• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LOCAL WISDOM UNTUK PENDIDIKAN

Di dalam acara Kongres Kebudayaan Jawa  Timur, 11/12/2010,  yang diselenggarakan oleh Komunitas Budayawan Jawa Timur, saya mengungkapkan kebudayaan sebagai kognisi manusia, sedangkan Endo Suanda melihat kebudayaan sebagai sebuah sistem produk yang berupa Candi, Masjid, artefak, benda-benda seni, alat-alat music, lagu-lagu dan sebagainya.

 Sebagai sistem kognisi,  maka kebudayaan merupakan relasi antara kognisi, bahasa dan budaya. Maka yang mengedepan adalah berbagai ungkapan, pepatah, unen-unen, pitutur dan sebagainya yang menjadi pedoman di dalam melakukan tindakan.  Ada sekian banyak cerita yang dirangkai dengan tindakan kebaikan dan menjelaskan keburukan. 

Di dalam dunia kita ternyata juga banyak cerita yang menggambarkan tentang kebaikan, keburukan, keculasan, dan sebagainya. Ada cerita anak-anak (dongeng)  dengan tema “Si Kancil Mencuri Timun”. Sepintas cerita ini menggambarkan tentang kejenakaan, akan tetapi jika dicermati secara mendalam tentu ada sisi kurang mendidik. Misalnya mengapa diajarkan pada anak-anak tentang dongeng “Si Kancil” yang cerdik, akan  tetapi untuk mencuri. Bukankah ada cerita yang lebih baik tentang  ini. Tetapi dongeng “Si Kancil”  sudah menjadi bagian dari budaya lokal kita.

Berbicara tentang budaya lokal sebagai muatan atau conten pendidikan memang juga menimbulkan berbagai macam tafsir. Misalnya di era Orde Baru, maka muatan budaya lokal tersebut lalu dimaknai sebagai proses menempatkan budaya tertentu dari masyarakat Indonesia di dalam pendidikan. Jadi ada problem budaya lokal mana yang bisa dianggap sebagai representasi muatan pendidikan.

Makanya, kemarin  lalu muncul pertanyaan tentang nilai kesopanan mana yang bisa dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan tingkat kesopanan.  Di dalam tradisi Jawa Tengahan, maka ukuran kesopanan itu tentu dari penerapan kromo inggil, sehingga seseorang yang lebih muda dan berbicara kepada yang lebih tua dengan tidak menggunakan kromo inggil, maka bisa dianggap sebagai kurang sopan. Padahal ukuran kesopanan tersebut tentu saja bisa bervariasi sesuai dengan lokus dan tradisinya.

Oleh karena itu, ukuran kesopanan lalu menjadi sangat bervariatif tergantung kepada bagaimana orang menafsirkan tentang kesopanan tersebut. Jika seorang anak tidak berbahasa Kromo kepada Bapak atau Ibunya bukan berarti tidak berkesopanan kepada orang tuanya, akan tetapi memang ada ukuran kesopanan yang dikonstruksi bersama  di antara mereka.

Di sinilah memang sulitnya untuk mengangkat  ukuran-ukuran tentang local wisdom yang bercorak sangat local untuk menjadi muatan pendidikan secara umum. Makanya, di dalam hal ini yang harus dicari adalah universalitas kandungan local wisdom tersebut sebagai tolok ukur untuk menjadi muatan pendidikan di wilayah yang memiliki tradisi-tradisi yang sangat variatif.

Namun yang jelas bahwa dunia pendidikan kita memang membutuhkan kearifan local sebagai patokan atau pattern for behavior di dalam melakukan tindakan yang relevan dengan dunia kita. Yaitu dunia timur yang mengedepankan kerukunan, harmoni dan slamet. Di dalam membangun kerukunan, maka yang mesti dikedepankan adalah bagaimana kearifan local di semua tradisi dan daerah mendukung terhadap kerukunan tersebut.

Demikian pula bagaimana keharmonisan itu didukung oleh semua pengetahuan budaya yang mengedepankannya. Menjaga harmoni tidak hanya dalam jagad kecil (mikro kosmos) akan tetapi juga dalam jagad besar (makro kosmos). Membangun keseimbangan tersebut tidak hanya di dalam konteks dunia manusia saja, akan tetapi juga dengan lingkungan alam seluruhnya.

Dari kerukunan dan keharmonisan tersebut maka akan menjadikan dunia penuh dengan keselamatan.  Hamper seluruh kebudayaan manusia didunia ini mesti mengedepankan keselamatan. Di dalam budaya kognisi manusia Jawa, misalnya didapati  ungkapan “rukun agewe santoso, congkrah agawe bubrah”, saya juga berkeyakinan bahwa semua suku dan etnis di dunia ini memiliki moralitas kerukunan dan menghindari konflik.

Local wisdom ini meskipun diungkapkan dalam bahasa Jawa, namun memiliki moralitas  universal di semua  bangsa di dunia.  Dengan demikian, jika  moralitas kerukunan dijadikan sebagai muatan pendidikan, maka tentunya akan menjadi modal penting di dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Hanya problemnya adalah bahwa dunia lingkungan kita terkadang tidak mendukung upaya mendidikkkan kerukunan tersebut di dalam dunia kognisi dan tindakan manusia. Banyak tampilan di berbaai media yang ternyata menggambarkan jauhnya kerukunan tersebut di dalam kehidupan nyata.

Makanya, tugas pendidikan dan orang tua juga menjadi rumiat di tengah semakin kuatnya kepentingan individu alih-alih kepentingan social.  Jika kita ingin meliat dunia pendidikan berhasil, maka tentunya dibutuhkan teladan dari dunia lingkungan kita yang member contoh yang baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini