NU DAN MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA
Hari ini ada sebuah diskusi yang menarik dalam rangka bedah buku yang ditulis oleh Abdul Rouf dengan judul “NU dan Civil Islam di Indonesia”. Diskusi ini diselenggarakan di Self Acces Center (SAC) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Saya sesungguhnya diundang sebagai pembanding di dalam diskusi ini, akan tetapi saya tidak bisa secara penuh untuk melakukan analisis secara sangat mendasar dari karya ini. Sebab sangat banyak kegiatan di akhir tahun ini yang harus saya ikuti. Ada acara di Makasar dalam rangka kunjungan ke Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Makasar, sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca dengan sangat mendalam tentang tema ini.
Akan tetapi yang menjadi penting adalah bahwa perbincangan tentang Civil Islam tersebut telah menjadi wacana yang sangat menarik di era akhir-akhir ini. Perbincangan tentang civil Islam merupakan perbincangan akademis dan praksis yang tentu saja sangat berguna di dalam memetakan tentang organisasi sosial keagamaan yang memang memiliki peran dan fungsi di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan.
Sebagaimana diketahui bahwa NU memang sangat identik denga gerakan civil society terutama setelah NU kembali ke khittah, setelah sekian lama menjadi partai politik. Setelah memenangkan empat besar dalam perhelatan pemlu 1955 dan terus berjaya di dalam perpolitikan nasional, maka melalui fusi partai politik tahun 1971, maka NU menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hanya saja sayangnya bahwa kekuatan NU yang besar selalu tereduksi oleh kekuatan lain di dalam sejarah PPP.
Maka kemudian NU kembali ke khittah 1926 dengan konsepnya yang sangat terkenal, NU tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana. NU menjadi organisasi yang “independent” di dalam percaturan perpolitikan nasional di dalam tindakan politiknya. NU menjadi organisasi sosial keagamaan yang mengemban tugas keagamaan dan sosial saja.
Akan tetapi dengan dibentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dianggap sebagai anak kandung NU, maka langkah NU untuk memasuki kawasan politik juga kembali terbuka. NU kemudian kembali ke kancah politik meskipun tidak langsung. Namun di sisi lain juga didapatkan keuntungan secara politis, sebab banyak kader NU yang kemudian memasuki ranah baru di dunia politik dan pemerintahan yang sebelumnya tidak mendapatkan akses untuk itu.
Di dalam kenyataan ini, maka peran civil society, kemudian sedikit tereduksi menjadi peran politik. Sayangnya ketika PKB juga tercabik-cabik oleh konflik kepentingan, maka NU juga tidak mampu menjadi mediator yang memadai untuk meredam atau menyelesaikan konflik itu.
Akibatnya, konflik PKB terus menjadi sesuatu yang actual di dalam perbincangan politik nasional. Bahkan di dalam perhelatan politik beberapa tahun yang lalu, maka posisi PKB menjadi jatuh dalam perolehan suara.
Di tengah nuansa politik seperti ini maka sebaiknya NU memang memainkan kembali penguatan masyarakat sipil dalam kehidupan sosial dan kenegaraan. NU harus kembali memikirkan tentang wong cilik, orang-orang yang belum beruntung di negeri ini.
Makanya, ke depan –terutama dalam gerakan masyarakat sipil—maka yang dibutuhkan adalah kembali terlibat di dalam pemberdayaan masyarakat di dalam berbagai variasinya, sehingga peran NU sebagai penggerak masyarakat sipil sebagaimana di era awal kembali ke khittah 1926 akan dapat dilaksanakan.
Tentu saja semua tergantung kepada bagaimana para aktivis NU memainkan perannya di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.