MEMBINCANG LOKALITAS DI ERA GLOBAL
Saya kemarin, 11/12/2010, menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Komunitas budayawan Jawa Timur, dalam kerangka Kongres Kebudayaan Jawa Timur yang diselenggarakan di Hotel Cemara, selama dua hari. Kongres ini dianggap penting untuk menghasilkan rekomendasi tentang bagaimana semestinya mengelola kekayaan budaya yang disebut sebagai local wisdom di dalam kehidupan masyarakat yang semakin mengglobal tidak terkendali ini.
Saya sepanel dengan Endo Suanda dan dimoderatori oleh Suparto Wijoyo yang dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai acara yang digagas oleh Komunitas Budayawan Jawa Timur, maka yang hadir tentu saja adalah kaum budayawan dengan berbagai latar belakangnya. Ada Prof. Dr. Ayu Sutarto, Aribowo,Rahma Ida, Riadi Ngasiran dan sebagainya.
Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah bagaimana penyikapan terhadap budaya global dari segenap komponen masyarakat Indonesia. Di dalam hal ini ada tiga sikap yang sangat menonjol, yaitu menolak secara keras terhadap semua budaya global sebab budaya global selalu membawa dampak negative bagi sebuah bangsa dan masyarakatnya. Kemudian mengikuti secara apa adanya terhadap berbagai produk global dengan memahami dan mengikuti segenap dampak ikutannya baik yang positif maupun yang negative. Lalu, menerima dengan kritis terhadap budaya global dengan berbagai implikasinya.
Tentu saja kita harus mengambil sikap dan tindakan terakhir di dalam kerangka menghadapi “serangan” budaya global yang memang tidak bisa ditolak. Di sinilah akan arti pentingnya untuk memilih secara rasional tentang mana budaya local yang bisa dijadikan sebagai alternative untuk menjadi penyeimbang di dalam kerangka menghadapi “serangan” budaya global tersebut.
Kebudayaan merupakan seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia untuk menjadi referensi didalam menginterpretasikan tindakannya. Berdasar atas batasan yang dibuat oleh kaum kognitivisme ini, maka kebudayaan merupakan relasi antara pengetahuan (kognisi), bahasa dan budaya. Jadi kebudayaan merupkan serangkaian pattern for behavior yang oleh manusia dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Namun demikian, pedoman tersebut juga harus hidup di dalam kenyataan sehari-hari dari pelaku budaya yang di dalam konsepsi antropologis disebut sebagai pattern of behavior.
Menurut saya ada banyak pengetahuan manusia yang berupa ungkapan yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai referensi untuk menginterpretasikan tindakannya. Di dalam konsepsi Jawa misalnya didapati konsep rukun, harmoni dan slamet. Tiga konsep ini saya rasa memiliki substansi translokal meskipun sebagaimana diketahui merupakan konsepsi Orang Jawa.
Hanya saja bahwa konsepsi pengetahuan kognisi local ini telah mengalami reduksi yang sangat tajam. Cobalah kalau kita tengok tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakat melakukan penjarahan terhadap harta pengungsi Merapi ketika mereka ditimpa oleh “Wedus Gembel.” Sementara mereka mengungsi kemudian hartanya yang ditinggalkan lalu dijarah orang. Tindakan permissiveness semacam ini tentu menjadi pereduksi terhadap seperangkat pengetahuan masyarakat yang mengagungkan kerukunan, keharmonisan dan keselamatan.
Hal lain yang mendepan juga tentang kekerasan social yang luar biasa. Ada banyak kekerasan yang dipicu oleh factor ekonomi, politik, agama dan lainnya. Semua ini menggambarkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari bangsa ini. Kekerasan agama yang terjadi di banyak tempat, kemudian kekerasan politik yang diakibatkan oleh pilkada, pilgub, pilpres dan sebagainya juga menyorongkan kehidupan kea rah kekerasan social yang semakin manifest. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana mereka akan menonton bola tetapi membawa linggis, gear, rantai dan benda-benda tumpul lainnya sebagai bagian untuk melakukan tindakan kekerasan.
Jika dipahami secara lebih mendasar maka sesungguhnya ada sesuatu yang hilang dari bangsa ini, yaitu hilangnya nilai lokalitas yang selama ini dijadikan sebagai referensi untuk melakukan tindakan. Nilai kerukunan, keharmonisan dan keselamatan sudah tidak lagi menjadi pedoman di dalam melakukan tindakan. Nilai kepentingan dianggap jauh lebih mendasar.
Di tengah nuansa seperti ini, maka yang sungguh diperlukan adalah bagaimana kita mereka ulang tradisi local atau yang disebut sebagai local wisdom sebagai kerangka untuk menginterpretasikan tindakan-tindakan kita.
Akhir-akhir ini ada nuansa yang menggembirakan tentang bagaimana orang mulai menyadari bahwa kita perlu merekonsstruksi tradisi local sebagai dasar untuk menyikapi terhadap semakin merebaknya budaya global. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sekarang sedang ada gairah luar biasa yang bercorak Nusantara. Bahkan di dalam Annual Conference on Islamis Studies (ACIS) di Banjarmasin, maka yang akan menjadi kecenderungan ke depan adalah bagaimana menggalakkan kajian Islam Nusantara dan bukan Islam Arab. Kajian tentang Islam Aran tetap penting, akan tetapi memahami tentang Islam Nusantara sebagai kajian tentang pengalaman Islam Nusantara haruslah memperoleh porsi yang lebih memadai.
Jadi, pembicaraan tentang budaya local rasanya memang semakin memperoleh tempat di dalam jagad akademis maupun budaya Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.