerahkan di dalam kehidupan intelektualnya yang jauh lebih luas dibanding dengan lainnya.
Kaum intelektual ternyata memang memiliki dunianya sendiri. Makanya sering disebut sebagai orang yang hidup di menara gading. Menara gading tentu suatu tempat yang sangat prestisius. Artinya tempat yang jauh dari kehidupan masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi dewasa ini kaum intelektual haruslah menjadi bagian dari masyarakat. Melalui berbagai teori yang disebut ideologis, maka kaum intelektual mulai memasuiki kawasan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Jika di masa lalu banyak teori hanya untuk kepentingan ilmu tetapi sekarang sudah sebaliknya, yaitu teori untuk kepentingan pengembangan masyarakat.
Kemudian secara metodologis juga muncul penelitian yang disebut sebagai participatory action research yang bisa menjadi suatu model penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan masyarakat. Melalui penelitian ini, maka banyak intelektual dan akademisi yang terlibat di dalam kehidupan social kemasyarakatan sebagai agen luar (external agent) dalam pengembangam masyarakat.
Kaum intelektual kemudian tidak lagi hidup di menara gading. Banyak kaum intelektual yang terlibat di dalam kehidupan nyata di masyarakat, sehingga mereka menjadi bagian penting di dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Saya menjadi teringat ketika, Prof. Dr. Selo Soemardjan, sosiolog UI yang menjadi bagian dari berbagai gerakan demonstrasi mahasiswa tahun 1998 sebagai awal reformasi Indonesia. Beliau adalah intelektual dan akademisi murni yang tanpa kepentingan politik. Dia lakukan semaunya berdasar atas keinginannya untuk terlibat di dalam perubahan social yang memang harus terjadi.
Tentu beliau berbeda dengan Prof. Dr. Amin Rais, yang kemudian ternyata memiliki agenda politik di dalam keterlibatannya untuk perubahan social yang terjadi. Beliau memiliki agenda politik yang jelas karena terbukti kemudian menjadi pimpinan partai politik dan juga mencalonkan diri untuk menjadi presiden.
Memang kehadiran kaum intelektual di dalam blantika kehidupan social sangat diperlukan. Sebab kehadiran mereka tentu sudah didasari oleh pertimbangan akademis yang sangat mendalam. Bagi kaum intelektual tentu saja sesuatunya dipertimbangkan dari sisi kalkulabilitas dan responsiblitas. Segala sesuatunya sudah dipertimbangkan dari aspek perhitungan yang matang dan juga pertanggungjawabannya.
Negara kita sekarang semakin demokratis, sehingga siapapun bisa terlibat di dalam proses pembangunan bangsa. Oleh karena itu, maka keterlibatan kaum intelektual di dalam kancah pembangunan masyarakat mestilah diapresiasi secara memadai.
Kehadiran mereka tentu menjadi bagian penting di dalam proses pembangunan bangsa yang memang harus dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sebagaimana pesan di dalam pembukaan UUD 1945.
Wallahu a’lam bi al shawab.