TAHUN BARU HIJRIYAH DI TENGAH PROBLEM TKI
Bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1432 H, hari Selasa, saya diundang oleh SBOTV dalam acara obrolan pagi yang dipandu oleh presenter Wishnu Wardana dengan tema “Menyambut Tahun Baru hijriyah di tengah Problem TKI dan Kenaikan harga BBM”. Acara ini tentu menarik mengingat bahwa problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini terkait dengan masyarakat Timur Tengah yang selama ini banyak menggunakan TKI sebagai pekerja kontrak di rumahnya.
Sebagaimana yang saya tulis kemarin bahwa momentum tahun baru Hijriyah sesungguhnya adalah moment untuk mengingatkan kita secara substantive tentang makna hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah, yaitu perpindahan geografis, religious dan sosioreligus. Artinya Nabi Muhammad saw melakukan hijrah bukan semata-mata pindah tempat, akan tetapi juga perpindahan dakwah dalam kerangka mengubah perilaku religious dan relasi social religious di antara umat Islam kala itu.
Sesuai dengan tema pembicaraan ini, maka yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah bagaimana tahun baru hijriyah ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran baru tentang bagaimana menjalin relasi yang baik di antara TKI dengan majikan dan lebih jauh bagaimana relasi G to G di dalam pembenahan relasi perburuhan.
Memang, kenyataannya bahwa ada banyak masalah yang terkait dengan keberadaan TKI di Timur Tengah ini. Ada kendala yang tidak sedikit yang dihadapi oleh para TKI tersebut. Di antaranya adalah kendala budaya yang ada di Timur Tengah. Dalam budaya patriarkhi yang tertutup, maka posisi perempuan memang subordinat. Artinya, bahwa posisi lelaki memang lebih super dibanding posisi perempuan. Makanya, banyak perempuan yang hanya boleh memasuki kawasan domestic ketimbang posisi public.
Kebanyakan TKI memang berasal dari wilayah pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Maka ketika yang bersangkutan menjadi TKI, maka modal yang dimiliki hanyalah keberanian semata. Kemampuan dasar komunikasi, kemampuan teknik dan pengetahuan budaya Timur Tengah sangat minim, sehingga ada sejumlah kendala di dalam menghadapi kultur Timur Tengah yang seperti itu.
Makanya, pada awal mereka berada di Timur Tengah, tentu akan terdapat cultural shock yang sangat tinggi sehingga mesti akan memicu stress yang sangat tinggi. Itulah sebabnya perubahan dari budaya paguyuban ke budaya patriakhi tertutup akan menyebabkan mereka kehilangan segala-galanya. Jika mereka tidak mampu beradaptasi, maka tentu akan menyebabkan stress berkepanjangan.
Masalah TKI yang hadir sebelum peristiwa tahun baru Hijriyah tentu bisa menjadi salah satu di antara moment untuk mengkaca apakah kebijakan pengiriman TKI untuk bekerja di sector domestic ini tepat atau tidak. Rasanya kita memang perlu belajar ke negara lain di dalam pengiriman tenaga kerja. Untuk TKI ke Timur Tengah, maka yang semestinya dikirim adalah TKI yang skillfull, artinya TKI yang memiliki keahlian untuk bekerja di sector public sehingga mereka berada di dalam nuansa kerja yang mengenakkan.
Momentum tahun baru Hijriyah bagi kita lalu menjadi penting untuk: Pertama, meninjau kembali kebijakan pengiriman TKI ke Negara lain, apakah yang dikirim itu relevan dengan tujuan keselamatan warga Indonesia yang mengais rezeki di Negara orang. Yang diperlukan adalah penguatan aturan secara selama ini sudah ada.
Kedua, meninjau kembali tentang kerjasama G to G di dalam pengiriman TKI tersebut. Negara memiliki kekuatan untuk melakukan bargaining power tentang TKI ini. Negara harus mengutamakan pemberian keselamatan kepada WNI yang sedang bekerja di Negara orang. Misalnya, harus terdapat control bagi mereka yang bekerja di sector PRT di berbagai Negara. Kementerian Tenaga Kerja harus mampu menjadi fasilitator di dalam mengatur mekanisme dan menjaga keselamatan TKI dari berbagai tindakan yang merugikan.
Ketiga, harus ada forum-forum yang bisa menjadi ajang bagi pemenuhan rasa persaudaran di antara para TKI dan warga Indonesia di tempat kerjanya. Forum ini memang harus dipahami sebagai forum kebersamaan yang memang bisa menjadi wadah bagi para TKI untuk mengekspresikan dirinya di tengah pergaulannya dengan yang lain.
Keempat, harus ada perubahan mindset dari para majikan di Timur Tengah untuk menjadikan para TKI sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya. Jangan sampai mereka diperdagangkan sebagai layaknya barang komoditi. Dan lebih jauh juga pemberian kesempatan bagi mereka untuk mengayomi para TKI sebagai sesama manusia bahkan sesama kaum beragama.
Untuk itu maka memang kehadiran bulan Muharram hendaknya dapat dijadikan sebagai momentum bagi semua pihak untuk memperbaiki nasib TKI dalam relasinya dengan dunia sosialnya di mana mereka bekerja.
Tanpa melakukan introspeksi ini, maka berarti ada satu masalah yang tidak terselesaikan melalui momentum hadirnya tahun baru hijrah.
Wallahu a’lam bi al shawab.